Bab 16

668 55 5
                                    

Hembusan angin malam menyusup perlahan melalui celah-celah jendela, menyentuh lembut wajah Rezzan yang sedang duduk di antara dua sujud. Dengan penuh khidmat, ia melafalkan setiap bacaan sholat dengan konsentrasi yang tinggi. Wajahnya sedikit basah karena air wudhu, memberikan kesan segar dan bercahaya. Jam dinding yang tergantung di dekatnya menunjukkan pukul 2 pagi. Meskipun seharusnya saat ini adalah waktu bermain dan menjelajah alam mimpi, bagi Rezzan, ini adalah saat yang berharga untuk melaksanakan sholat tahajud.

Setelah menyelesaikan sholat, Rezzan menyisipkan satu nama istimewa dalam doanya, seperti yang telah ia lakukan selama satu tahun terakhir. Nama itu selalu menjadi sinar terindah dalam dunia yang fana ini. Rezzan bangkit dari sujudnya, melipat sajadah, dan meletakkannya dengan lembut di atas meja. Ia kemudian mengambil sebuah buku catatan berwarna coklat.

Rezzan duduk di pinggir ranjangnya, memegang buku tersebut dengan kedua tangannya. Buku itu adalah catatan khusus yang ia mulai setelah bertemu dengan seseorang yang telah memberikan pengaruh besar dalam hidupnya. Ia membuka halaman pertama buku tersebut, dan terdapat satu kata yang mencerminkan semangat dalam menjalani hidup. Lalu, Rezzan melanjutkan membuka halaman kedua. Senyuman muncul di bibirnya saat ia menemukan tulisan yang telah ia buat setahun yang lalu. Tulisan itu diisi dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh.

Menyukai seseorang pada pandangan pertama, menurutku adalah hal yang tak mungkin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menyukai seseorang pada pandangan pertama, menurutku adalah hal yang tak mungkin. Namun, keyakinan tak mungkinku tersebut terpatahkan ketika aku merasakannya. Dialah.

Nampak senyum manis keluar dari wajahnya yang kini sedang asyik bermain dengan laptopnya. Aku terdiam sejenak, memperhatikannya dari kejauhan.

Fokus yang kini terpajang di wajah putihnya membuatnya terlihat sedikit lucu. Aku tertawa kecil. Aku ingin menemuinya dan menyapanya, karena hanya dia di sini, yang tak pernah melihatku dan mengenalku.

Namun sebelum aku melangkah, tiba-tiba rasa ragu menghampiri. Sejujurnya, aku sudah bahagia dengan hanya ini. Aku tak ingin berbuat lebih, menyebut namanya di sepertiga malam mungkin akan lebih indah di mata Tuhan.

Karena menyukainya adalah anugrah, tapi memilikinya dengan seutuhnya adalah hal yang lebih berharga karena kesucian hati. Seperti yang pernah disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW, "Cinta adalah separuh iman." Sungguh, cinta yang tumbuh dalam hati kita adalah karunia dari Tuhan yang perlu kita jaga dengan kesucian dan keikhlasan.

Aku percaya bahwa ketulusan hati akan memberikan berkah yang lebih besar daripada segala yang tampak di mata dunia. Seperti yang tertulis dalam Al-Qur'an, "Sesungguhnya, dengan zikir kepada Allah hati menjadi tenteram." Oleh karena itu, aku akan tetap menjaga perasaan ini dalam kerangka keikhlasan dan menjadikannya sebagai doa yang terukir di sudut hati. Semoga Tuhan memberikan yang terbaik dan membimbing jalanku dengan cahaya-Nya. Dalam kesabaran dan keimanan, aku akan menempuh hidup ini dengan penuh kebahagiaan dan harapan.

Jakarta, 13 April 2020


Rezzan melanjutkan senyumnya, menyerap kembali setiap kata yang tertulis dalam tulisan yang ia buat satu tahun yang lalu. Pada saat itu, dalam momen itu, ia merasakannya dengan sepenuh hati. Ia merasakan getaran yang menambah makna yang mendalam dalam hidupnya. Sebuah rasa yang tak tergambarkan, yang mendorongnya untuk memperjuangkannya walaupun tanpa menyentuh, tanpa berbicara. Namun, sekarang ia telah memasuki fase berikutnya, memulai perjalanan dengan tekad yang serius.

Rezzan membiarkan pikirannya melayang, merenungkan perjalanan yang akan ia tempuh. Ia menyadari bahwa cinta tidak hanya mengenal batasan fisik, tetapi juga melekat dalam jiwa dan pikiran. Dalam kerinduannya yang mendalam, ia memutuskan untuk membangun ikatan yang lebih kuat dengan apa yang ada di dalam dirinya. Ia menanamkan tekad yang bulat untuk menjaga keikhlasan hati dan menghargai setiap momen yang dihadirkan oleh takdir.

*******

Suara bisikan sendok yang terus-menerus mengaduk dengan sembrono menyentuh indera pendengaran Nasya, membuatnya merasa terganggu.

"Harusnya makan dengan benar, Naura! Cuci tangan dulu, sana," cetus Nasya dengan sedikit kekesalan melihat putrinya makan dengan tidak teratur.

Naura hanya terdiam, memandang makanan di piringnya dengan keraguan, meskipun waktu imsak semakin dekat.

Jika Nasya mengetahui alasan di balik perilaku putrinya, mungkin ia akan lebih memahaminya. Bagaimanapun, semalam Naura begadang karena mendapat pesan mendadak dari direktur untuk menyelesaikan tugas artikel dan laporan secara mendesak. Padahal sebelumnya Naura diberi waktu seminggu, namun tiba-tiba direktur meminta hasilnya lebih cepat. Tanpa banyak pilihan, Naura begadang semalaman untuk menyelesaikan tugas tersebut. Baru pukul 2 pagi ia mengirimkan laporannya ke email direktur, kemudian ia terlelap begitu saja di tempat tidurnya.

"Bunda," bisik Naura dengan lembut.

"Ada apa, Nak?" Nasya menjawab.

"Ayah kapan pulang?"

Nasya memalingkan pandangannya dan menatap putrinya yang masih menunduk.

"Lusa," jawab Nasya singkat.

"Oh. Tapi Ayah baik-baik kan?"

"Sehat."

"Sudah dihubungi?"

"Sudah tadi siang."

"Benar-benar sehat?"

Sebelum Nasya menjawab, matanya terpandang pada jam dinding besar yang tergantung di atas bingkai foto. Tinggal 10 menit lagi menuju imsak, tetapi putrinya masih belum menyentuh apapun yang ada di piringnya.

"Sudah, habiskan makananmu dulu, sebentar lagi imsak," ucap Naura dengan tegas setelah ia selesai makan.

"Baik, Bunda," jawab Naura dengan singkat.

Naura yang tadinya enggan, kini mulai melahap makanannya dengan cepat. Hanya dalam waktu 5 menit, ia berhasil menyantap semuanya, walaupun ia hanya mengambil sedikit lauk-pauk.

Setelah itu, Naura mencuci piring dengan hati-hati, sambil memperhatikan ibunya yang duduk di kursi makan dengan buku hadits di tangan dan kacamata yang menempel di matanya.

"Bunda, dengan siapa aku akan dijodohkan?" tanya Naura dengan perasaan ingin tahu yang tak terbendung.

Nasya merasa sedikit terkejut oleh pertanyaan putrinya, namun wajar jika Naura ingin mengetahui. Nasya ingin memberikan jawaban yang jujur, namun ia teringat pesan dari suaminya untuk tidak memberitahu dengan siapa Naura akan dijodohkan. Meski Nasya sendiri merasa bingung mengapa hal itu harus dirahasiakan.

"Akan ada seseorang yang baik dan tampan, kamu akan mengetahuinya nanti," jawab Nasya sambil meninggalkan putrinya yang masih terdiam, memikirkan apa yang baru saja ia dengar.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang