Bab 32

943 39 5
                                    

Langit malam menjulang dengan berlian-berlian cemerlang yang disebut bintang. Bulan, besar dan penuh, menerangi kegelapan malam dengan sinarnya yang tenang. Di atas jembatan yang membelah pepohonan, terhampar pemandangan yang begitu indah, begitu magis. Seorang gadis dan seorang pria berdiri berdekatan, mata mereka terpana pada panorama malam yang menghamparkan keajaiban alam.

Tetes air mata terjatuh lembut dari pipi sang gadis, menandai emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Dia memegang erat penyangga jembatan, mencari dukungan fisik saat pikirannya terombang-ambing oleh kata-kata yang baru saja dia dengar. Penjelasan dari pria di sisinya, Rezzan, calon suaminya.

Air mata itu bukanlah tanda kelemahan, melainkan ekspresi kekaguman. Naura merasa terpesona, terpesona oleh ketulusan Rezzan, terpesona oleh rencana yang telah terjalin di balik tirai rahasia. Dia tidak pernah mengira bahwa semuanya akan menjadi sejauh ini.

Naura menoleh ke arah Rezzan, matanya terhias oleh gemuruh perasaan campur aduk. Wajah Rezzan, tegas dan tampan, tampak berbeda di bawah cahaya bulan. Jas hitamnya dan kemeja putih yang tampak dari dalam jas, semuanya menyatu dalam harmoni yang memukau. Rezzan malam ini sungguh menakjubkan, bahkan membuat Naura merasa sedikit pangling saat pertama kali melihatnya di rumahnya tadi. Dalam dasi merah marun yang kontras dengan warna kulitnya, Rezzan tampak sebagai sosok yang kuat dan berwibawa.

Naura merasa takjub. Dia merasa bersalah karena telah meragukan perasaan seorang pria yang begitu tulus. Seorang pria yang telah mengandung perasaannya sendiri selama lebih dari setahun, pria yang sama-sama dengannya di tempat kerja, dan bahkan pria yang pernah menjadi sasarannya ketika Naura tidak tahu apa-apa tentang perasaannya.

"Sejak pertama kali kamu muncul di perusahaan saya bersama Siti, aku menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda. Aku tidak tahu mengapa, tetapi pandangan pertama itu benar-benar berbeda," kata Rezzan dengan nada lembut, pandangannya melintas sejenak ke arah Naura.

Naura mendengarkan dengan penuh perhatian, rasa kagum semakin meluap di dalam dirinya. Dia tidak pernah menduga bahwa Rezzan akan memiliki perasaan sekuat itu sejak pertama kali bertemu.

"Saat itu, aku baru saja mengambil alih posisi ayahku yang meninggal seminggu sebelumnya. Aku berusaha menutupi rasa sakitku dengan menyerap diriku dalam pekerjaan. Aku menolak segala yang berhubungan dengan ayahku, dan aku tidak siap untuk menghadapi kenyataan bahwa dia pergi," lanjut Rezzan, suaranya penuh dengan kerinduan dan kekuatan.

Rezzan mengambil nafas dalam-dalam, matanya penuh dengan kenangan dan emosi yang mendalam. "Tetapi, aku merasa bersyukur bahwa posisiku membawa aku ke kamu. Aku baru bisa menghadapimu saat itu dengan cara yang menghilangkan sebagian besar identitasku. Aku takut kamu akan membenci aku jika kamu tahu aku adalah direktur perusahaan tempatmu bekerja."

Naura menggeleng perlahan, masih terpesona oleh kata-kata yang terucap. "Aku tidak akan membenci kamu, Ustad Rezzan."

Rezzan tersenyum tulus. "Tapi, aku memutuskan untuk mengenalmu secara lebih dekat dengan cara yang lebih tersembunyi. Aku ingin merasakan dirimu tanpa pengaruh posisiku. Aku bahkan mendengarkan ketika kamu menolak seorang karyawan yang menyukaimu, dan itulah yang membuatku semakin yakin bahwa kamu adalah seseorang yang istimewa."

Rezzan tertawa kecil, memandang Naura dengan penuh penghargaan. "Saat itu, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku akan menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku. Aku akan mengenalmu sejauh mungkin."

Naura tersenyum, mengingat obrolan mereka beberapa waktu lalu. Dia merasa seperti terjaga dari mimpi, menyadari betapa takdir dan nasib telah menjalin mereka bersama.

Air mata lainnya mengalir, tetapi kali ini bukan karena keterkejutan, melainkan karena kebahagiaan yang mendalam. Naura merasa bersalah atas semua keraguan dan kebingungannya selama ini. Dia merasa bersalah karena Rezzan harus memendam perasaannya selama lebih dari setahun.

Rezzan, dengan tatapan serius, menghadap Naura. "Jadi, sekarang, bagaimana keputusanmu?"

Naura menatap Rezzan dengan kepastian yang baru saja dia temukan. Dia merasakan kepercayaan diri dalam setiap kata yang akan dia ucapkan.

Naura tersenyum lembut, tatapan matanya penuh keyakinan, hingga menciptakan pesona yang tak bisa diabaikan. Rezzan terpesona, dan akhirnya ia pun menyunggingkan senyuman yang sama.

"Keputusanku adalah iya," kata Naura dengan suara lembut namun penuh makna.

Satu kalimat, tiga kata, yang berat dan penuh pertimbangan. Naura merasakannya mengalir begitu mulus dari bibirnya, mengandung keputusan yang ia ambil setelah mendengar semua penjelasan dan melihat semua kenyataan.

Rezzan merasa hatinya melonjak tiba-tiba. Dia merasa seperti memiliki dunianya sendiri di genggaman tangannya. Dalam langkah yang lembut, dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan kotak merah. Dengan penuh rendah hati, Rezzan merendahkan tubuhnya, posisi kaki kanannya lebih tinggi dari kiri, sebagai bentuk penghormatan.

Ketika kotak itu terbuka, cahaya bulan memantulkan kilauan permata berlian yang menghiasi cincin emas di dalamnya. Cincin yang indah dan berharga, sebuah simbol dari janji dan ikatan yang akan mereka jalin.

"Apakah aku boleh meletakkan cincin ini di jari manismu, Naura?" kata Rezzan dengan penuh rasa sakral.

Naura tersenyum bahagia dan cepat mengangguk. Rezzan bangkit, memasang cincin itu dengan lembut di jari manis Naura. Setelah selesai, Rezzan menunjukkan tangan kanannya yang juga memakai cincin yang serupa.

Rezzan tersenyum. "Terima kasih."

Naura bertanya-tanya untuk apa. Namun, jawaban Rezzan membuat hatinya berbunga-bunga.

"Terima kasih atas keputusanmu, dan terima kasih atas segalanya."

Naura tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa memandang Rezzan dengan tatapan penuh cinta dan penghargaan. Begitu dalamnya perasaan yang diungkapkan oleh seorang pria di hadapannya. Seorang direktur yang menjalani perjalanan panjang demi mendekatinya, yang berlagak menjadi ustad demi sebuah tujuan, yang memahami arti sejati dari pengorbanan dan kesabaran dalam nama cinta. Abraham Rezzan Sauqi, sosok yang luar biasa, yang telah menjalani perjalanan tak terduga demi mengenali Naura Alitha Atha dengan lebih dalam dan tulus.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang