Bab 31

650 34 1
                                    

"Dia yang akan menjadi jodoh kamu, Naura," kata Atha dengan nada yang penuh keyakinan.

Kata-kata itu terasa seperti pukulan berat, menghentikan waktu dan mengikat Naura dalam kebingungan yang mendalam. Dalam keadaan seperti ini, gambaran pemandangan terhenti di tengah-tengah. Wajah Naura terpancar kebingungan dan tidak percaya, matanya mencari jawaban dari raut wajah orang-orang di sekitarnya. Namun, Naura tidak mampu memberi jawaban atau reaksi. Pandangannya tanpa sadar beralih ke Dinda, mencari kepastian dari tatapan temannya.

'Lo tahu kan rencana gue gagal. Bersyukur banget rencana keji yang gue lakuin gagal.' Naura hampir bisa mendengar suara Dinda bergema dalam pikirannya.

Seketika, segala sesuatunya menjadi lebih jelas. Semua petunjuk yang telah Dinda berikan tadi sore sekarang mengikuti alur logika. "Karena yang berhak dapetin Ustad Rezzan itu cewek kayak lo. Gue ngerasa Ustad Rezzan lagi memperjuangin seorang wanita yang nggak peka, cuek, absurd, dan susah gitu." Semua kata-kata Dinda tampak memantul dalam benak Naura.

"Naura." Panggilan tegas dari Ayahnya mengembalikan Naura dari lamunannya. Semua mata tertuju padanya, dan Naura merasa tertekan. Namun, dia terjebak dalam kebuntuan. Bagaimana dia bisa merespon situasi seperti ini? Semua terasa begitu rumit dan membingungkan.

Suara takbir masih menggema dari luar rumah, mengingatkan Naura akan suasana sakral yang tengah berlangsung. Di tengah suasana serius, Naura merasa canggung dan malu, terduduk di samping Bundanya, tak berani menatap pria di depannya yang terhalang meja.

Alfatih, Dinda, dan Siti juga tak bisa berbuat banyak selain diam. Mereka hanya bisa melihat dua manusia yang dihadapkan pada takdir yang tak terduga. Kali ini, Siti hampir saja menjatuhkan vas bunga dari tangannya, tak percaya bahwa temannya akan dijodohkan dengan pria yang namanya telah menjadi perbincangan mereka.

Sebenarnya, mereka bertiga tak berniat untuk berada di ruangan ini. Namun, panggilan Atha untuk tinggal di tempat membuat mereka tak bisa menghindar. Sekarang, mereka berdiri di belakang Naura dan Bundanya, menyaksikan peristiwa yang begitu dramatis dan tak terduga ini.

Keheningan yang terasa berat kembali mengisi ruangan, hanya terpotong oleh suara takbir yang terus berkumandang dari luar. Naura merasa seakan-akan sedang berada dalam dunia paralel, di mana semua terasa begitu suram dan mendalam. Dia merasakan adrenalin mengalir di tubuhnya, dan hatinya berdegup kencang seolah-olah ingin melompat keluar dari dadanya.

Namun, dalam kekacauan pikiran dan perasaannya, Naura mendengar suara Ayahnya lagi. "Naura, katakanlah pendapatmu."

Matanya yang sebelumnya tenggelam dalam rasa takut dan kebingungan kini perlahan bangkit, menatap wajah Ayahnya dengan perasaan campur aduk. Dia mencari kata-kata yang tepat, mencoba untuk mengungkapkan perasaannya tanpa menyakiti hati siapa pun di ruangan itu.

" Ayah..." Naura mulai dengan suara yang lembut, "Aku sangat berterima kasih akan hal ini. Namun, ini adalah keputusan besar yang mengharuskan aku untuk merenungkan dan memahami lebih dalam. Aku harap bisa memberi aku waktu untuk memikirkannya."

Wajah Ayahnya menunjukkan ekspresi campur aduk. Ada kekecewaan, namun juga pengertian. Dia mengangguk perlahan dan berkata, "Tentu, Nak. Ini adalah keputusan besar dalam hidupmu. Ambil waktu yang kau perlukan."

Atmosfer yang tegang terasa melonggar sejenak, dan Naura merasa seolah beban besar telah diangkat dari pundaknya. Dia merasa lega bisa memberikan jawaban yang sementara ini memperlambat alur waktu dan memungkinkannya untuk menghadapi situasi ini dengan lebih matang.

Sementara itu, Dinda masih terdiam dengan rasa malu dan penyesalan. Dia merasa sangat bersalah atas rencananya yang telah berjalan keliru dan membuat Naura terlibat dalam kekacauan ini. Tatapannya bergantian antara Naura dan Ayahnya, mencari ungkapan penyesalan tanpa kata-kata.

Siti, di sisi lain, masih terkesima dengan hadirnya pria yang tampak familiar baginya. Hatinya berkecamuk antara keterkejutan dan kebahagiaan, meskipun situasinya agak rumit. Namun, dia merasa ada makna yang lebih dalam di balik pertemuan mereka.

"Saya tahu kamu sangat terkejut, dan masih belum bisa merasa keadaan kali ini benar-benar nyata," Rezzan tiba-tiba berkata, suaranya tetap tenang di tengah gelombang perasaan yang bergejolak, "Tapi yang harus kamu pahami, keadaan ini sebenarnya di luar rencana."

Naura yang tadinya sudah merasa lega, kini perlahan mengangkat kepalanya dan mata mereka saling beradu. Dia tertegun sejenak, menatap pria di hadapannya dengan mata yang mencoba menerobos kedalaman hatinya. Wajah Rezzan tampak serius, namun ada kilau pengertian di balik matanya yang menenangkan.

Dia merasa dadanya terasa sesak, seolah kejadian ini adalah mimpi buruk yang tak mungkin terjadi. Hati Naura pun kini terperangkap dalam perangkap emosi yang rumit. Semua terasa begitu tidak nyata. Masih sulit dipercaya bahwa pria di depannya adalah sosok yang akan dijodohkannya. Naura merasakan gelombang marah, rasa bersalah, kekecewaan, dan perasaan dikhianati oleh orang-orang yang paling dekat dengannya.

"Ayah benar-benar minta maaf, jika ini terlalu sulit bagimu, meskipun nyatanya ini adalah kelalaian Ayah sendiri yang membuat semuanya menjadi rumit. Tapi ini benar-benar keluar dari rencana," ujar Atha dengan suara berat, duduk di kursi tengah di antara mereka, "Jika kamu marah, kamu punya hak untuk merasakannya. Kamu boleh marah pada Ayah atas keputusan yang mendadak dan tidak memberitahumu siapa calon yang sebenarnya berada di sekitarmu. Kamu juga jangan menyalahkan Bundamu. Aku yang menyuruhnya untuk tidak mengungkapkan apapun padamu."

Semua pengakuan ini seperti hujan deras yang membanjiri pikiran Naura. Dia merasa seolah hidupnya adalah bagian dari skenario yang tidak ia rencanakan. Merasa diatur oleh kedua orang tuanya. Hati Naura merasa berkecamuk dan merasa dikhianati oleh segala rahasia dan sandiwara yang telah dijalankan.

"Biarkan aku yang akan menjelaskannya dengan lebih rinci padamu, tentang segala hal yang kulakukan saat ini, tentang apa yang kusimpan selama setahun terakhir," ucap Rezzan dengan tegas, tatapannya penuh dengan tekad.

Namun, Naura tidak lagi mendengarkan kata-kata Rezzan. Kepalanya terasa penuh dengan pertanyaan, pikirannya berputar-putar mencari jawaban atas banyak hal yang tiba-tiba terungkap di hadapannya. Wajahnya mencerminkan rasa frustrasi dan perasaan kacau. Semua yang dia yakini selama ini telah terbalik dan dia merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri.

Siti, yang berdiri di samping Dinda yang tengah cemas, merasakan bagaimana semuanya mulai memperoleh penjelasan yang sejauh ini mereka tidak ketahui. Kini dia merasa terpanggil untuk memahami lebih dalam. Semua ini adalah bagian dari kisah hidup Naura dan Rezzan, dan bagian dari tugasnya sebagai sahabat untuk memberikan dukungan dan pengertian.

Dalam suasana yang bercampur aduk, mereka semua menyadari bahwa pintu ke depan telah terbuka, menghadap pada keputusan besar yang harus diambil oleh Naura. Semua mata tertuju padanya, menunggu langkah berikutnya yang akan dia ambil. Di tengah kerumitan perasaan, harapan dan kenyataan, Naura harus mencari jawaban yang sejati untuk dirinya sendiri.

"Boleh aku mengajakmu keluar sebentar dan membicarakan semuanya tentang ku?" tanya Rezzan, nada perkataanya terdengar berubah.

Naura terlihat melihat ke arah ayahnya, dan Atha tampak mengangguk seakan menyetujui hal yang barusan diucapkan Rezzan. 

Rezzan pun berdiri dari duduknya, ia melangkah keluar dan diikuti oleh Naura di belakangnya. Dinda dan Siti hanya bisa tersenyum, sedangkan Alfatih? jelas ia berusaha untuk membuang segala perasaanya.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang