Bab 30

674 36 2
                                    

Suara takbir berbunyi saling bersahutan satu sama lain dari segala penjuru, menciptakan alunan yang merdu di udara malam. Banyak sekali para anak-anak, remaja, hingga orang dewasa berlalu-lalang di jalan raya, membawa semangat dan kebahagiaan dalam menyambut hari kemenangan. Namun, pemandangan yang tak terelakkan adalah wajah-wajah yang dirapikan oleh masker, langkah kaki yang hati-hati, dan kesadaran akan protokol kesehatan yang dijunjung tinggi.

Malam ini, malam yang telah dinanti-nantikan oleh umat muslim di seluruh penjuru dunia. Setelah melalui satu bulan penuh ibadah puasa, saatnya merayakan kemenangan. Namun, kali ini bukanlah kemenangan sembarangan. Puasa kedua yang dihadapi dalam tengah pandemi COVID-19, sebuah perjalanan yang tak pernah mudah, dengan keuangan yang harus dikelola hati-hati agar bulan suci ini bisa dilewati tanpa kendala finansial.

Obor-obor menjulang tinggi, cahaya obor-­obor ini bergabung dengan denting bedug yang mengiringi dengan irama yang pas, menciptakan suasana semakin menggema. Bunyi takbir bersama bedug yang menggema di kejauhan membawa pesan harmoni dan persatuan.

"Allaahu akbar ... allaahu akbar ... allaahu akbar."

"Laa ilaaha illallaahu wallaahu akbar...."

"Allaahu akbar wa lillaahil-hamd..."

Puasa tahun ini terasa begitu singkat, seperti hanya sebentar sejak bulan Ramadhan dimulai, dan tiba-tiba hari kemenangan telah datang. Begitu banyak kenangan dan perenungan dalam setiap hari puasa, dan sekarang semuanya terasa berjalan begitu cepat, hingga mencapai puncaknya di hari ini.

Naura, Dinda, dan Siti telah menunaikan salat Isya setelah buka bersama. Kini mereka berjalan beriringan, menyatu dalam iringan rombongan umat yang penuh kebahagiaan. Mereka melangkah dengan riang, mengikuti jejak orang-orang yang merayakan dengan penuh syukur.

Sebelumnya, Naura dan Dinda mengunjungi rumah Siti untuk mengajaknya buka bersama. Setelah memberi kabar, mereka kembali ke rumah Naura, tempat berkumpul sebelum menuju tempat makan pecel yang tak jauh dari sana. Kini, dalam perjalanan kembali ke rumah Naura, mereka berniat mengadakan acara bakar jagung sebagai puncak kebersamaan mereka.

Namun, sebelum Naura pergi untuk buka bersama, ibunya, Nasya, telah melarangnya dan meminta bantuan untuk menyiapkan beberapa hal. Naura menolak dengan alasan bahwa ibunya akan lebih menikmati melakukannya sendiri. Namun, sebenarnya ada alasan lain di balik penolakan itu. Ayah Naura akan pulang malam ini, namun sebelum Naura bisa memberi tahu ibunya, ia sudah pergi.

Saat mereka tiba di depan rumah Naura, perhatian mereka tertuju pada sebuah mobil Honda CRV berwarna hitam yang terparkir di sana. Mobil itu pernah mampir sebelumnya ketika Naura tidak ada di rumah. Namun kali ini, Naura berdiri di depan rumahnya, tampak kaget dan heran dengan kehadiran mobil itu.

Wajah Naura tercermin dalam ekspresi campuran antara kaget dan penasaran ketika ia berdiri di depan rumahnya, mata yang lembut memandangi dua mobil Honda CRV berwarna hitam yang sekarang terparkir di halaman. Lampu-lampu jalan yang memancar di sekitarnya memberikan sentuhan misteri pada adegan ini, seolah-olah ada sesuatu yang menunggu untuk diungkap.

Dinda dan Siti juga merasa penasaran, terpana dengan kejadian tak terduga ini. Mereka mengamati Naura dengan wajah penuh tanya, tanpa harus mengatakan sepatah kata pun. 

"Ada apa, Naura?" Dinda akhirnya menyingkirkan keheningan yang mencekam.

Naura menggelengkan kepala, masih terkejut dengan situasi ini. "Gue nggak tahu. Apa mungkin...?"

Sebuah pintu mobil perlahan terbuka, dan dari dalamnya muncullah sosok pria yang tampak begitu familier. Seolah waktu berhenti sejenak, detik-detik terasa berdesir lambat. Pria itu adalah Atha.

"Ayah?" Naura berbisik, tatapan campur aduk di wajahnya: terkejut, gembira, namun juga penuh cemas.

Pria itu tersenyum lembut, langkahnya lambat menuju Naura. Dia memeluk putrinya erat.

"Selamat Hari Raya, Nak."

Pelukan hangat itu memenuhi ruangan, menyatukan kembali mereka setelah lama terpisah. Di saat yang penuh makna ini, kehadiran Ayah menjadi kejutan paling berharga yang tak ternilai.

"Sungguh, ini adalah kejutan terindah dalam hidupku," bisik Naura sambil memejamkan mata, merasakan detak jantungnya berpadu dengan detak jantung Ayahnya.

Dinda dan Siti tersenyum, ikut merasakan getaran emosi yang melintas dalam ruangan itu. Kejutan seperti ini membuat makna perayaan semakin mendalam. Takdir telah menggenggam erat tangan mereka pada saat yang paling istimewa.

Mereka bertiga melangkah lebih dalam ke dalam rumah, dan di sana, pemandangan lainnya menanti. Sepasang sepatu asing terletak di lantai. Satu pasang pantofel hitam yang elegan, dan yang lainnya adalah sepatu wanita yang terlihat sangat mewah, seolah berharga jutaan rupiah.

"Kok di dalem kayanya rame banget sih, gue sama Siti di luar aja lah," ungkap Dinda merasa was-was.

"Ya nih, gue sama Dinda di luar aja," sambung Siti.

"Ya elah gitu aja takut njit. Masuk aja!"

"Iya kalian berdua ikut masuk, ada hal menarik di dalam," kata Atha pelan.

Karena merasa tak enak, Dinda dan Siti pun mengikuti langkah Naura.

"Assalamualaiku," salam merek bertiga secara bersamaan.

"Waalaikum salam .... "

Namun, seperti mendapat pukulan keras di dada, ketiga gadis lajang itu tiba-tiba berhenti di langkah mereka. Di ruang tamu, terdapat lima sosok yang duduk dengan tenang, seolah mereka sedang menanti kedatangan seseorang. Bunga-bunga diatur dengan apik dalam kotak-kotak kecil yang biasanya kosong. Ekspresi wajah ketiga gadis itu beragam. Wajah Naura mencerminkan kejutan yang tak terkira, tatapan matanya mencari jawaban atas kehadiran orang-orang ini. Namun yang paling menonjol adalah seorang wanita yang tampaknya tak jauh dari usia Bundanya. Siapa dia?

Sementara itu, Dinda seakan menjadi patung yang akan dihancurkan. Rasa malu menyelimuti dirinya, dan wajahnya terpancar rasa bersalah. Namun, dia berusaha tersenyum tipis ketika melihat kakaknya duduk bersebelahan dengan seorang pria, pria yang menjadi alasan semua ini.

Siti, di sisi lain, tampak terpana dan tak percaya. Bibirnya setengah terbuka, hampir saja ia menjatuhkan ponselnya. Untungnya, seutas tali kecil terikat di jari telunjuknya yang mencegahnya jatuh.

Tatapan pria yang sangat dikenal oleh Siti menghantamnya seperti gelombang. Pria yang namanya beberapa kali ia dengar dari teman-temannya, namun tak pernah ia bayangkan memiliki keterkaitan apa pun dengannya. Namun, di situlah semua rahasia terbongkar, dan Siti menyadari berbagai hal yang selama ini mengusik pikirannya.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang