Bab 7

911 70 16
                                    


Seorang pria bertubuh tegap mengenakan pakaian muslim dengan gaya yang khas, lengkap dengan kopiah bergaya kubah, duduk dengan gaya yang sopan di antara sekelompok bapak yang sedang asyik bercengkerama. Mereka menanti dengan penuh kesabaran waktu berbuka puasa tiba.puasa.

"Tuh kan, Ustad Rezzan kelihatan sudah matang banget. Tapi kenapa belum menikah ya?"

"Iya nih, usianya udah 28 tahun, tapi belum juga menikah."

"Kasian sih kalau dia sendirian terus."

"Tenang, jangan gegabah dulu. Menikah itu bukan cuma soal itu saja."

"Ya iyalah, Ustad Rezzan pasti betah sendirian juga."

"Seharusnya dia sudah menikah!"

Sang pemilik nama yang menjadi sorotan hanya tersenyum dengan tenang. Meskipun sedikit tersinggung, ia merasa pembicaraan seperti itu wajar. Sudah seharusnya bagi seorang pria yang telah mencapai usia 28 tahun untuk membina rumah tangga. Namun bagi Rezzan, pernikahan bukan hanya sekadar memuaskan keinginan pribadi, melainkan juga melibatkan tanggung jawab dan cinta yang harus ditanamkan agar tetap kokoh dalam ikatan tersebut.

"Tentu saja, bapak-bapak. Saya pasti akan menikah suatu hari nanti. Eh, tapi sudah hampir waktunya berbuka puasa nih, siapa yang akan mengumandangkan azan?" tanya Rezzan.

Ini adalah kali ketiga Rezzan menghabiskan waktu berbuka puasa bersama para bapak di sekitarnya. Dia banyak belajar dari tinggal di desa ini, desa yang indah dan menawan di Bandung yang terkenal dengan julukan "Desa Hamparan Daun Teh" atau Desa Senggitia Agung. Desa yang kini menjadi tempat tinggalnya selama beberapa hari ke depan, tempat di mana dia memperkuat tekadnya dan berinteraksi dengan penduduk yang ramah dan baik hati.

Mata Rezzan secara tidak sengaja menangkap pandangan seorang wanita yang sedang berjalan berdampingan dengan seorang pria, tampaknya usianya tidak jauh berbeda dengannya. Namun perhatiannya tertuju pada wanita itu yang tersenyum dengan lepas saat menerima gurauan sang pria.

Ada gelora yang muncul di dalam dirinya, tetapi dia tidak ingin mengungkapkannya saat ini. Dia ingin mengenalnya lebih dekat, dengan menjaga jarak yang sesuai agar tidak menimbulkan hasrat yang tidak seharusnya terjaga, terutama di bulan suci Ramadan ini.

********

Naura melangkah masuk ke dalam rumahnya, merasakan sedikit perbedaan di udara. Suasana menjadi tenang dan kosong. Lima menit lagi hingga waktu berbuka puasa, Naura yang saat ini tidak sedang berpuasa berjalan melewati Bunda yang duduk dengan tenang di hadapan hidangan berbuka yang terhidang. Namun, ada yang aneh, di mana Ayah? Mengapa hanya Bunda yang ada?

"Ayahmu sedang pergi ke luar kota untuk beberapa hari ke depan," kata Nasya dengan pemahaman yang terpancar dari matanya.

Naura menghentikan langkahnya, kemudian mendekati Bunda dan langsung memeluknya. Tangis pecah di balik wajah yang terbenam Naura.

Suara isak mulai terdengar, "Bunda kenapa nggak bilang."

Nasya hanya tersenyum, melihat putrinya menangis seperti ini. Ia sangat memahami Naura, bahkan dengan sangat baik. Naura adalah sosok yang kuat, sabar, dan tidak mau diremehkan. Ia selalu teguh pada pendiriannya dan memiliki alasan yang kuat di balik setiap tindakannya. Naura masih menangis, merasakan ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya, seolah-olah ia sedang meluapkan semua perasaannya.

"Jangan terlalu dipikirkan, Nak," ucap Nasya dengan lembut.

Naura melepaskan pelukannya dan mengusap sisa air mata yang masih terjaga di pipinya. "Bagaimana bisa tidak dipikirkan, Bun? Dan mengapa semuanya harus diputuskan sepihak, padahal aku juga belum membuat keputusan," jawab Naura dengan tatapan yang sayu kepada Bunda.

Allahu akbar, Allahu akbar...

"Buka puasa dulu, ya, Bunda," lanjut Nasya ketika ia mendengar panggilan adzan, lalu mengambil segelas air putih.

"Bismillah." Nasya meminumnya, dahaganya mulai terhilang secara perlahan. Namun, pikiran Naura kini terfokus pada suara adzan. Suara yang entah mengapa begitu indah dan menenangkan di telinganya.

"Kamu nggak mau minum?" Naura menoleh ke arah Bunda.

"Kan aku nggak puasa," balas Naura.

"Baiklah, sini, temani Bunda berbuka puasa. Ayahmu juga sedang pergi," ucap Nasya.

Naura hanya mengangguk, duduk di samping Bunda sambil mengambil segelas es buah yang tampak segar.

"Bunda, Ayah pergi ke luar kota? Ada urusan apa?" tanya Naura di antara suapan makanannya.

"Ayahmu ada urusan penting di Jakarta-"

"Ha? Ke Jakarta?" Naura terkejut.

"Iya, dia diundang ke acara tertentu di sana, tapi Bunda juga nggak tahu acaranya apa," jelas Nasya.

"Lagi pandemi begini, kenapa Ayah harus ke Jakarta? Bunda kan tahu sendiri, kasus Covid di Jakarta paling tinggi. Kenapa dibiarkan pergi?" Naura menunjukkan kekhawatirannya.

"Hus! Jangan terlalu khawatir, Sayang. Bismillah saja. Tidak akan terjadi apa-apa," ujar Nasya menenangkan.

"Tapi, Bunda, aku takut..." Naura berusaha menyampaikan kegelisahannya.

Naura merasa gelisah dan cemas, ingin mengekspresikan kekhawatirannya kepada Bunda.

Nasya menatap Naura dengan lembut, memahami keadaannya. "Sayangku, kita tidak bisa mengendalikan segalanya dalam hidup ini. Kadang-kadang, Ayah harus menghadapi situasi yang mendesak dan memiliki tanggung jawab yang tak bisa dihindari."

Naura menghela nafas dalam-dalam, mencoba memahami apa yang Bunda sampaikan. "Tapi, Bunda, bagaimana jika Ayah terpapar Covid di Jakarta? Aku tidak ingin kehilangan Ayah," ujarnya dengan nada khawatir.

Nasya menyentuh tangan Naura dengan penuh kehangatan. "Kamu tidak sendirian dalam kekhawatiran ini, Nak. Bunda juga merasa cemas. Namun, kita harus mempercayai Ayahmu. Dia adalah sosok yang bertanggung jawab dan selalu menjaga dirinya dengan baik. Ayahmu tidak akan mengambil risiko yang tidak perlu."

Naura menatap Bunda dengan pandangan penuh kepercayaan. "Apakah Ayah memberitahu Bunda kapan Ayah akan kembali?"

Nasya menggelengkan kepala pelan. "Tidak, Sayang. Ayahmu harus menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Kita harus memberikan ruang kepadanya dan mendoakan agar semuanya berjalan lancar."

Naura mengangguk, mencoba merangkai kata-kata dalam hatinya untuk berdoa agar Ayahnya selamat dan sukses dalam perjalanannya. "Bunda, mari kita makan dengan penuh syukur dan berdoa untuk Ayah agar dia selalu dalam lindungan Allah."

Nasya tersenyum bangga melihat kedewasaan dan kekuatan hati putrinya. "Tepat sekali, Nak. Mari kita berbuka puasa dengan penuh keikhlasan dan harapan."

Mereka pun melanjutkan makan dengan penuh kebersamaan dan ketenangan. Setelah itu, Nasya pergi untuk melaksanakan shalat Maghrib, sementara Naura memasuki kamarnya, membawa dalam hati doa-doa yang tulus untuk keselamatan Ayahnya di perjalanan dan di Jakarta.

*********
082245******
"Jangan lupa artikel yang saya tugaskan, kamu sedang tidak puasa bukan? Saya harap seminggu ke depan, bisa terselesaikan dengan baik, tanpa ada kekurangan sedikit pun."

Naura membaca pesan dari direkturnya dan merasa bingung dengan isi pesan tersebut. Bagaimana direktur bisa mengetahui bahwa Naura sedang tidak berpuasa? Meskipun begitu, Naura memilih untuk tidak terlalu memikirkan hal tersebut.

"Ini kok direktur jadi terlalu cerewet," gumam Naura.

●︿●

Saran dong wkwk apa aja

-Ntrufayme

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang