Bab 9

791 64 5
                                    

"Ada apa?"

Naura menggapai kembali pikirannya yang hampir saja lepas tak terkendali. Ia sedikit menggelengkan kepalanya, lalu menatap laki-laki yang ada di hadapannya.

"Ini." Naura menyodorkan wadah makanan ke arah laki-laki di hadapannya yang menatap bingung.

"Maksudnya?" tanya lagi Rezzan. 

Naura menyalahkan dirinya sendiri dalam hati, "Aduh, bodoh sekali Naura."

"Ini, bunda meminta saya memberi makanan berbuka puasa kepada ustadz Ezzan," jelas Naura dengan gugup.

Rezzan mengangkat satu alis, menatap gadis manis yang berdiri canggung dengan sebuah wadah makanan di tangannya. Kemudian, Rezzan menerima wadah tersebut dengan tatapan penuh kebingungan. "Oh, oke, terima kasih ya," kata Rezzan dengan senyuman tulus yang terpancar dari wajahnya. Mungkin ini adalah kali pertama ia tersenyum dengan seikhlas itu.

Naura tercengang. Semakin aneh dan terasa aneh, senyuman yang manis terukir di wajah Rezzan dan ditujukan padanya. Sebuah senyuman yang selalu membuatnya terkesima.

"Oi! Naura!"

Naura dan Rezzan sama-sama tersentak kaget saat mereka mendengar suara yang asing bagi Rezzan, tapi tidak bagi Naura.

"Oh! A'a Fatih!" balas Naura di posisinya yang mendapati Alfatih berdiri di luar pagar rumah. 

Alfatih masuk ke halaman rumah Rezzan dan menatap kedua orang yang sedang berhadapan, Naura memalingkan wajahnya ke arah Alfatih.

"Kamu, apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanya Alfatih kepada Naura. 

"Ini nganter makanan untuk ustadz Ezzan," jawab Naura sambil menoleh ke arah Rezzan.

Alfatih menatap Rezzan yang berdiri di ambang pintu, lalu keduanya saling memandang dengan tatapan heran.

"Tunggu," kata Alfatih dan Rezzan bersamaan.

Naura hanya diam, tidak mengetahui apa yang terjadi antara dua pria tersebut.

"Rezzan Sauqi, bukan?" tanya Alfatih dengan penuh keceriaan.

Rezzan menatap wajah laki-laki yang seumuran dengannya dengan seksama. "Alfatih Aditya?" balas Rezzan.

"Oh, luar biasa!" Alfatih langsung mendekati Rezzan dan merangkulnya, seolah-olah mereka sudah saling kenal. "Kamu di sini ngapain?" tanya Alfatih lagi setelah melepaskan rangkulannya.

"Bisa dibilang, mencari suasana baru," kata Rezzan dengan sedikit canda.

"Ehem! Permisi ya, saya pamit dulu!" Naura merasa semakin terasingkan dengan pertemuan dua orang itu dan berencana untuk pergi. Namun, sebelum kakinya melangkah, tangannya dipegang erat oleh Alfatih. Rezzan melihat dengan tatapan tajam atas apa yang ia saksikan di depannya.

"Kita pergi bersama," kata Alfatih saat Naura menoleh ke arahnya dengan tanda tanya di matanya. "Ya sudah, Rezzan, saya kembali dulu. Malam nanti saya akan mampir ke sini lagi, oke!" ucap Alfatih sambil berjalan menjauh dan melambaikan tangan.

Rezzan hanya tersenyum, lalu berkata, "Lepaskan tangannya!"

Naura menatap tangan kanannya yang masih tergenggam oleh Alfatih. Alfatih cepat-cepat melepas genggamannya. "Eh, maaf, Naura."

"Hehehe, tidak apa-apa," Naura hanya tertawa kecil, kemudian mereka berjalan keluar dari halaman rumah Rezzan dan menjauh dengan Rezzan yang masih serius memandang dua orang di seberang sana.

"Astagfirullah."

Rezzan menutup pintu rumahnya dan menuju dapur, meletakkan segala jenis makanan yang telah ia terima dari Naura.

***

"A'a Fatih kenal ustad Ezzan?" tanya Naura sambil berjalan bersama Alfatih. Keduanya sekarang berjalan beriringan, menuju rumah masing-masing. Rumah Naura dan Alfatih berada dalam jarak yang dekat, hanya beberapa rumah saja.

"Kok kamu manggilnya ustad Ezzan? Padahal namanya Rezzan, kan?" tanya Alfatih dengan rasa penasaran.

Naura sedikit heran dengan reaksi Alfatih, "Iya, ustad Ezzan sering menjadi penceramah di kajian sholat subuh. Dan entah mengapa, aku suka memanggilnya Ezzan," jawab Naura sambil tertawa kecil.

"Oh, ustad? Aku nggak tahu kalau dia seorang ustad," ucap Alfatih yang memang tidak mengetahui bahwa Rezzan sering menjadi penceramah di kajian subuh.

Bukan karena ia tidak pernah sholat subuh, tapi setelah sahur, Alfatih langsung pergi ke tempat pengolahan pariwisata laut yang berjarak sekitar dua jam dari rumahnya. Oleh karena itu, ia selalu melaksanakan sholat subuh di jalan ketika menemukan masjid.

"Ya, kamu kan memang jarang sholat subuh!" sahut Naura dengan nada tajam di kata terakhir.

"Heh! Sembarangan kamu, sholatlah! Masa nggak sholat, di mana-mana kalau puasa nggak sholat itu percuma, Naura. Maksudku, sayang sekali kalau kamu nggak sholat," balas Alfatih sambil tersenyum.

Naura mendengarkan dengan serius kata-kata Alfatih. Ia menyadari bahwa sholat adalah ibadah yang sangat penting dan tidak boleh diabaikan, terutama di bulan Ramadhan. Meskipun puasanya tidak batal, meninggalkan shalat merupakan hal yang sangat disayangkan. Pasalnya, di akhirat nanti, ibadah shalat akan menjadi hal pertama yang diperiksa, diikuti oleh ibadah-ibadah lainnya.

Naura hanya mengangguk sebagai tanggapan atas ucapan Alfatih, lalu pandangannya kembali fokus ke depan. Mereka melanjutkan perjalanan pulang dalam keheningan sejenak, sambil membiarkan kata-kata Alfatih meresap dalam hatinya.

Setelah beberapa saat dalam keheningan, Alfatih memutuskan untuk mengalihkan suasana dengan mengajukan pertanyaan.

"Hei, Naura, apa rencanamu untuk bulan Ramadhan ini? Ada kegiatan khusus atau ibadah yang ingin kamu lakukan?" tanya Alfatih.

Naura membalas dengan senyuman. "Sebenarnya, aku berencana untuk lebih banyak mengikuti kajian-kajian di masjid dan meningkatkan ibadah sunnah. Selain itu, aku juga ingin memperbanyak membaca Al-Quran dan melakukan amalan-amalan pahala yang bisa dilakukan di bulan Ramadhan."

Alfatih mengangguk mengerti. "Bagus! Itu adalah langkah yang sangat baik. Bulan Ramadhan memang waktu yang tepat untuk memperdalam pengetahuan agama dan meningkatkan ibadah kita. Aku juga berencana untuk lebih sering mengaji dan memperbanyak bacaan dzikir."

Naura hanya mengangguk sebagai tanggapan atas ucapan Alfatih, lalu pandangannya kembali fokus ke depan.

"Sudah sampai nih,  A'a Alfatih. Kamu nggak mau mampir?" tanya Naura ketika mereka tiba di depan rumah Naura.

Alfatih spontan menggelengkan kepalanya. "Nggak, deh. Kapan-kapan saja aku mampir. Assalamualaikum," ucap Alfatih sambil berjalan menjauh dari Naura.

"Waalaikumsalam!" jawab Naura sambil melambaikan tangan pada Alfatih.

Alfatih berjalan menjauh hingga akhirnya menghilang dari pandangan Naura. Gadis itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan perasaan yang sulit diungkapkan. Pikirannya penuh dengan pertanyaan dan kebingungan tentang perjalanan hidup dan pertemuan-pertemuannya yang tak terduga.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang