12. Dimanja Papi

773 86 6
                                    

Halooo

Aku update lagi nih. Jangan lupa vote dan komen.

Jangan lupa follow akun wattpadku.

🌺🌺🌺








"Sebenernya, Arkana sakit apa? Kalau cuma kecapean kayaknya nggak sampe segitunya."

Revan menoleh ke Echa. "Gue nggak berhak ngasih tahu lo, Cha. Yang berhak ngasih tahu lo ya cuma Arkana sendiri."

"Gue ngerasa ada sesuatu yang dia sembunyiin." Ekspresi wajah Echa tampak memikirkan sesuatu

Revan tersenyum tipis. "Cuma perasaan lo aja kali, Cha. Ya udah ayo gue anterin ke rumah lo. Entar keburu malem."

"Gue naik ojek online aja. Lagian rumah kita berlawanan arah. Entar lo kejauhan baliknya."

"Nggak masalah. Daripada lo pulang naik ojek online keluar ongkos transport. "

Echa akhirnya mau diantarkan Revan. Sepanjang perjalanan dia lebih banyak melamun memikirkan Arkana. Entah mengapa akhir-akhir ini Arkana memenuhi pikirannya, apalagi sejak bertemu Arkana tadi. Keadaan Arkana yang sekarang membuat Echa prihatin sekaligus ingin mengenal Arkana lebih dalam, meski selama ini Arkana terkesan menyebalkan.

"Pegangan, Cha!" seru Revan sambil mengemudi.

"E, apa?"

"Pegangan! Entar kalau jatuh gimana?"

Ragu, Echa akhirnya berpegangan pada jaket denim Revan. Namun, Revan justru menarik tangan Echa hingga melingkari perutnya. "Pegangan yang bener. Kalau jatuh gue yang tanggung jawab."

Bukannya modus, Revan memang khawatir kalau Echa jatuh. Pasalnya baru kali ini dia membonceng cewek dengan motor sport-nya. Biasanya kalau membonceng mamanya pun Revan lebih memilih memakai motor matic. Mamanya Revan paling anti dibonceng dengan motor besar. Alhasil Revan jadi sangat berhati-hati kalau membonceng cewek.

"Makasih ya, Van," seru Echa begitu sampai di depan rumahnya.

"Sama-sama. Entar coba lo chat si Arkana. Dia pasti butuh dukungan lo biar cepet sehat."

"Hmm, gue sebenernya...."

"He needs you, Cha. Dia lagi butuh semangat dari lo."

"Gue makin curiga ada apa-apa sama Arkana."

"Kalau pun ada apa-apa, pasti nanti Arkana sendiri yang bilang ke lo," timpal Revan sambil melirik singkat Echa dari kaca spion.

Echa akhirnya masuk ke rumah setelah Revan enyah. Gadis itu melangkah menuju kamarnya. Hari ini rumah sangat sepi, mungkin Mama lagi ada urusan di luar. Echa membuka ponselnya. Dia menelepon Arkana. Meski awalnya ragu, tapi kata-kata Revan yang bilang kalau Arkana butuh dukungan terngiang-ngiang di kepalanya. Tidak ada salahnya kan berteman baik dengan orang yang sudah dianggap saingan sendiri?

"Halo, Cha," sapa suara dari seberang.

"Iya. Halo, Na."

"Kenapa telepon? Udah kangen lagi?"

"Idihhh, Ge-er banget. Cuma mau bilang cepet sembuh."

"Kan tadi udah bilang waktu di rumah sakit."

"Ya, tapi..."

"Makasih, Cha. Makasih karena udah peduli sama aku."

"Na, bisa nggak sih manggilnya...."

"Udah terlanjur nyaman manggil 'aku-kamu'. Nggak apa-apa, kan?"

Echa akhirnya mengalah. Mau ngeyel pun percuma. Arkana sudah terlanjur nyaman dengan 'aku-kamu'. Mungkin Echa sendiri harus membiasakan diri mulai dari sekarang. Walapun ia belum menerima Arkana sebagai pacarnya.

The Memories of ArkanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang