Bab 8

826 69 6
                                    

Senja menjelang dengan kecerahannya yang luar biasa, seolah-olah ia merintis jalan melalui setiap penghalang yang berusaha menghadang. Sembari embusan angin senja menari lembut, terciumlah aroma menggoda dari dapur-dapur yang sibuk menyiapkan beragam hidangan berbuka, memberikan kesejukan dan ketenangan pada jiwa yang gelisah.

Sudah memasuki hari ke-8 berpuasa, saatnya merasakan keseimbangan dalam menjalani hari-hari tanpa rasa haus. Bukan karena tidak menyukainya, namun perut telah terbiasa menerima asupan hanya dua kali dalam sehari selama 24 jam.

Dalam perspektif Islam, puasa melatih kita untuk memiliki sikap yang santun dan ketenangan yang tak tergoyahkan. Dengan menahan hawa nafsu yang merambat ke arah negatif, puasa menjadi tameng yang mampu menahan diri dari perbuatan dosa dan maksiat, serta menjauhkan kita dari hal-hal yang dikecam oleh Allah.

Sementara dari sudut pandang kesehatan, puasa memiliki manfaat luar biasa dalam menurunkan tekanan darah, trigliserida, dan tingkat kolesterol jahat dalam tubuh. Penelitian pada hewan telah membuktikan bahwa puasa memiliki efek perlindungan terhadap kesehatan otak dan merangsang produksi sel saraf untuk meningkatkan fungsi kognitif.

Saat ini, Naura tengah terfokus menatap layar laptopnya, meskipun dia merasa lapar, namun otaknya tetap bekerja dengan optimal. Peningkatan produksi sel saraf memungkinkan dirinya untuk mengembangkan dan memproses informasi yang diterima dari rangsangan eksternal.

Naura kembali melihat satu kutipan kalimat yang menjadi bahan utama dalam artikel yang sedang ia tulis.

"Perusahaan sebagai Penyaji Informasi di Era Globalisasi."

"Wah, judulnya keren banget! Gua yakin direktur pasti suka dengan artikel ini. Alhamdulillah, otak bekerja dengan baik."

Naura dengan mantap mengklik tombol 'simpan' pada layar laptopnya, dan menyimpannya di folder yang telah ditentukan.

"Tinggal membuat laporan sekarang! Gak terduga, hanya butuh waktu kurang dari 3 jam, dan selesai juga pekerjaan kali ini!" ucap Naura dengan bangga melihat hasil kerjanya.

Meski pikirannya terus terganggu oleh masalah-masalah eksternal, setidaknya kekuatan mental yang ada dalam dirinya mampu mengusir tekanan yang membuatnya ragu untuk memulai.

Gadis itu melangkah mendekati Bundanya yang sibuk menyiapkan berbagai hidangan di atas meja. Naura melihat dengan rasa heran aktivitas yang dilakukan oleh Bundanya. Untuk siapa semua hidangan ini disiapkan? Tentu saja tidak mungkin untuk Ayahnya.

"Bund, untuk siapa semua nasi dan lauk ini?" tanya Naura sambil bersandar di tepi kursi.

Nasya memalingkan wajahnya ke arah putrinya, tersenyum dengan kelembutan seorang ibu.

"Ini untuk Ustadz Rezzan, Ayahmu meminta Ibu untuk menyiapkan makanan berbuka untuknya," jawab Nasya sambil menambahkan sepotong daging ke dalam wadah makanan.

"Naura, kamu tidak akan pergi ke mana-mana, kan?" tanya Nasya.

Naura hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Nah, kalau begitu... Nah, antarkan saja ke rumahnya," ucap Nasya sambil mengulurkan wadah makanan ke hadapan putrinya yang tampak enggan.

"Tidak perlu menolak." Nasya meraih tangan Naura dengan lembut dan memindahkan wadah makanan ke tangannya.

Naura hanya menatap dengan rasa pasrah, namun menerima wadah tersebut.

"Baiklah, Bund. Tapi rumahnya Ustadz ada di mana?" Naura benar-benar tidak tahu di mana rumah Ustadz tersebut, meskipun dia hanya bertemu dengannya sebanyak tiga kali saat menghadiri kajian. Selama lima hari terakhir, Naura absen karena masa datang bulannya.

Pernah suatu kali, menjelang waktu berbuka yang tinggal 10 menit, tiba-tiba datang bulan. Ia merasa putus asa karena merasa puasanya menjadi tidak berarti, dan akhirnya ia pasrah dan membatalkannya sebelum berbuka.

"Rumahnya berada di sebelah masjid, rumah yang di cat warna cokelat dengan pohon mangga di depannya," kata Nasya memberikan petunjuk lokasi.

*********

Dengan pakaian panjang berwarna biru tua dan kerudung katun yang melingkupi kepalanya, gadis itu menatap bangunan di depannya yang seharusnya sudah lama ia masuki.

"Ini benar-benar rumahnya? Kenapa Gua jadi begitu gugup," gumam Naura sambil menggaruk kepalanya, mencoba membangkitkan keberanian dalam dirinya untuk mengetuk pintu rumah yang dicat dengan warna cokelat.

"Bismillah saja."

Tok tok tok

Tidak ada jawaban. Naura mencoba lagi.

Tok tok tok

"Assalamualaikum, Ustad Ezzan..."

Masih tidak ada respons. Naura mulai merasa kesal. Ia memanggilnya sekali lagi, dan jika tidak ada jawaban kali ini, Naura memutuskan untuk meletakkan wadah makanan yang dipegangnya di depan pintu.

Tok tok tok

"Assalamualaikum... Ustad Ezzan!" Naura menaikkan sedikit suaranya.

Belum juga ada jawaban. Naura merasa frustrasi dan tidak ingin mengetuk pintu lagi, karena dalam Islam, mengetuk pintu atau menekan bel rumah dilakukan sebanyak tiga kali, tidak lebih.

Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya : "Meminta izin itu tiga kali, jika diizinkan maka masuklah, jika tidak, maka pulanglah," (Hr. HR. Bukhari dan Muslim).

Naura dengan mantap meletakkan wadah makanan di depan pintu. Ketika tangannya hampir melepaskan genggaman, ia tiba-tiba mendengar langkah-langkah dari dalam rumah. Dalam kecepatan yang cekatan, Naura kembali meraih wadah makanan dan berdiri dengan sikap yang seolah-olah biasa saja.

Ceklek

Di saat itu, Naura langsung mencium aroma harum dari sampo yang menyeruak dan menghiasi hidung mancungnya. Ada getaran yang merasuki dirinya. Sebuah perasaan yang aneh, yang selalu ia rasakan ketika berhadapan dengan seorang laki-laki yang kini berdiri di hadapannya. Laki-laki itu mengenakan pakaian kasual, celana panjang yang mencapai mata kaki, dan rambutnya masih basah, sedang diusap-usap dengan handuk kecil yang dipegang di tangan kanannya.

"Ya Allah, kenapa Ustadz ini berubah 180 derajat begitu saja!" gumam Naura dengan heran dan kebingungan.

●︿●

Sekiranya tinggalkan jejak:(
Bismillah
-Ntrufayne

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang