Bab 12

717 56 13
                                    

********

Tok tok tok.

"Assalamualaikum! Dinda!" panggil Naura dengan semangat.

Naura menatap pintu berwarna hijau lumut di hadapannya, harapannya adalah menemukan Dinda di dalam.

Tidak butuh waktu lama sebelum langkah-langkah terdengar mendekat dari dalam, dan sekejap kemudian...

Ckelek!

Muncul gadis dengan mukena yang masih melekat di tubuhnya, dan tangan kanannya memegang erat Alquran kecil. Tampaknya Dinda sedang melakukan tadarus di dalam rumahnya.

"Iya, ada apa, Nura?" tanya Dinda dengan sigap.

Naura memperhatikan penampilan Dinda dari atas hingga bawah, seolah ini pertama kalinya ia melihat Dinda mengenakan mukena, terutama di siang hari yang belum mendekati waktu Duhur.

"Nuyuruh gue masuk dulu dong! Kasih gue minuman, terus sajikan makanan, setel film horor, siapkan camilan, panggil tukang pijat ke sini—"

Naura belum sempat menyelesaikan ucapannya.

Mulutnya tiba-tiba tertutup oleh tangan yang besar dan sedikit berurat, membuat matanya terbelalak atas apa yang terjadi padanya.

"Psst! Jangan ribut, kalau mau masuk, masuk saja," bisik suara tegas dari seorang laki-laki yang berdiri di samping Dinda, tangan kanannya masih memegang erat mulut Naura.

Dinda melihat dengan ekspresi tidak terima apa yang dilakukan oleh kakaknya, dan segera mengusir tangan kuat Alfatih.

"Kakak, apa sih ini? Nggak sopan banget! Naura, ayo masuk!"

Dinda menarik tangan Naura, dengan cepat, Naura melintasi tubuh tegap Alfatih yang berdiri di ambang pintu. Debaran hatinya semakin cepat setelah mengalami apa yang baru saja dilakukan oleh Alfatih.

Sekiranya Naura memikirkan Alfatih, ia adalah pria tampan dengan daya tarik yang khas, tubuhnya ideal dengan rambut cepak yang rapi di pinggir rahang, dan tatapan matanya yang tajam menambahkan kesan pria yang kuat dan menarik.

Namun, Naura dengan cepat mengusir pikiran itu dari kepalanya. Ia sekarang duduk di pinggir kasur milik Dinda. Sudah lama sejak terakhir kali ia masuk ke dalam kamar Dinda. Itu terjadi dua tahun yang lalu, juga pada bulan puasa. Pada waktu itu, Naura belum bekerja, dan tidak ada pandemi, pembatasan, atau peraturan yang berlebihan seperti sekarang.

"Kakak gue emang gitu, tapi lo tidak gak perlu tegang gitu njir. Dia memang aneh, tapi lo juga memanggilnya A'a Fatih, bukan?" ucap Dinda memainkan kata terakhir.

Dinda berjalan mendekati meja riasnya, menarik laci, dan meletakkan Alquran yang ia pegang di dalamnya. Naura hanya memperhatikan gerakan Dinda, lalu membalas apa yang Dinda ucapkan.

"Hah, biasa saja! Gue memanggilnya A'a Fatih, itu sudah menjadi kebiasaan," ucap Naura sambil melihat-lihat kamar Dinda.

Tidak ada perubahan yang signifikan di kamar Dinda sejak terakhir kali Naura berkunjung. Hanya saja posisi tempat tidur, meja, dan lemari pakaian yang berubah. Namun, tidak ada perubahan yang mencolok.

"Kamar gue tetep gini aja, jangan dilihat-lihat," kata Dinda.

"Siapa tahukan gue nemu aib lo atau hal-hak yang menarik. Tapi, kamar lo tambah estetik aja!" Naura terkekeh pelan, melihat lampu kelap kelip yang menyala serta beberapa foto polaroid tergantung di sebuah tali berwarna cokelat dengan jepitan yang menjepit antara foto dan tali.

"Iya dong! Harus estetik, biar nyaman ditempati kamar tuan putri ini," ujar Dinda, kini telah melepas mukenanya dan tergantikan dengan jilbab model langsung berwarna cokelat. "Lo mau ngapain ke sini?" tanya Dinda yang sudah duduk di kursi menatap Naura yang masih memperhatikan sekeliling.

Naura menoleh ke arah Dinda yang sudah duduk menghadap ke arahnya, "sebenernya gue ke sini," Naura menjeda ucapannya.

"Apaan sih, cepet dah," ujar Dinda yang sudah tak tahan.

"Nggak ada kerjaan aja!" lanjut Naura.

Ingin rasanya Dinda mengambil balok besar, lalu memukul keras kepala Naura agar otaknya keluar, lalu Dinda cek, apakah otak Naura masih berfungsi. Naura yang sudah mendapati raut wajah Dinda berubah menjadi merah seperti kepiting rebus membuat dirinya enggan melanjutkan candaannya.

"Bercanda loh, gue di sini cuma mau nanya soal pertanyaan yang lo lontarin ke ustad Ezzan waktu kajian subuh."

Tanpa diketahui oleh mereka, ada sepasang telinga yang sedang serius mendengar perbincangan mereka dari luar kamar dengan antusias satu telinga menempel di permukaan pintu kamar Dinda. Seakan telinga itu ingin secara jelas mendengar semua obrolan yang berlangsung dari dalam. 

●︿●

-Ntrufayme

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang