Jangan lupa vote dan comment
🍓🍓🍓
Sendu, suasana itulah yang tepat untuk menggambarkan suasana hati Arkana saat ini. Bukannya lega usai biopsi seminggu yang lalu, cowok itu malah didera ketakutan yang mendalam. Bahkan suara gemericik hujan tidak mampu mendistraksi lamunannya. Pikirannya terenggut oleh hasil biopsi yang belum keluar. Penatnya semakin menggila. Hari-harinya terasa lebih berbeda. Untuk tersenyum pun rasanya tidak sanggup.
"Ayo, Na! Papi udah nyampe di depan rumah sakit nungguin kita." Suara Mami yang muncul secara tiba-tiba, membuat Arkana menoleh ke arah Mami.
"Iya, Mi."
Mami membantu Arkana turun dari ranjang. Karena keadaan Arkana sudah membaik, akhirnya ia diperbolehkan pulang dengan syarat tidak boleh melakukan banyak aktivitas seperti biasanya. Kondisi Arkana masih dalam pemantauan dokter.
"Arkana bisa jalan sendiri kok, Mi. Nggak usah dituntun nggak apa-apa. Lagian Mami juga bawa tas jinjing berat."
"Yakin? Nanti kalau ngeluh lemes lagi awas lho, ya."
Arkana menggeleng pelan. "Enggak, Mi. Arkana nggak selemah itu."
"Ya udah kalau gitu. Ayo pulang. Kamu pasti udah kangen sama kamar kamu sendiri, kan."
"Betul banget itu, Mi."
Mami berjalan berdampingan dengan Arkana. Anaknya ternyata bisa berjalan sendiri tanpa bantuan seperti waktu dia drop beberapa hari yang lalu. Papi membukakan pintu Mobil untuk Arkana. Awalnya Arkana merasa agak aneh diperlakukan seperti ini. Kesannya seperti anal manja saja. Bahkan Mami juga memayungi Arkana sampai masuk mobil. Padahal Arkana bisa memegang payung sendiri.
Sepanjang perjalan Arkana lebih banyak diam. Padahal biasanya ia akan bercerita panjang lebar jika sudah kumpul bersama Mami dan Papi. Kepalanya disandarkan di sandaran jok belakang mobil. Tangannya bersedekap menahan dingin udara musim penghujan yang menjadi saksi kesenduan hatinya hari ini.
"Na?" panggil Papi sembari menyetir.
"Iya, Pi. Kenapa?"
"Minggu depan kita mancing, yuk!" ajak Papi. Tumben sekali mengajak Arkana mancing. Padahal biasanya Papi sibuk dengan urusan pekerjaan.
"Arkana nggak bisa janji, Pi."
"Lho, kenapa?"
"Kalau misal hasil biopsi nunjukin aku kena limfoma, berarti aku bakal keluar-masuk rumah sakit lagi, Pi."
Arkana masih ingat apa kata Dokter Fariz saat dia bertanya langsung sebelum biopsi. Beliau membenarkan jika benjolan itu berpotensi limfoma. Hanya saja hasilnya tetap menunggu beberapa hari lagi. Baru diagnosis tersebut bisa dikatakan valid.
"Na, kamu bakal sehat." Papi berusaha meyakinkan Arkana bahwa dia akan baik-baik saja.
"Semoga, Pi," balas Arkana mencoba untuk tetap optimis. "Hmm, tapi kalau hasilnya beneran limfoma, aku Insya Allah ikhlas."
Arkana menatap keluar dari balik kaca jendela mobil. Titik-titik air hujan tak menghalanginya melihat pemandangan luar. Dan di detik selanjutnya, ia mengembangkan senyum ikhlas atau mungkin malah pasrah jika memang ia harus divonis penyakit itu.
***
Setibanya di rumah, Arkana dikejutkan dengan kedatangan Elang, Revan, Damar dan Dendi. Mereka sudah duduk di terasa depan sambil mainan HP masing-masing. Hingga akhirnya Damar menyadari kedatangan Arkana. Mereka langsung heboh, kecuali Elang yang tetap stay cool. Si ketua OSIS itu memang selalu jaga image."Bos Arkana akhirnya sehat wal afiat lagi," seru Dendi yang disertai kerlingan mata.
"Kangen banget sama lo, Na. Kangennya udah kayak kangen belaian mantan," sahut Damar membuat Revan mendecih jijik.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Arkana
Teen FictionArkana punya banyak harapan yang ingin diwujudkan, yaitu bisa dekat dengan Echa, bisa berdamai dengan kakaknya dan ingin bahagia. Namun, takdir seolah mempermainkan kehidupannya, menguji kesabarannya dan terkadang membuatnya merasa terjatuh. Akankah...