4. Hipotesis

1K 107 5
                                    

Happy reading! 

Jangan lupa vote dan komen!

Follow juga wattpadku.

🍓🍓🍓

"Dok, saya nggak sakit kayak di film-film sedih, kan?" tanya Arkana polos. Mami malah kaget dengan pertanyaan konyol Arkana itu. Sontak Mami merasa bersalah sering nonton film dan sinetron sedih.

"Belum tahu, Arkana. Ini benjolan kamu sebenarnya kelenjar getah bening. Untuk tahu berbahaya atau tidak, perlu dilakukan biopsi," terang Dokter Fariz.

Arkana membuang napas kasar. Ketakutan itu semakin terasa. Tangannya kini terasa dingin dan gemetar. Mami yang sadar dengan tingkah anaknya, langsung menggenggam tangan Arkana. Baru kali ini Arkana terlihat khawatir dengan dirinya sendiri. Biasanya dia tidak pernah ambil pusing kalau sakit karena sakitnya hanya masuk angin atau flu saja.

"Kamu harus kuat. Semuanya pasti baik-baik aja. Harus yakin kamu bakal baik-baik aja."

Arkana membalas tatapan Mami. "Iya, Mi."

Arkana akhirnya kembali ke kamar rawatnya dituntun Mami dan Papi karena masih sangat lemas. Pelan, Mami membantu Arkana menaiki ranjang, sedangkan Papi meletakkan kembali infusnya Arkana. Pria paruh baya itu lantas mengusap pucuk kepala Arkana.

"Kamu istirahat dulu." Mami menarik selimut sebatas dada Arkana. "Mami sama Papi mau ngomong bentar sama Dokter Fariz."

Mami dan Papi akhirnya keluar sebentar. Mereka bicaranya ternyata tepat di depan kamar rawat Arkana, tapi suara mereka masih bisa ditangkap gendang telinga Arkana. Namun, saat Mami dan Papi kembali masuk ke ruangan, Arkana memilih pura-pura tidak tahu.

"Aku nggak betah di rumah sakit, Mi. Pengin tidur di kamar sendiri di rumah," keluh Arkana. Matanya mengedar ke langit-langit kamar rawatnya.

"Sabar, Na. Kamu harus sembuh dulu. Nanti kalau udah sembuh bisa tidur di kamar sendiri sepuasnya," bujuk Mami. Wanita itu menggenggam tangan Arkana yang terbebas dari infus.

"Iya, Mi."

"Na, Papi ke kampus dulu, ya. Ada rapat dekanat setengah jam lagi," pamit Papi.

"Iya, Pi."

"Nanti pulang dari kampus, Papi ke sini lagi. Sementara kamu sama Mami dulu ya, Na."

"Iya, Pi. Maaf ya kalau Arkana ngerepotin Papi sampe nggak ngajar tadi pagi."

"Nggak apa-apa. Kamu lebih penting, Na," jawab Papi, lalu mengecup kening Arkana singkat.

"Kalau aku lebih penting, harusnya Papi mau dong waktu aku ngajak mancing."

Papi merasa tersindir dengan kata-kata Arkana barusan. Kalau dipikir-pikir anak-anaknya memang butuh waktu kebersamaan bersamanya. Semenjak punya jabatan tinggi di kampus, Papi semakin sibuk. Belum lagi kegiatan penelitiannya yang juga tidak kalah padat.

"Iya. Kalau kamu udah keluar dari rumah sakit, pasti kita bakal mancing bareng."

"Papi serius banget, sih. Padahal aku cuma bercanda," balas Arkana sambil terkikik. "Papi kan dosen. Udah profesor lagi. Pasti susah banget bagi waktu kerjaan sama keluarga."

"Cuman bercanda apa nyindir Papi, nih?" tanya Papi. Namun, Papi sama sekali tidak merasa tersinggung. Pasalnya apa yang dikatakannya Arkana sesuai dengan fakta.

"Bercanda, Pi. Beneran cuman bercanda."

"Iya, Papi tahu. Kapan sih kamu serius. Cuman Papi tetep mau menepati janji Papi ke kamu." Papi lantas menangkup kedua pipi Arkana. Memperhatikan wajah itu intens. "Pucet banget sih kamu, Na. Harus cepet sembuh, ya. Nanti mau Papi bawain apa? Martabak manis rasa cokelat-keju, donut Jco atau salad buah?"

The Memories of ArkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang