Bab 24

564 38 4
                                    

Tak terasa sudah memasuki puasa ke 25, di mana akan ada acara sambutan untuk menuju hari ke menangan di tempat daerah Naura, yang akan di adakan di masjid setempat. Acara ini rutinitas di laksanakan setiap setahun sekali, yaitu mendekati hari raya idul fitri. Sejenis acara buka bersama, yang akan di hadiri oleh seluruh masyarakat sekitar.

Oleh karena itu, kali ini Naura dan Dinda sedang asyik memasak ayam sambal kuning di sebelah masjid. Tentu saja, mereka bukan satu-satunya yang sibuk; banyak ibu-ibu juga tengah sibuk dengan berbagai pekerjaan seperti memasak nasi, membuat es buah, menggoreng aneka gorengan, dan para pria sedang mempersiapkan tempat untuk menyajikan hidangan berbuka. Pemimpin dari persiapan ini adalah Rezzan dan Alfatih.

Kedua pria tersebut menarik perhatian para gadis dewasa, seolah menjadi pemandangan yang menggoda mata. Tidak hanya itu, mereka juga memiliki wajah tampan yang luar biasa.

"Naura, jangan terlalu tergoda ya. Ayamnya hampir kering di wajan," canda Naura kepada Dinda.

Dinda hanya menggeleng sambil berusaha kembali fokus pada memasak.

"Iya, Gue masih mengaduknya. Ingat, Naura, jangan lupa nanti," kata Dinda.

"Tenang saja, Gua  akan mengingatkan."

Namun, janji yang mereka buat tidak semudah yang terlihat. Seharusnya Dinda tidak seharusnya membuat janji ini. Meskipun ia tahu kebenarannya, tetapi keegoisannya membuatnya melupakan kenyataan dan kebenaran tersebut.

Waktu beranjak gelap, burung-burung sudah kembali ke sarangnya, dan ayam-ayam pun sudah tidak berkeliaran. Hanya beberapa kucing yang tersisa di sekitar, menantikan sisa-sisa makanan dari acara yang akan segera diselenggarakan.

"Baiklah, para hadirin yang terhormat, waktu sudah mendekati adzan Maghrib, dan saatnya untuk berbuka. Apakah semua sudah duduk di tempat masing-masing?" tanya Rezzan.

"Sudah Ustad!"

"Jika sudah mari kita tunggu. Oh iya sebelumnya untuk para laki-laki siapa yang berkenan untuk adzan?" tanya Rezzan.

"Ustad Rezzan aja," ujar langsung bapak menggunakan peci bulat.

Rezzan tertawa kecil.

"Hahah Ya sudah saya saja." Rezzan melirik jam tangannya, "Oke sudah waktunya berbuka, mari kita berdoa terlebih dahulu."

Semua orang mengangguk, lalu tertunduk membaca doa yang di pimpin oleh Rezzan.

"Bismillahirahman nirohim."

"Allahuma laka sumtu wabika amantu wala rizqika aftortu birah matika ya arhama rohimin."

"Aamiin!"

Semua pun mengambil air putih masing-masing yang sudah disediakan. Rezzan meneguk 3 tegukan, lalu mengambil sebuah kurma di hadapannya. Setelah selesai Rezzan beranjak.

"Saya adzan dulu."

Rezzan pun menuju tempat wudhu, lalu memasuki masjid dan menjadi muadzin.

"Allahuaknar allhuakbar."

"Allahuakbar allahuakbar."

Semua memberhentikan aktivitasnya, termasuk Naura yang tertegun, mendengar suara adzan yang selalu membuatnya kagum, dan untuk pertama kalinya Naura mengetahui suara siapa yang selalu adzan di waktu Maghrib, dan ternyata suara itu adalah suara Rezzan. Untuk ke sekian kalinya hati Naura tersentuh, dan lagi-lagi dengan pria yang sama.

"Adem banget kan suaranya ... Uh! Pokoknya dia harus jadi milik gue. Apa pun itu," bisik Dinda.

Naura hanya mengernyitkan bibirnya, semakin lama merasa bahwa temannya ini semakin berlebihan. Tidak seperti pada awalnya, di mana Dinda hanya memiliki perasaan sukacita tanpa keinginan untuk memiliki. Namun, kenyataannya sekarang, hati Dinda telah diselimuti oleh keegoisan yang tak terbendung, dan tak bisa diabaikan bahwa Dinda benar-benar berhasrat untuk memiliki Rezzan, bahkan jika itu harus melukai perasaan teman masa kecilnya.

Setelah Rezzan mengumandangkan adzan, dia kembali ke tempat duduknya yang tidak jauh dari Naura dan Dinda yang berdiri. Sesuai rencana, minuman yang ada di sekitar Rezzan mulai habis. Rezzan memandang ke sekeliling mencari minuman baru.

"Naura," bisik Dinda seraya mengguncang pelan lengan Naura, "Cepat... Beri dia minumannya. Dan jangan lupa melakukan apa yang telah kita bicarakan sebelumnya."

Naura telah memutuskan untuk mengikuti janji dan rencana yang telah mereka sepakati. Dia mengangguk dan bangkit untuk mengambil segelas es yang dia bawa menuju Rezzan.

Banyak mata yang memperhatikan saat Naura berdiri, termasuk Alfatih.

"Ini, Ustad... Minumannya," ucap Naura sambil menyodorkan segelas minuman dingin. Tapi tiba-tiba...

"Aduh!"

Momentum tersebut menarik perhatian semua orang di sekitar. Sebagian besar air dari gelas tumpah dan membasahi pakaian Rezzan. Dinda, yang berdiri di belakang Naura, dengan cepat mengambil kesempatan.

"Wah, bajunya basah! Ustad, ikut saya, saya akan membantumu mengeringkannya!" ucap Dinda, berusaha mengambil kendali atas situasi yang terjadi.

Rezzan pun berdiri, sambil melemparkan pandangan singkat ke arah Naura yang penuh penyesalan.

"Gak seharusnya aku melakukannya," batin Naura.

Untungnya, saat ini Nasya tidak menghadiri acara buka bersama karena sedang tidak enak badan.

Rezzan pun mengikuti Dinda dengan langkah santai, dan Dinda tersenyum penuh kemenangan. Naura hanya bisa menundukkan kepala, merasa bersalah. Meskipun dia telah memperkuat niatnya, tetap ada rasa bersalah atas tindakannya.

Namun, sebelum Rezzan dan Dinda menjauh, tangan Dinda tiba-tiba dicekal oleh seseorang dari belakang. Dinda dan Rezzan pun menoleh.

"Kakak!"

"Biarkan kakak yang mengajak Rezzan, kamu pulang saja!"

Mungkin mengherankan mengapa Rezzan secara tiba-tiba mengikuti ajakan Dinda, dan entahlah.

"Tapi..."

"Cukup! Kembali saja!" desis kakak Dinda dengan nada marah. Dengan pandangan yang penuh kekecewaan, Dinda berbalik dan kembali, mengikuti perkataan kakaknya. Dari ekspresi mata yang dilemparkan oleh Alfatih kepada adiknya, sudah terlihat jelas bahwa kakaknya sangat marah atas perilaku adiknya.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang