Bab 20

673 45 11
                                    

Hari ini, yang semestinya menjadi hari Atha kembali ke rumah, tetapi tak ada jejaknya, tak ada tanda-tanda kehadiran sang Ayah. Naura merasa kesal. Dia telah menunggu sejak pagi, namun Atha belum juga muncul, bahkan sekadar menampakkan hidungnya. Namun, realitas telah memberinya kebenaran yang pahit. Walaupun dia menunggu berjam-jam, Atha tak akan pernah kembali, terlebih dalam kondisi saat ini yang tak kunjung membaik. Dan dalam hati Naura, dia tahu benar bahwa tak seorang pun bisa memberikan alasan yang memuaskan atas kepergiannya yang tak terduga.

"Naura! Mari, mari masuk sebentar lagi waktu buka!" seru Nasya dari dalam rumah.

Naura mengangkat pandangannya dari kursi jati tempat dia duduk. Kursi itu dihiasi meja biru persegi panjang, yang menjadi salah satu pemandangan khas halaman rumah Naura.

"Bunda, Ayah belum pulang! Katanya hari ini. Sudah hampir malam, tapi masih belum juga," keluh Naura, suaranya penuh kekesalan. Sejak siang, Naura telah menanti kepulangan Ayahnya dengan penuh antusias. Namun, seperti biasa, tak pernah sekalipun Atha kembali dengan keadaan baik.

Nasya benar-benar lupa, terlalu terfokus pada pemahaman bahwa Atha takkan kembali. Namun, alasan Nasya adalah alasan yang memaksanya menyingkirkan semua penyesalan. Nasya sebenarnya sadar bahwa Naura sudah sejak siang menunjukkan kegembiraannya atas rencana bertemu Ayahnya. Namun, kini dia baru menyadari, alasan di balik lamanya kepulangan Atha.

"Ayahmu... Ayahmu ternyata tak bisa pulang sekarang, Sayang. Dia menyatakan urusannya belum selesai," ucap Nasya dengan cemas, dengan harapan kebohongannya bisa membuang rasa rindu yang tengah meluap.

"Lah, kok begitu?" gerutu Naura dengan wajah kesal. "Kenapa Bunda tak bilang dari tadi siang? Aku tunggu-tunggu dari pagi sampe sekarang, eh ternyata Ayah gak bakal dateng juga. Buang-buang waktu aja!"

Nasya berusaha meredakan kemarahannya dengan tangisan yang hampir pecah. "Naura, Maafkan Bunda, Sayang. Bunda lupa memberitahumu. Jangan salahkan Ayahmu. Dia memiliki urusan yang mendesak."

Naura merasa bingung. Dia menaruh pandangannya di bawah, tak bisa menatap mata ibunya. "Bunda kan tahu, tadi aku benar-benar bersemangat ingin ketemu Ayah. Tapi ternyata dia..."

"Allahu Akbar, Allahu Akbar."

"Yuk, mari buka puasa dulu, sudah ada panggilan adzan," kata Nasya dengan suara teredam.

"Baiklah," ucap Naura dengan sedikit amarah dalam hati, lalu bersama-sama mereka merentangkan tangan untuk membuka puasa dalam seruan doa, "Bismillahirrahmanirrahim."

****

Hening malam semakin meresap, terhanyut dalam suasana di dalam rumah Naura. Dua jiwa yang berdekatan, ibu dan anak, kini sedang menghadapi momen makan berbuka. Meskipun dikelilingi oleh senyap, suasana tak selalu seperti ini. Terkadang, keheningan membawa suara-suara kehidupan yang tak terduga.

Setelah mereka mengucapkan doa dan membuka puasa dengan sendok pertama masing-masing, suasana terasa lebih hangat. Mereka saling menatap, masih terasa campur aduk emosi di wajah Naura. Namun, Nasya bisa membaca bahwa Naura mulai meredakan amarahnya.

"Bunda, maafkan aku kalau tadi marah," akhirnya Naura berkata dengan suara lembut, wajahnya terpantul dalam cahaya lembut lampu teras.

Nasya tersenyum, melihat putrinya menunjukkan kedewasaan dalam pengakuan ini. "Tidak apa-apa, Sayang. Bunda juga yang seharusnya lebih memperhatikan perasaanmu. Bunda tahu, Ayahmu sering membuatmu rindu."

Naura mengangguk, tangan yang memegang sendok kembali merendah ke piringnya. Dia mencoba untuk menghilangkan ketidaknyamanan di antara mereka.

"Bunda, Ayah... Bagaimana kabarnya sekarang?" tanya Naura dengan suara pelan.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang