Bab 14

696 52 3
                                    

Daun-daun kering terlempar mengayun-ayun dan mendarat dengan lincah di permukaan tanah berwarna cokelat. Dengan tak sengaja, satu helai daun yang sudah sedikit rusak karena kekeringan atau mungkin telah dimakan oleh ulat, jatuh tepat di atas sebuah sepatu berwarna hitam.

Dengan tangkas, pemilik sepatu itu meraihnya dan memandang daun tersebut. Lalu dengan lembut, ia melemparkannya dan berbalik dengan mantap. Wajah laki-laki itu kini terukir senyuman yang mengesankan. Ia kemudian menggapai kantong celananya dan mengeluarkan sebuah dompet berwarna hitam yang terasa begitu eksklusif.

Dompet itu pun terbuka, dan di dalamnya terdapat sebuah foto yang usang namun memiliki makna yang mendalam. Sang pemilik segera meraih foto tersebut dan memandang erat gambar dua insan manusia yang sedang tersenyum bahagia di bawah pohon rindang di tepi sungai. Tempat itu adalah tempat yang kini ia berada, seolah-olah ia ingin merenungkan kenangan masa lalunya.

Ia membolak-balikkan foto tua itu, dan terlihatlah tulisan yang masih terbaca meski agak berantakan.

Fatih dan Naura, teman selamanya

"Teman Selamanya," bisik Alfatih sambil menatap lembut foto yang kini tergenggam di tangan kanannya.

Alfatih, seorang pemuda dewasa berusia 28 tahun, menjalani profesinya sebagai Nahkoda kapal pesiar yang selalu berlayar di seluruh lautan Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Ia adalah seorang lajang yang belum menemukan pendamping hidup. Namun, Alfatih memilih untuk tetap sendiri karena ia mencari sosok gadis yang tersenyum dalam foto usang tersebut.

Sebelum pulang ke rumah yang telah ia tempati selama lebih dari 10 tahun, Alfatih ingin mengetahui kabar adiknya tentang Naura. Sudahkah Naura menikah atau memiliki pasangan? Ketika mengetahui bahwa Naura masih sendiri, Alfatih memutuskan dengan tekad bulat untuk kembali dari Kalimantan ke Bandung. Perjalanan pulang itu tak mudah baginya, menghadapi berbagai masalah baik di tempat kerjanya maupun dengan keluarganya di Kalimantan yang telah merawatnya hingga mencapai kesuksesan saat ini. Alfatih berdalih ingin menemui calon pendamping hidupnya yang telah menantikannya di Bandung, meskipun kenyataannya, rencana itu terancam karena Naura akan dijodohkan, dengan siapa?

Alfatih mengusap kasar wajahnya, lalu memandang ke arah air sungai yang mengalir dengan jernih dan tenang, seolah tak memikul beban apapun.

"Haruskah Gue kembali? Tapi Gue telah berjanji akan pulang dengan membawa pendamping. Tapi..." Alfatih kembali menatap foto yang ia genggam.

"Orang yang pengen gue temuin malah pengen di jodohin! Sial!"

Alfatih melempar foto yang ia genggam, sebelum hampir saja foto itu menyentuh permukaan air. Dengan cepat, Alfatih menyambarnya kembali, namun...

Byurr!!!

Alfatih terjatuh ke dalam sungai yang untungnya dangkal, sambil menjaga foto yang ia pegang agar tidak terkena air.

"A'a, Puasa-puasa kok malah renang, gak malu atuh sama kami-kami ini," ejek seorang bocah dengan jaring ikan di pundaknya.

"Kalau kepanasan, lebih baik pulang  A'a dan menikmati kesejukan di depan kulkas," sahut bocah lain yang membawa ember.

"Udah ah biarin. Ayo kita pergi memancing di sana. Ikan di sini sepertinya sudah kabur," ujar bocah yang membawa sandal jepit.

Alfatih hanya memandang kebingungan mendengar kata-kata beberapa bocah di atas. Kumpulan anak kecil itu pun melanjutkan perjalanan mereka menjauhi Alfatih yang masih berusaha bertahan di tengah sungai.

Kini, Alfatih bangkit dari air.

"Syukur deh! Emang cuman temen! Jelas di foto itu gue yang nulis."

Dengan perasaan campur aduk dan pakaian yang basah setengah terkena air, Alfatih melanjutkan langkahnya sambil mencoba mengeringkan pakaiannya semampunya.

Alfatih melanjutkan perjalanannya dengan langkah tegap meski pakaian basah terasa melekat di tubuhnya. Dia berjalan menuju tempat yang lebih terbuka, di bawah sinar matahari yang terik. Sementara itu, daun-daun kering masih terbawa angin dan menari-nari di sekitarnya, memberikan suasana yang semakin magis.

Perasaan campur aduk masih menyelimuti pikiran Alfatih. Di satu sisi, dia teringat akan janjinya untuk kembali dengan membawa pendamping hidup, tetapi di sisi lain, rasa takut akan kehilangan Naura mendorongnya untuk segera bertindak. Dia merenungkan langkah apa yang sebaiknya diambil.

********

Jam tangan di pergelangan Naura berdetak dengan mantap, seiring dengan mata cermatnya yang berpindah-pindah, menyerap isi artikel Membaca Tanda-Tanda Asmara yang Tersirat. Jika ada yang melihat Naura saat itu, pasti akan memandangnya dengan kagum dan terheran-heran, menciptakan kemarahan dari berbagai pertanyaan dalam benak mereka. Sejak kapan Naura menjadi tertarik pada hal semacam ini? Dan siapa gerangan orang yang menyita hatinya?

Fakta yang ada, Naura belum pernah tertarik pada siapapun. Kecuali dua pria yang selalu menghantuinya dalam pikiran akhir-akhir ini.

"Pertama, tanyakan pada dirimu sendiri, apakah kau merasa bahagia setelah bersamanya," Naura membaca poin pertama dengan rasa ingin tahu yang mendalam.

"Salah satu cara untuk mengetahui apakah kau menyukainya adalah dengan menghabiskan waktu berdua. Jika obrolan kalian berjalan dengan lancar, dia mampu membuatmu tertawa, dan setiap kali kalian berpisah, kau merasa senang dan bersemangat, maka besar kemungkinan kau memang tertarik padanya." Naura mengangkat sebelah alisnya dengan sedikit keraguan.

"Namun, jika kau merasa tidak nyaman atau dia tampak menjaga jarak saat kalian berbicara, itu bisa menjadi tanda bahwa kalian tidak memiliki koneksi yang kuat," lanjut Naura, mencoba memahami lebih dalam.

Dia menghela nafas dalam-dalam, berusaha mengurai benang kusut yang terbentuk dalam hatinya. Ternyata mencintai dan menyukai seseorang bukanlah hal yang mudah seperti yang dia bayangkan. Tapi Naura bertekad untuk menemukan jawabannya, menemukan keberanian untuk menghadapi kebenaran yang mungkin menunggunya di ujung jalan. Dalam perjalanan mencari jawaban, dia tahu bahwa hanya hatinya yang bisa memberikan petunjuk yang sejati.

Dalam keheningan yang mengelilingi Naura, suara jam waktunya bergema di telinganya, mengingatkannya pada keputusan yang harus diambil. Dia menatap layar laptopnya dengan intensitas yang menggetarkan. Di dalam hatinya, rasa cemas dan keingintahuan saling berbenturan.

"Pertanyaan kedua yang harus kau ajukan pada dirimu sendiri adalah: apakah kau sering memikirkannya? Apakah ia selalu ada dalam pikiranmu sepanjang waktu?" Naura membaca dengan nada yang bergetar.

Ia menggumam dalam hati, "Keknya jarang si, malah belum pernah."

Naura melanjutkan membaca artikel, setiap kalimat memunculkan pertanyaan dan refleksi yang lebih dalam. Ia mencari tahu bagaimana mencintai, bagaimana mengetahui apakah perasaannya nyata, atau hanya bayang-bayang yang menguasai hatinya.

Saat matahari semakin merayap ke arah senja, Naura menutup laptopnya dengan pelan.

"Gabud amat sih! Astaghfirullah gue liat artikel ginian!" racau Naura.

"Mending gue ngajak Dinda ngabuburit aja kali!"

Naura mematikan laptopnya, sebelum ia melangkah. Terlebih dahulu Naura menggapai satu buah jilbab langsung berwarna hitam dan tak lupa ponsel yang tergeletak di sampingnya Naura bawa.

●︿●

                                                     See you
                                                -Ntrufayme

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang