Bab 17

646 51 2
                                    

Cuaca pagi ini begitu cerah, sinar matahari tidak terlalu menyengat karena atmosfer bumi yang berhasil menyaring partikel-partikel yang masuk. Udara segar dan berangin, membawa sensasi menyenangkan bagi siapa pun yang menghirupnya. Semua tampak hidup dan bersemangat di pagi yang cerah ini.

Di tepi sungai yang mengalir dengan deras, capung-capung kecil bermain-main di atas permukaan air. Seperti penari yang lincah, mereka bergerak dengan cepat, seakan-akan mencari sesuatu yang bisa mereka raih. Keindahan kejernihan air sungai membuat suasana menjadi semakin memikat. Namun, di balik kejernihan itu, terdapat bahaya yang mengintai.

Tiba-tiba, sesuatu yang mencuri perhatian terjadi. Salah satu capung yang sedang terbang di atas permukaan air tiba-tiba diserang oleh seekor ikan yang melompat dari dasar sungai. Ikan tersebut dengan gesit mengejar capung yang tidak curiga, meloncat dengan lincah, dan dengan cepat menangkap mangsanya. Begitu ikan itu kembali tenggelam ke dalam air, suasana kembali sepi dan damai.

Kejadian tersebut adalah gambaran kejamnya alam, di mana bahaya dapat muncul secara tiba-tiba, bahkan di balik keindahan yang tampak seolah-olah menyenangkan.

"Kenapa begitu sulit jatuh cinta pada seseorang tanpa dibalas?" monolog seorang gadis yang duduk di tepi sungai.

"Tapi... bagaimana dengan Naura yang dicintai orang, tapi dia tidak merasakan hal yang sama? Bahkan, sebaliknya dengan apa yang aku rasakan," lanjutnya.

Seperti terhipnotis oleh kenyataan, Dinda berbicara dengan alam, tempat yang ia rasa lebih bebas daripada berbicara dengan manusia yang memiliki hasrat yang serupa. Meskipun tidak ada jawaban atas pertanyaannya, setidaknya bisikan angin yang bermain di telinganya masih mendengarkan.

Dinda, yang sejak awal pertemuan telah jatuh cinta pada seorang ustad, merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Kali ini, ia merasakannya pada seorang ustad baru yang masih belum ia kenal dengan baik, tak tahu asal-usulnya, makanan kesukaannya, atau hal-hal kecil tentangnya. Yang ia ketahui hanya nama, asal, dan senyum menawan yang dimiliki olehnya.

"Ayo lah ke rumahnya Naura, to gak ada jadwal kuliah," kata Dinda saat ia bangkit dari duduknya. Sebelum melangkah, ia menyeka debu yang menempel pada ponselnya.

Dinda Anjani Ritha, teman Naura dan mahasiswi S2 di Institut Pertanian Bogor, memilih melanjutkan studi di bidang Hortikultura. Keputusan ini tidak diambil begitu saja. Setelah menyelesaikan gelar Sarjana 1, ia bekerja selama setahun di sebuah perusahaan pertanian dan pembibitan di dekat tempat tinggalnya. Kemudian, ia ingin dijodohkan, tetapi karena kakaknya masih belum menikah dan berada jauh di Kalimantan, ayahnya memaksa Dinda untuk mengikutinya. Akhirnya, Dinda memutuskan untuk melanjutkan studi dan berhasil mendapatkan beasiswa dalam ajang pencarian mahasiswa lulusan S1 yang ingin melanjutkan ke jenjang S2. Dinda terpilih sebagai penerima beasiswa dalam ajang tersebut.

Tak terduga, Dinda sudah berada di depan rumah Naura. Namun, ada yang aneh. Matanya menangkap sosok pria yang sangat dikenalnya, tetapi kali ini ia berpakaian berbeda dari penampilan biasanya sebagai seorang ustad. Pakaian yang dikenakannya lebih mirip pakaian seorang pekerja kantoran, membuat Dinda hampir tidak mengenali pria tersebut.

Dinda enggan mendekat karena Rezzan sedang terlihat sedang berbicara dengan Bunda Naura. Dalam keadaan samar-samar, Dinda bisa menangkap percakapan mereka.

"Saya berharap kamu yakin dengan keputusan kamu. Jangan terlalu lama untuk mencapai tujuan kamu. Siapa tahu, nanti anak saya sudah menemukan seseorang yang sangat ia sukai," kata Bunda Naura dengan serius kepada lawan bicaranya, seorang ustad yang disukai oleh Dinda.

"Tentu, Tante. Saya sedang berusaha mendekati Naura, meskipun saya sadar betul. Saya hanya ingin menunggu sampai akhir dari 30 hari ini. Saat itu, saya akan siap menjadikan putri Tante sebagai pendamping hidup saya," jawab pria tersebut.

Air mata Dinda tiba-tiba jatuh di pipinya. Kalimat yang ia dengar menusuk hatinya, menyebabkan luka dalam yang seolah-olah hatinya patah. Dinda perlahan mundur, namun ketika kaki kanannya melangkah mundur, ia tiba-tiba terhenti. Seseorang besar menghalangi jalannya.

Dinda berbalik dan sebelum berbalik, ia dengan cepat menyeka air matanya.

"Kakak!"

"Kamu apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Alfatih langsung.

"Kakak sendiri, apa yang Kakak lakukan di sini?" tanya Dinda balik agar tidak perlu menjawab pertanyaan Kakaknya.

"Mau ketemu dengan Naura," ujar Alfatih dengan pelan.

Dinda terdiam sejenak.

"Haruskah dua saudara ini merasakan patah hati karena orang yang sama?" pikir Dinda.

******

Sinar matahari pagi memancar dengan kecerahan yang memukau saat Naura membuka matanya perlahan. Cahaya tersebut memasuki kamarnya melalui jendela yang terbuka lebar, menerangi wajahnya yang masih kusut karena ia baru saja bangun tidur. Suasana di dalam kamar terasa pengap, membuatnya mengernyitkan kening.

"Terlalu pengap di sini," gumam Naura seraya mencoba menghirup udara segar sebanyak-banyaknya, lalu menghembuskannya perlahan.

Dia menggerakkan tubuhnya, merapikan posisi duduknya dengan lembut. Setelah itu, Naura melangkah ke arah jendela dan membukanya. Sinar matahari langsung menyapu wajahnya yang belum terurus dengan kehangatan yang menyegarkan. Namun, ada sosok yang menarik perhatiannya di halaman rumahnya.

Dari jendela kamarnya yang bersebelahan langsung dengan halaman, Naura bisa melihat dengan jelas siapa pun yang datang berkunjung. Dan kali ini, dia melihat seseorang yang baru saja memberikan ceramah panjang subuh tadi. Itulah sebabnya Naura terbangun agak terlambat.

"Ustad Ezzan."

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang