Bab 15

709 51 5
                                    

Suara kendaraan berderap dan langkah-langkah para pemburu takjil mengisi sore kali ini dengan keramaian yang menggema di sekitar Pasar Takjil. Naura, Dinda, dan Alfatih berjalan beriringan, menelusuri pinggiran jalan yang dipenuhi pedagang es dan aneka makanan ringan yang dengan lihai memikat hati para pembeli.

Tadi, setelah Naura tiba di rumah Dinda, ia melihat Dinda sedang asyik berbincang dengan Alfatih. Tanpa ragu, Naura mengajak Dinda untuk ngabuburit ke Pasar Takjil sambil membeli makanan berbuka. Alfatih, yang kebetulan mendengar ajakan tersebut, memutuskan untuk ikut bersama mereka. Naura enggan menolak dan dengan senang hati menerima Alfatih sebagai teman berbuka puasa mereka.

Alfatih berjalan berdampingan dengan Naura, sengaja menjaga jarak yang membuat mereka tidak terlalu dekat. Dinda berjalan di sebelah kiri Naura, menikmati kebersamaan yang tercipta di antara mereka.

Tiba-tiba, pandangan Alfatih tertangkap oleh seorang pria yang sedang memilih-milih gorengan di seberang jalan.

"Oy, Rezzan!" seru Alfatih sambil melambaikan tangannya.

Mendengar suara itu, Rezzan menoleh dan mencari sumber suara. Ternyata, dia terkejut melihat Alfatih yang tak terduga menjadi teman lamanya. Rezzan dan Alfatih dulunya adalah sahabat semasa SMA di Kalimantan, sebelum akhirnya Rezzan pindah ke Jakarta setelah lulus. Mereka berpisah karena Rezzan ingin melanjutkan pendidikannya di Jakarta, mengikuti Ayah dan Ibu Rezzan yang juga berpindah tempat kerja.

Detak jantung Rezzan berhenti sejenak saat matanya melihat seorang gadis yang berdiri di samping Alfatih. Dia melambaikan tangannya sebagai sambutan. Sebelum mendekati mereka, Rezzan membayar gorengan yang ia pegang di tangan kanannya, beberapa potong gorengan hangat untuk berbuka nanti.

Naura dan Dinda terdiam sejenak, memperhatikan seorang ustad yang disukai Dinda mendekati mereka. Dinda merasakan gelisah yang melanda hatinya, seakan-akan ada arus listrik yang kuat mengalir di tubuhnya. Alfatih melirik adiknya dan tersenyum.

"Jangan grogi, Dinda," ucap Alfatih sambil mengusap lembut kepala Dinda.

"Apa sih, Kak!" Dinda mencubit pinggang Alfatih dengan ringan.

"Hahaha, Kakak tahu kok! Tenang saja, Kakak ada di sini," kata Alfatih sambil tertawa kecil.

Tentu saja Alfatih tahu, sebenarnya ia telah mendengar pembicaraan Naura dan adiknya kemarin.

"Lo nyari apa sih, Za?" ucap Alfatih sambil bersalaman dengan Rezzan.

"Nih, gue lagi nyari makanan bukaan," jawab Alfatih.

Naura dan Dinda mendengar Alfatih berbicara dengan santai seperti itu, sedangkan Rezzan tetap mengucapkan kata-kata formal yang membingungkan. Naura melirik Dinda yang tampak sedikit gugup, seolah-olah dihadapkan pada malaikat maut. Ini tidak biasa, Dinda tidak pernah terlihat seperti ini sebelumnya. Namun, mata Alfatih tertuju pada Naura dengan senyum tulus yang membuat Rezzan tersenyum.

Untuk kali yang kesekian, Naura merasa canggung dihadapan seorang ustad yang berdiri di depan Alfatih.

"Weh, biasa aja kali liat adek gue," kata Alfatih sambil bercanda, mencoba menggoda adiknya.

Dinda terkejut, apakah ustad Rezzan melihatnya? Padahal sebenarnya tidak. Rezzan melihat gadis di sampingnya.

"Loh, itu adek lo, Fat?" tanya Rezzan sedikit terkejut.

"Kaget ya, gue punya adek?" balas Alfatih sambil tersenyum. Ia hanya ingin sedikit mengganggu adiknya.

Dinda merasa semakin kesal mendengar apa yang diucapkan oleh kakaknya. Ia hanya menundukkan kepala, mencari suatu titik kosong untuk memalingkan pandangan, asalkan tidak harus melihat ke arah Rezzan.

"Eh, aku dan Dinda mau jalan duluan ya. Mau cari es duren," kata Naura seolah-olah ia tahu keadaan Dinda. Ia lalu memegang pergelangan tangan Dinda dan bergerak pergi mencari es duren, sebenarnya hanya alasan agar mereka bisa meninggalkan dua pria yang berdiri di belakang mereka.

Alfatih tertawa keras melihat reaksi adiknya yang canggung dan malu bertemu dengan Rezzan. Sementara Rezzan, yang tidak mengerti apa-apa, hanya tersenyum melihat dua gadis tadi pergi meninggalkannya.

Alfatih melihat Naura dan Dinda berjalan menjauh dengan senyuman. Ia mengangkat bahunya seolah mengatakan, "Nah, sudahlah. Biarkan mereka berdua."

Rezzan yang masih menyimpan senyum di wajahnya, berbalik memandang Alfatih. Ia mengernyitkan kening, sedikit penasaran dengan situasi di hadapannya.

"Jadi, selama ini lo ngapain aja. Katanya lo mau ke rumah?" tanya Rezzan dengan penuh rasa ingin tahu.

Alfatih menghela napas dalam-dalam, menyadari bahwa Rezzan perlu tahu tentang perasaannya dan perjalanan hidupnya selama ini.

"Rezz, sebenarnya ada banyak hal yang terjadi dalam Gue, dan sorry Gue lupa buat mampir," kata Alfatih dengan serius. "Setelah kita berpisah, Gue mutusin buat ngejalin karir di pelayaran. Gue jadi nahkoda kapal pesiar dan mengarungi lautan Indonesia. Namun, di tengah perjalanan itu, ada satu hal yang selalu menghantui pikiran Gue."

Rezzan mendengarkan dengan penuh perhatian, menunggu Alfatih melanjutkan ceritanya.

"Lo tahu kan, gadis samping tadi yang namanya Naura?" tanya Alfatih, matanya terpancar rasa cinta yang tak terucapkan. "Dia adalah gadis yang selalu tersenyum."

Rezzan mengangguk mengerti. Ia bisa merasakan betapa besar perasaan Alfatih terhadap Naura.

"Lalu, beberapa waktu yang lalu, Gue dengar kalo Naura belum menikah," lanjut Alfatih dengan nada berharap. "Itu buat Gue bersemangat, Rezz. Gue merasa ada harapan untuk mengungkapkan perasaan padanya. Jadi, Gue kembali dari Kalimantan ke Bandung dengan harapan bisa mendapatkan dia."

Rezzan menggenggam bahunya dengan penuh semangat. "Gue ngerti, Fat. Lo berjuang untuk hal yang lo mau. Gue berharap semoga segala upaya lo berhasi."

Alfatih tersenyum dan mengangguk. Ia merasa beruntung memiliki seorang teman seperti Rezzan yang selalu mendukungnya. Mereka berdua melanjutkan perjalanan ke Pasar Takjil, berbicara tentang masa lalu dan harapan masa depan.

Di lain tempat, Naura dan Dinda duduk di sebuah warung es duren. Dinda merasakan kegelisahan dalam hatinya dan Naura mencoba memberikan dukungan.

"Dinda, lo gak usah  khawatir. Alfatih adalah kakak lo dan dia hanya ingin melihat lo bahagia," kata Naura dengan penuh kasih sayang. 

Dinda mendengarkan kata-kata Naura dengan hati terbuka. Ia menyadari bahwa ia harus melawan ketakutannya dan memberi kesempatan pada cinta yang mungkin datang ke dalam hidupnya.

********

Setelah menjalankan sholat teraweh, Naura merebahkan tubuhnya ke ranjang yang empuk, dengan seprai berwarna hijau toska yang menjadi alasnya. Tangannya meraba di sekitar mencari sesuatu yang bergetar di dekatnya. Namun, ia tidak bisa menemukannya. Naura terduduk, berusaha mencari di mana sebenarnya ponselnya berada. Ternyata, ponselnya tersembunyi di balik guling yang sebelumnya digunakan sebagai penyangga kakinya.

Naura mengambil ponselnya dan menghidupkannya. Beberapa pesan WhatsApp muncul di layar ponsel. Dari semua pesan yang masuk, Naura merasa tertarik dengan satu nomor tanpa nama, yang terlihat mencolok dengan angka genap yang dominan. Naura pun membukanya.

082245****** 

"Sebelumnya, saya berharap tugas yang saya berikan sudah kamu selesaikan, karena saya membutuhkannya besok. Saya berharap malam ini kamu sudah menyelesaikannya dan mengirimkannya kepada saya. Terima kasih."

Seperti terkena angin topan, mata Naura seketika terbelalak seolah terkena sengatan petir, setelah membaca pesan yang menakutkan dan seakan mengutuk dirinya. Sebelum Naura membalas pesan tersebut, ia melirik jam tangannya. Sudah pukul 9 malam, dan meskipun hanya sebuah laporan yang belum selesai, pasti membutuhkan waktu yang cukup lama. Naura melempar ponselnya ke samping, lalu merebahkan tubuhnya, seolah ingin merilekskan diri sejenak sebelum mulai begadang.

●︿●

-Ntrufayme

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang