9. Kangen Kak Rara

748 77 3
                                    

Halooo!!!
Aku update, ya. Buat nemenin malem minggu kalian.

Jangan lupa vote dan komen.

Follow akun wattpadku juga ya.

Happy reading...

💮💮💮







"Hidup aku kayaknya nggak akan lama lagi, Kak. Tolong beri aku kesempatan buat bikin kenangan-kenangan manis bareng Kak Rara. Boleh, kan, Kak?"

Tidak ada jawaban dari Rara. Kakak-beradik itu masing mematung Di tempatnya berpijak masing-masing. Arkana masih berusaha menahan perih yang bercokol di dadanya. Adik mana yang tidak sedih dibenci oleh kakaknya sendiri. Rara selalu menuduh Arkana merebut semua perhatian Mami dan Papi. Namun, faktanya selama ini dia merasa papinya sulit dijangkau. Pria paruh baya itu terlalu sibuk.

"Kak…"

"Nggak usah minta belas kasihan cuman gara-gara kamu sakit."

“Aku nggak minta dikasihani Kak Rara, tapi aku cuma minta disayang sama Kak Rara. Aku cuma takut kalau waktu aku nggak akan banyak.” Ada riak kesedihan saat Arkana mengatakan itu pada Rara. “Maafin aku, Kak.”

Rara terdiam, mukanya masih terlihat datar seperti biasanya. Semenjak beberapa tahun yang lalu memang hubungan Rara dan Arkana tidak terlalu akur. Kurangnya perhatian dari Mami dan Papi membuat Rara menutup diri dan menciptakan batas dengan keluarganya. Rara menjadi anak yang terlalu mandiri hingga merasa tidak membutuhkan keluarganya. Itu yang Arkana tahu. Namun, Arkana yakin kakaknya punya hati selembut malaikat.

“Iya.”

“Ya udah, kalau gitu aku balik ke kamar aku.”

“Iya.” Lagi, hanya kata itu yang keluar dari mulut Rara.

Arkana berjalan memasuki kamarnya yang ada di depan kamar Rara. Baru saja masuk, Mami sudah menyusulnya. “Na, buruan mandi pake air angry. Terus istirahat!” titah Mami.

“Iya, Mi.”

Arkana menghela napas sebentar. Semenjak dia sakit, Mami menjadi over protective. Dikit-dikit disuruh istirahat. Padahal Arkana tidak betah tiduran terlalu lama di atas kasur. Semenjak divonis sakit keras, dia banyak menggunakan waktunya untuk istirahat.

“Jangan main HP! Langsung istirahat! Ingat ya bentar lagi kamu bakal dikemo. Jadi, harus bener-bener bisa jaga diri.”

“Iya, Mami. Udah, ah, Mami keluar aja! Aku mau mandi,” usir Arkana halus. Lama-lama dia merasa menjadi beban pikirannya Mami.

Sepuluh menit kemudian Arkana keluar dari kamar mandi. Dia juga mengganti pakaiannya dengan piyama lengan panjang yang diambilnya dari lemari. Ketika hendak mengancingkan piyamanya, ia menyadari muncul satu benjolan sebesar kelereng di dada dan lehernya. Mungkin benjolan ini yang mengakibatkannya sering sesak napas akhir-akhir ini. Arkana akhirnya mengancingkan piyamanya setelah puas melihat benjolan itu dari pantulan cermin. Ia mengambrukkan tubuh ringkihnya di atas kasur.

“Kayaknya gue makin parah aja,” gumamnya sendiri.

Angin dari jendela yang terbuka membuyarkan lamunan Arkana. Ia bersin beberapa kali karena merasa dingin. Belum puas bersin-bersin, Arkana juga terbatuk dan merasakan sesak di dadanya. Rasanya dia ingin mengumpat saja. Biasanya Arkana tahan dingin dan panas. Dia tidak pernah terserang flu sekali  pun hujan-hujanan. Dan dia juga tidak pernah pingsan sekali pun dijemur di lapangan basket seharian. Namun, keadaannya sekarang berbanding terbalik. Arkana benar-benar merasakan perubahan drastis pada tubuhnya setelah sel-sel kanker bersarang di tubuhnya.

The Memories of ArkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang