16. Jawaban Echa

524 70 8
                                    

Hola!!!

Aku update, nih. Kayaknya yang baca cerita ini makin banyak, ya. Kalian tahu cerita ini dari mana?

Jangan lupa vote dan komen!

Follow akun wattpadku yuk! Aku sangat pengen difollow kalian. Haha

Happy reading!


🌺🌺🌺


"Sekarang jawab siapa yang kemo? Siapa, Arkana?" tanya Echa menuntut. Gadis itu semakin ngengas karena Arkana tak kunjung menjawab.

Karena suara Echa didengar oleh beberapa murid yang lewat, akhirnya Arkana mengajaknya berbicara di ruang OSIS yang sepi sepulang sekolah. Sementara Revan menunggu di luar. Revan membiarkan mereka mengobrol berdua dulu. Kini keduanya duduk berdampingan di sofa yang ada di ruang OSIS. Arkana menarik napas pelan sebelum memberitahukan kondisinya ke Echa.

"Gue yang kemo, Cha. Ini udah mau kemo yang ketiga." Arkana akhirnya mengaku yang sejujurnya kepada Echa. Sepertinya percuma menyembunyikan penyakitnya. Toh, sebentar lagi pasti lebih banyak orang yang tahu. Tadi saja dia sempat memberitahukan penyakitnya ke Damar dan Dendi.

Echa mengusap kasar. "Kamu pengidap cancer?"

Arkana mengangguk. "Iya. Kanker getah bening stadium 3."

"Kenapa nggak cerita dari awal?" tuntut Echa.

"Nggak semudah itu, Cha. Aku menerima kenyataan ini pun rasanya masih sulit sampai sekarang. Damar dan Dendi aja juga baru tahu hari ini sebelum aku pingsan tadi," jawab Arkana sambil nyengir kuda. Agak gugup juga harus berkata jujur ke Echa tentang masalah terbesar di hidupnya.

"Jadi, selama ini kamu sering pingsan karena pnyakit itu?"

"Iya, Cha. Padahal aku udah check up, minum obat sama kemo, tapi tetep aja badan nggak bisa diajak capek dikit."

"Kamu ... bikin aku khawatir, Na. Aku takut kamu kenapa-kenapa karena kamu sering sakit. Dan ternyata kekhawatiran aku beneran." Tanpa sadar mata Echa sudah berkaca-kaca.

"Maaf, Cha. Aku cuma butuh waktu yang tepat aja buat ngasih tahu ke orang-orang. Dan sekarang ... kayaknya waktunya udah tepat."

Echa meraih satu tangan Arkana. Digenggamnya kuat tangan itu. Tangisnya pecah. Arkana bisa mendengar isakan itu. Entah mengapa dadanya sesak melihat Echa menangis karena dirinya seperti ini. Arkana yang mengalami masalah sekrusial ini ternyata bisa membuat air mata Echa tumpah ruah. Arkana tidak menyangka reaksi Echa akan begini. Padahal awalnya dia kira gadis itu tidak akan menganggapnya sama sekali.

"Kenapa nangis? Aku pasti sembuh," kata Arkana kemudian, berusaha meyakinkan Echa bahwa dia akan baik-baik saja, meski Arkana sendiri tidak yakin.

Untuk pertama kalinya keyakinan pasti sembuh tumbuh di benak Arkana. Sebelumnya dia berperang dengan batinnya. Arkana ingin sembuh, tapi bayang-bayang kematian terus menghantuinya setiap saat, membuat Arkana frustasi. Arkana berbohong pada Papi dan Mami tentang semangatnya untuk berjuang. Padahal Arkana selalu ketakutan tidak akan mampu melewati ujian berat ini. Padahal Mami dan Papi sudah berusaha yang terbaik untuk pengobatannya.

"Cha?" Tangan Arkana belum lepas dari genggaman Echa. "Nggak boleh nangis, Cha. Kalau kamu nangis, aku yang justru tertekan. Masa cewek yang aku sayangi nangis gara-gara aku. Hmm, aku nggak mau jadi cowok yang kelihatan lemah dan dikasihani."

Echa mengurai genggamannya. Dia menghapus air matanya dengan cepat. Lalu memukul lengan Arkana pelan. "Kamu jahat, Na!"

"Jahat apaan, sih? Orang aku sayang kamu, mana mungkin jahatin kamu."

The Memories of ArkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang