12. That night

10 9 0
                                    

Kuperhatikan Mark sepertinya menikmati masakanku. Aku yang sedari tadi menunggunya berkomentar, bahkan sampai kini belum mendapat satu katapun keluar dari mulut Mark mengenai masakanku.

Agh, dia akan terus diam kalau aku tidak bertanya lebih dulu!.
"Gimana?" Tanyaku dengan senyum sumringah, mengharap komentar positif darinya.

Mark mengangkat kepalanya, menatapku sekejap dan...
"Enak—"

"Yeay, Yes! Yes!"
"Yakan, gue udah tau pasti lo bakalan jatuh cinta sama masakan gue—"

"Gue belom selese ngomong lho!." Katanya tiba-tiba, membuatku mengerutkan kening tak mengerti.

"Ha?"

"Enak—an masakan kakak lo!." Lanjutnya.

"What?!"
Aku mendelik tak percaya.

Bagaimana bisa aku percaya dengan jawabannya, sementara kenyataannya kulihat dia terus saja memakan masakanku.
"Tapi lo kayaknya menikmati banget masakan gue!"

"Yaa gimana... gue laper!," jawabnya, sungguh buatku sulit percaya.

Masalahnya, aku memasak menu yang sungguh ku hapal betul bahan dan cara pembuatannya. Kupikir itu juga enak dilidahku.

Agh, selera Mark saja yang terlalu tinggi.

Menekuk wajah sedih. Aku tertunduk sembari memainkan sendok di atas piringku. Yah, kalian tahu aku yang mengajak Mark makan dirumahku dan berjanji akan memasakannya. Tapi apa yang dia dapat?!. Aku sudah mengecewakannya.

"Hey!,"

Suara Mark membuatku kembali mendongak, dengan air mukaku yang masih di tekuk. Entah, pasti aku nampak sangat jelek sekarang.

"Bbfftt!!."
"Hhahah, lo baperan ternyata..." seru Mark, usai tawanya meledak begitu saja.

Sial, kenapa orang ini malah menertawakanku!. Apa dia tidak peka kalau aku sedang merasa bersalah padanya?!.
"Mark!, lo kok ketawa si?,"
"Gue nggak enak udah ngecewain lo tau nggak?!" Seruku kesal.

"Lhah, siapa yang kecewa, hm?"
"Udah udah, tuh muka nggak usah ditekuk!, makin jelek tau nggak!."

Tangan Mark menggapai kepalaku, dan mengusak rambutku gemas.

Aku terpaku sekejap, perlakuan Mark itu... agh, jangan berpikiran kemana-mana. Dia pasti hanya refleks.

Memilih untuk abai dengan perlakuan Mark itu, aku kembali berucap.
"Kalo tau gini, harusnya gue minta bibi Soon Hee aja yang masakin buat lo!."

Bibi Soon Hee itu Asisten Rumah Tangga dirumah ini. Memang tadi bibi Soon Hee sempat menawarkan diri akan memasakan makanan untukku dan Mark. Tapi dengan percaya diriku pula aku menolaknya dan bertekad akan memasak makanan sendiri, mengingat kalimat yang kuucapkan pada Mark memang seperti itu. Dan hasilnya... kalian tahu sendiri.

"Gini yah... gue ngomong gitu tuh biar lo makin semangat buat belajar masak yang lebih enak dari ini!." Tutur Mark, membuatku tertarik dan refleks mendongak menatapnya.

"Dan gue bandingin masakan lo sama Kakak lo yang seorang chef, harusnya lo peka dong!, masa iya orang baru belajar masak udah bisa nandingin masakan chef terkenal?!,"
"Kecuali emang orang itu punya bakat dari lahir!."
"Lo harusnya marah sama gue, karena gue bandingin masakan lo sama masakan chef Dio!." Jelasnya.

Memang benar katanya. Tapi entah bagaimana aku tidak berpikiran sejauh itu saat Mark mengatakan masakan kak Dio lebih enak.

Entah, mungkin karena aku yang terbiasa dengan masakan kak Dio sampai lupa kalau dia adalah chef yang sangat berbakat dan cukup terkenal.

My First and Last | Huang RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang