Halooo!!!
Ada yang nungguin aku up lapak ini gak?
Maaf ya lama banget nggak update. Sebenarnya aku lagi hiatus, tapi tiba-tiba pengen lanjutin nulis revisian cerita ini. Jadi, cuman nambahi atau ngurangin bagian-bagian tertentu. Nggak ngubah alur dan dan nulis dari awal.
Semoga masih setia nungguin cerita ini ya.
Jangan lupa follow akun wattpad aku. Jangan lupa vote dan komen.
🌻🌻🌻
"Ayo ke UKS aja!" seru Echa. Ada nada khawatir saat ia membujuk Arkana.
"Aku nggak apa-apa. Orang aku cuma pusing bentar. Kamu nggak usah lebay, deh."
"Tapi...."
"Cha, percaya sama aku. Pacarmu ini nggak akan sakit parah lagi," tukas Arkana. Echa akhirnya mengangguk.
Arkana tidak mau rebahan di UKS, apalagi dia baru saja sebulan masuk kelas XI. Selain itu, Arkana tidak mau dianggap lemah seperti dulu. Toh, ini cuma sedikit pusing sedikit. Arkana merasa masih sanggup mengikuti pelajaran sampai jam terakhir. Setibanya di kelas, mereka langsung minta izin untuk duduk ke Bu Astari karena datang terlambat di kelas. Untungnya Bu Astari orangnya sabar. Beliau tidak memarahi Arkana dan Echa. Beliau hanya mengingatkan keduanya agar tidak telat lagi.
"Kenapa telat?" tanya Revan ketika Arkana sudah mendaratkan pantatnya di kursi. Mereka memang sebangku lagi di kelas 11. Dan lagi-lagi mereka memilih duduk di bangku pojok belakang.
"Kena macet gue," balas Arkana pelan sambil mengeluarkan buku catatan dan buku paket Bahasa Indonesia.
"By the way, muka lo pucet. Nggak enak badan?" tanya Revan. Remaja itu mulai mengkahwatirkan sahabatnya.
Arkana langsung memelototi Revan. "Gue sehat."
Arkana heran kenapa orang-orang masih saja lebay di saat diia sudah dinyatakan sehat 6 bulan yang lalu. Nggak orang tuanya, pacar maupun temannya sama saja lebaynya. Padahal Arkana selalu mencoba berpikir positif bahwa dia akan selalu sehat sampai kapan pun. Meski pun dia meriang seperti sekarang, Arkana tetap mencoba berpikiran baik. Bukankah pikiran itu juga mempengaruhi apa yang akan terjadi pada kita. Oleh karena itu Arkana masih berusaha berpikiran dia akan selalu sehat seperti kata Mami dan Papi. Meski pun jauh di dalam hatinya, Arkana masih merasa ketakutan akan kembalinya penyakit itu suatu saat nanti.
"Oke, tapi kalau nggak enak badan mending rebahan aja di UKS," saran Revan. Sayangnya, Arkana malas menanggapinya lagi. Dia malas mendengar ocehan Revan. Arkana lantas mengalihkan fokusnya pada Bu Astari yang sedang menjelaskan di papan tulis.
Dari depan, sesekali Echa menoleh ke belakang. Memastikan tidak terjadi sesuatu pada Arkana. Siapa yang tidak khawatir kalau tadi Echa merasakan sensasi panas saat menyentuh pergelangan tangan Arkana. Echa takut Arkana kenapa-kenapa. Apalagi tadi Arkana memaksa untuk tetap ikut hukuman menyapu lapangan basket. Padahal Echa sudah melarangnya, tapi Arkana tetap ngotot ikut menjalani hukuman karena merasa akan tidak adil kalau ia tidak ikut dihukum seperti siswa yang lain. Terlebih Arkana sudah dinyatakan sembuh. Arkana bilang ia malu kalau memanfaatkan kelemahannya untuk mencari enaknya saja. Arkana ingin hidup normal seperti anak remaja lainnya.
Saat jam istirahat Echa terus memperhatikan gerak-gerik Arkana. Diam-diam Echa tambah panik saat Arkana mengikuti pelajaran olahraga. Anak itu ikut main basket bersama teman-temannya. Padahal wajahnya masih terlihat pucat. Ditambah lagi Arkana mainnya terlalu bersemangat. Arkana sangat berambisi memenangkan pertandingan kali ini. Bahkan dia tidak mau Revan merebut bolanya. Ya, kali ini Revan menjadi saingan Arkana di lapangan basket.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Memories of Arkana
Dla nastolatkówArkana punya banyak harapan yang ingin diwujudkan, yaitu bisa dekat dengan Echa, bisa berdamai dengan kakaknya dan ingin bahagia. Namun, takdir seolah mempermainkan kehidupannya, menguji kesabarannya dan terkadang membuatnya merasa terjatuh. Akankah...