Bab 26

587 34 3
                                    

Sejak peristiwa kemarin saat berbuka puasa, Naura merasakan gejolak yang berbeda. Ada beberapa kejanggalan yang mengusik pikirannya, seperti keberadaan Rezzan yang biasanya tak pernah melewatkan kajian subuh, namun pagi ini digantikan oleh ustad lain. Kemudian, ketiadaan Dinda saat subuh juga membuatnya merasa aneh. Muncul pertanyaan dalam pikirannya, apakah Dinda marah padanya karena rencananya yang gagal? Naura sebenarnya telah melakukan apa yang diminta Dinda, demi menjaga janji mereka. Meskipun Naura tak sepenuhnya tahu detail rencana Dinda, ia hanya diberi tugas memberikan air dan menyiramkan air itu ke baju Rezzan. Dinda yang akan mengambil alih dan menyampaikan perasaannya.

Namun, kenyataannya ada lebih banyak hal yang tidak Naura ketahui tentang rencana Dinda. Dan untunglah rencana ini berantakan karena Alfatih mengetahuinya. Benar, Dinda menggunakan sesuatu, seperti ilmu gaib, dalam air minum yang diberikan oleh Naura, yang kemudian ditumpahkan ke Rezzan. Inilah yang membuat Rezzan tiba-tiba patuh pada Dinda.

Sementara itu, gadis yang duduk di atas sofa merenung sambil menatap kalender yang tergantung di dinding dekatnya. Tanggal 9 Mei, Lebaran akan tiba tak lama lagi, namun pertanyaan terus berputar dalam pikirannya: Mengapa Ayah belum pulang? Dan di pagi hari ini, Buda  pergi ke mana?

"Buunndaa!!"

"Buunndaa!!!!"

Tetapi tak ada jawaban. Naura bangkit dari duduknya dan melangkah keluar rumah, mencari keberadaan ibunya. Namun, Nasya, sang ibu, benar-benar tidak ada di rumah. Naura ingin bertanya tentang Ayahnya. Di mana Ayah? Kapan kembali? Beberapa kali dia mencoba bertanya pada ibunya, tetapi selalu mendapatkan jawaban yang sama.

"Ayah akan segera pulang."

Naura merasa ada yang aneh, suatu rahasia yang disembunyikan oleh ibunya. Dia telah beberapa kali mencoba menelepon nomor Ayahnya, tapi hasilnya selalu nomor tidak aktif. Sesuatu pasti tidak beres. Naura mengusir pikiran-pikiran negatif dan keluar dari rumah sambil mengunci pintu, mencari udara segar sambil mencari ibunya. Di balik rasa cemas, ia berusaha menepis perasaan buruk yang menghantuinya

*****

Suara napas tersengal-sengal terdengar jelas saat Atha berusaha merapikan pernafasannya dengan bantuan alat pernafasan yang terpasang di tubuhnya. Seketika, air mata perlahan mengalir dari matanya yang keriput oleh waktu. Hanya satu yang melintas dalam pikirannya, ia hanya ingin sembuh dan kembali pulang, menyelesaikan tujuan awalnya di tempat ini.

Tak terpikirkan oleh Atha sebelumnya, kini ia terbaring lemah di ranjang rumah sakit selama lebih dari seminggu. Rasa nyeri terus berdenyut di kedua kakinya, dan lebih buruk lagi di area pinggangnya. Dalam diam, ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja bersamaan dengan obat-obatan dan segenggam buah yang diletakkan dalam wadah. Ponsel mati, tanpa daya, sengaja ia matikan agar tidak menerima panggilan dari siapapun yang pasti penasaran tentang keadaannya.

Dengan sedikit suara gemeretak, pintu yang tadinya tertutup mendadak terbuka, memperlihatkan sosok Sarah yang mengenakan pakaian pelindung lengkap, namun ada tambahan yang tak dikenal oleh Atha di sampingnya.

Langkah mereka mendekat ke arah Atha yang sedang terbaring lemah.

"Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Sarah, berdiri di sisi tempat tidur.

"Tubuh Saya sudah membaik, tapi nyeri di kaki masih terasa," kata Atha sambil memutar perlahan kedua kakinya, "Siapa yang bersama kamu, Sarah? Asistenmu?"

Sarah terdiam sejenak, ia lupa sepenuhnya bahwa ia tidak sendiri dalam kunjungannya kali ini.

"Ini Rezzan. Dia datang bersamaku. Ia ingin melihat dan menjenguk calon mertuanya," ujar Sarah.

Tiba-tiba, rasa kaget menyapu hati Atha, dan hal yang sama dirasakan oleh Rezzan yang menyembunyikan perasaan iba di balik masker wajahnya. Melihat orang yang akan menjadi calon mertuanya terkulai lemah akibat virus yang sangat dibencinya. Virus yang telah merenggut Ayahnya, meninggalkan luka yang dalam. Rezzan harus kembali melihat penderitaan serupa yang berulang kali ia alami.

"Om Atha akan sembuh, jangan khawatir," ujar Rezzan, satu-satunya kalimat yang dapat ia ucapkan, "Saya percaya pada itu!" tambahnya.

Seperti mendapatkan harta berharga, ucapan Rezzan begitu menyentuh Atha. Ucapan itu menambah semangat Atha untuk sembuh, untuk melawan virus yang terus menerjangnya.

"Terima kasih," kata Atha dengan senyuman tipis di balik bibirnya yang pucat, "Bagaimana calon istri kamu, Rezzan? Apakah kamu sudah menyampaikan niatmu?"

"Belum," jawab Rezzan cepat.

Banyak hal yang harus dijelaskan kepada Atha, namun bukan saat yang tepat. Rezzan tahu bahwa untuk saat ini, tidaklah waktu yang pas untuk menceritakan semuanya. Terlalu banyak hal yang Atha belum tahu tentang kejadian yang melibatkan Rezzan, terutama peristiwa yang hampir merusak rencana dari seseorang yang mencintainya.

"Sebenarnya, saya belum sempat melakukannya. Ada beberapa halangan dan rasanya kurang pas waktu untuk melakukannya. Lebih baik Saya berbicara bersama Om  nanti. Entah mengapa sekarang rasanya sulit bagi saya untuk menjelaskannya," ujar Rezzan dengan pelan.

Mendengar itu, Atha merasa bersalah. Rencananya yang awalnya terlihat begitu sederhana kini terasa seperti beban yang berat bagi Rezzan. Rencana yang ia buat untuk Rezzan, menunggu 30 hari agar Naura bisa mengenal Rezzan secara tidak langsung, sebagai pendengar dan penceramah. Walaupun kini sudah berjalan cukup lama, banyak hal telah terjadi yang hampir merusak semua rencana tersebut.

Namun, Atha tidak ingin membiarkan perasaan bersalahnya menguasai suasana. Ia ingin memastikan bahwa semua bisa dijelaskan dengan baik, agar tidak ada rahasia yang mengganggu hubungan di antara mereka.

"Dalam keadaan seperti ini, Rezzan, kita tidak perlu terburu-buru. Waktu yang tepat akan datang untuk menjelaskan segala hal," kata Atha dengan lembut.

Keputusan (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang