Bab 1

1.7K 105 76
                                    

Mentari bersinar cukup terik, wajah Naura tampak basah diguyur beberapa tetesan air keringat. Ia yang kini tengah berjalan menyusuri trotoar untuk mencari tukang sayur yang biasa berkeliling ingin membeli beberapa rempah-rempah dan sayur mayur yang akan dibutuhkan nanti malam untuk keperluan acara menyambut bulan suci Ramadhan.

"Ini cuaca memang panas ya? Padahal udah mau Ashar." Naura melirik jam tangan kasual yang terpasang di tangan kirinya.

"Ini juga tukang sayurnya disebelah mana coba, astagfirullah! Sudah keliling-keliling masih aja nggak ketemu. Lagian juga kenapa bunda nggak beli di supermarket aja," oceh Naura seraya melangkahkan kakinya.

"Nah, keliatan juga tuh sayur ijo." Naura langsung mempercepat langkahnya mendekati tukang sayur yang kini berada di bawah pohon beringin dan sudah ada beberapa ibu-ibu yang mengerumuninya.

"Eh, Jeng katanya nih, ada ustad muda yang bakal jadi penceramah setiap sholat subuh, masih muda lagi," ucap wanita yang mengenakan daster merah bercorak bunga.

"Ya tah, aduh makin semangat dong buat sholat subuhnya," sahut wanita berjilbab biru tua.

"Yang bener nih," tidak mau kalah, sahut wanita yang sedang memegang cabai merah di tangan kanannya.

Naura yang berjalan semakin mendekat, makin bisa mendengar jelas obrolan para ibu yang sedang asik bergosip seraya memilih-milih sayur mayur di hadapan mereka.

"Siang ibu-ibu," sapa hangat Naura dengan senyum manis yang terukir di wajahnya.

"Walah-walah ada Naura gelis, kapan baliknya. Kok baru keliatan?" tanya wanita berdaster merah yang menatap ramah Naura.

"Hehehe, sudah seminggu yang lalu sih, ini aja disuruh sama bunda buat beli sayuran. Jadinya keluar rumah deh," balas Naura santai.

"Oh gitu.”

"Mang, beli kangkungnya dua ikat, cabai seperempat, tomat satu kilo, cabai merah sama cabai rawitnya setengah kilo semua yah mang, sama tempenya dua bungkus," ucap Naura akan sesuatu yang akan ia beli.

"Siap Neng!" balas Mang Sayur.

"Oh iya jeng, itu ustadnya orang mana? Terus kalau masih muda usianya berapa, atuh?" tanya wanita berjilbab biru.

"Katanya sih, orang Jakarta, tapi nggak tahu benar apa nggak. Kalo usianya, kurang tahu jeng," balas Wanita yang berpakaian Daster merah.

Naura berusaha tidak peduli dengan obrolan ibu-ibu yang menurutnya tidak penting. Terlebih lagi mereka sudah bersuami dan sudah tua tentunya.

“Sudah beruban masih demen bahas brondong,” batin Naura.

Naura melipat kedua tangannya di atas perutnya. Menunggu mang sayur membungkus segala sesuatu yang ia beli. Lima menit berlalu, akhirnya semua keperluan yang Naura perlukan sudah terbungkus dalam satu plastik besar.

"Nih Neng, semuanya 50 Ribu," kata Mang Sayur menyodorkan kantung plastik ke Naura. Sebelum Naura mengambil kantung plastik itu, ia terlebih dahulu mengeluarkan uang nominal pas sesuai harga kepada mang sayur.

"Makasih mang ini uangnya. Kalau gitu saya pamit. Duluan ya ibu-ibu," ucap Naura melangkah pergi pulang ke rumah.

"Iya ati-ati di jalan," ucap serempak para ibu.

***

Suara adzan tampak terdengar dari kejauhan. Bersamaan dengan kilatan cahaya orange yang menembus celah pepohonan tampak indah dipdangang. Naura kini berjalan kembali ke rumahnya. Langkahnya kini terhenti ketika matanya menangkap seseorang laki-laki, berpakaian formal melintas tak jauh darinya.

Badannya cukup tinggi, rambut yang tidak terlalu panjang atau pun pendek. Untuk wajahnya Naura tak dapat melihatnya, karena tertutup masker warna hitam. Tunggu, sepertinya Naura teringat akan sesuatu. Perlahan tangan kananya meraba wajahnya.

“Astaghfirullah! Gue lupa make masker!”

Naura pun segera berlari menuju rumahnya. Pantas saja dirinya merasa ada yang kurang ketika ke luar rumah.

"Assalamualaikum." Naura membuka pintu, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.

"Waalaikum salam," ucap Nasya, bunda Naura.

"Nih, bun belanjaannya." Naura menyodorkan kantung plastik sayuran yang tadi ia beli. Ia sedikit mengusap keringat di pelipisnya.

"Pasti cape ya jalan,” tanya Nasya yang melihat keringat Naura di jidatnya, "Makanya atuh cepet nikah, biar bisa dianterin suami ke mana mana," sambung Nasya sambil tertawa ringan.

"Dih kata siapa aku jalan. Aku lari Bund. Gak lihat kah keringat ini bercucuran. Dan jangan bahas soal nikah dong. Aku masih muda," cibir Naura.

"Cuma kamu yang belum nikah di antara teman-teman sebaya kamu yang di sini," 

Naura memutar bola matanya malas, "Masih ada Dinda, bunda yang belum nikah," ucap Naura sambil menjulurkan lidah meledek, kemudian langsung melesat lari menuju kamarnya.

Naura yang usianya sudah 25 tahun terkadang masih saja bersikap seperti anak kecil. Mungkin ia yang anak rantau dan jarang ketemu dengan orang tua cukup wajar jika bersikap seperti itu saat ini.

Gadis berjilbab putih itu kini terlentang di kasurnya menatap langit langit kamar bercorak jingga. Jingga ini adalah pilihannya, karena menurut Naura, warna Jingga sungguh memuaskan mata, dari pada warna-warna yang lain.

Drrett… Drrett… Drrett…

Naura menangkap sesuatu yang bergetar di kasurnya. Ia melihat ke arah samping kanan dan mendapati layar ponselnya menyala. Naura menggapainya, lalu membukanya dan mendapati beberapa pesan whattshap dari teman kerjanya. 

Siti
P
P
Oyy! Bales anjirr!

Apa ti?

Siti
Artikel yang bakal di
pajang di web perusahaan dah lo buat belum?

Naura membelakan matanya, mendapati satu pesan yang membuat dirinya merasa langsung teringat dengan tugas yang hampir ia lupakan, "Gila! Gila! bisa-bisanya gue lupa!!!" racau Naura.

Naura mematikan ponselnya, ia lalu berdiri dan mengambil laptop yang kini sudah terbuka layarnya di atas meja, "Bisa tamat nih, kalo nggak kelar hari ini!"




●︿●

See you selanjutnya!
-Ntrufayme

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang