Bab 3

1.1K 98 64
                                    

"Dinda geseran dong, sempit nih." Naura sedikit mendorong Dinda.

"Bentar, ini masih ada orang yang lagi doa," ujar Dinda pelan.

Naura sedikit menengokkan kepalanya, melihat apa yang di katakan Dinda barusan dan ternyata benar masih ada seorang ibu yang masih khusyuk dalam doanya.

Kali ini, mereka sudah selesai sholat subuh. Naura yang ingin segera pulang harus mengundurkan niatnya, karena sebelum ia berdiri, tangannya sudah terlebih dahulu ditarik kembali untuk duduk oleh Nasya.

"Eh! Tuh kan beneran kataku, ustadnya ganteng banget."

"Mana masih muda."

"Belum beristri lagikan, cocoklah buat anak gadisku."

Sekilas Naura mendengar bisik-bisik dari ibu-ibu barisan belakang, ‘sempet-sempetnya di masjid berpikir seperti itu, jangan-jangan ramai kaya gini karena ustadnya lagi. Dasar wanita.’ batin Naura heran.

Jangan pernah tanyakan mengapa Naura bisa berkata seperti itu. Tentu saja karena ia belum pernah sama sekali menyukai lawan jenis. Eits bukan berarti ia tidak suka, ia masih normal. Hanya saja belum ada satu pun laki-laki yang membuat dirinya tertarik.  Atau bisaa dibilang, belum ada laki-laki yang dapat mencuri hatinya atau perhatiannya.

Waktu di Jakarta, ada satu orang laki-laki yang menyukai Naura secara terang-terangan, memaksa Naura membalas cintanya. Bukankah cinta tak perlu dipaksa? Naura pun semakin lama semakin risih. Dan akhirnya satu waktu dimana, Naura menolaknya secara kasar, sehingga membuat si laki-laki tersebut merasakan patah dan akhirnya mundur dengan sendirinya.

Bukan karena Naura jahat, lebih baik mementingkan ego sendiri dari dari pada memusakna ego orang lain. Sebenarnya bukan hanya itu, gadis cantik ini enggan menerima seseorang dalam hidupnya karena nasehat sang ayah yang melarang keras pacaran. 

Tentunya sebagai umat muslim, sang ayah akan berkata seperti itu. Dalam ajarannya pacaran itu di larang. Jelas dalam surah al-isra ayat 32, 'Dan jangan lah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.'

"Assalamualaikum warah matullahi wabarokatu."

Naura yang tadinya melamun, kini beralih menatap ke depan. Menatap seorang laki-laki, berpakaian gamis biru tua, dengan peci persegi panjang yang terpasang rapih di atas kepalanya. Naura sedikit terpana, sedetik kemudian ia mengedipkan kedua matanya.

"Wa'alaikum salam warohmatullahi wabarakatu," ucap seluruh penghuni masjid, terutama kaum hawa yang merasa girang melihat seorang ustad tampan di depan sana.

Tunggu, Naura seperti teringat sesuatu. Tapi apa? Gadis yang kini terduduk sila itu berpikir keras untuk menemukan memori di kepalanya. Mencari belahan kaset yang terpasang dilemari otaknya, akan tetapi ia tak mampu menemukannya.

Dinda yang fokus menatap ke depan seperti kaum hawa yang lain sekilas melihat ke Naura yang berlagak seakan sedang melakukan telepati.

"Oi! Naura, lo ngapain sih, muka lo dah kek ngemis THR,” ujar Dinda heran.

“Ya emang gua belum di kasih THR, nape lo mau ngasih?” tanya Naura menatap ke depan.

"Dih beneran ngemis THR. Nau, ustadnya ganteng ya," ucap Dinda menatap kagum laki-laki yang berdiri di depan sana.

"Dasar betina, tapi lumyan juga," batin Naura kembali fokus ke depan.

"Sebelumnya perkenalkan nama saya Abraham Rezzan Sauqi. Bisa dipanggil Rezzan. Terimakasih ke pada warga setempat yang bisa menerima saya disini. Insyaa Allah saya akan selalu hadir diwaktu subuh, untuk memberikan sesuatu yang patut saya berikan berupa ilmu yang sudah saya pelajari cukup lama.

Kali ini saya berdiri di sini ingin memberi sepatah dua patah mengenai Pentingnya Sholat bagi seorang muslim dikala puasa. Bukan berarti ketika nggak puasa tidak penting ya," ucap ustad yang bernama Rezzan dan diakhiri dengan gurauan.

Semua para hadirin tertawa renyah, apalagi kaum hawa yang menatap kagum, senyum manis ustad Rezzan yang menawan. Serta pembawaannya yang tampak bisa menggapai semua karakter manusia yang tengah mendengarkannya. Lain halnya Naura, ia hanya menatap datar. Seakan sedang menganalisis seorang di depan sana.

"Shalat merupakan salah satu sarana yang paling utama dalam hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Shalat juga mempunyai kedudukan yang sangat penting dan mendasar dalam islam, yang tidak bisa disejajarkan dengan ibada-ibadah yang lain.

Shalat juga merupakan tiang agama. Hal ini terisi dalam Hadist Rasulullah yang diriwayatkan oleh Baihaqi. Shalat itu adalah tiang agama (Islam), maka barangsiapa mendirikannya maka sungguh ia telah mendirikan agama; dan barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah merubuhkan agama," ucap Rezzan menatap semua orang yang sedang melihat ke arahnya.
 
Satu, dua, tiga. Mata Rezzan dan Naura bertemu. Ustad itu tersenyum simpul ke arah Naura yang sedang menopang dagu dengan ke dua tangannya. Naura terperanjat, ia langsung duduk sila dengan benar seakan ada sesuatu yang membuat dirinya harus fokus.

“Nah saat bulan suci Ramadhan ini tentunya amal yang kita dapatkan akan menjadi berkali kali lipat dibanding bulan-bulan yang lainnya. Dan juga ketika kita shalat pastinya akan terhindar dari perbuatan tercela dan tidak terpuji. Apakah yang berada di ruangan Allah ini selama puasa ada yang bolong sholatnya?”

Satu tangan kanan menjulang ke atas. Menjadi pembeda dari puluhan kepala yang tengah vertikal. Semua mata tertuju ke tangan tersebut. Si empu tampak diam, seakan dirinya tanpa sadar mengangkat tangannya.

“Ya, kenapa bolong sholatnya?”

“Karena saya halangan Ustad.”


***


"Bunda! Kantor pos atau tempat kirim paket di mana?" teriak Naura dari ruang tamu dengan tangan yang memegang sebuah kotak berukuran sedang yang sudah terbungkus rapi.

"Mau ngapain ke tukang Paket? Mau nyari jodoh tukang paket?” tanya Nasya.

Naura yang barusan mendengar ucapan bundanya, menatap datar. "Yang bener Bunda serius aku.”

“Iya sayangku … nanti kamu jalan aja ke depan nah ada perempatan kan. Kamu belok sebelah kiri. Abis itu lurus kurang lebih lima puluh meter. Ada warung nasi padang, nah tepat di depannya ada kantor pos. Kenpa kamu gak ngirim lewat JNE aja?”

“Di suruh ama bosnya lewat jalur post aja. Biar lebih terpercaya katanya mah.”

“Ooo gitu … Oh iya pergi kesana jalan kaki?”

“Merangkak Bunda.”

“Loh, gak sakit?”

Naura mengeluarkan nafasnya secara kasar. Tidak mungkin Bundanya sepolos ini.

“Naik sepeda aku Bunda … Dah ah aku mau berangkat.

"Assalamualaikum!”

“Waalaikum salam.”

Nasya hanya menatap bingung atas kepergian putrinya.

“Mungkin dapetnya belum selesai.”
 

●︿●

See selanjutnya! Jangan lupa tinggalkan jejakT_T
-Ntrufayme

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang