Silvanna merasa sesak.
Bak kehilangan oksigen sebagai sumber pernapasannya. Dunia kini terasa begitu sempit. Tak ada ruang gerak lagi untuknya. Dunia dianggapnya begitu kejam, memberikan kenyataan kalau hubungan yang dijaganya bersama Granger harus berakhir seperti ini.
Bukti-bukti pahit yang dikemas dalam kotak kado semalam membuat Silvanna kembali menjerit sambil menutup kedua telinganya. Bahkan bantal-bantal di kasur Odette dilemparnya sembarang.
"Arghhhhh!!!" jeritnya kencang. "Ini nggak adill!!!!!"
Mendengar ada keributan di kamarnya, Odette bergegas bangkit. Diikuti Fanny dan Dyrroth yang baru saja sampai ke kediaman Odette di Celestial.
Odette membuka pintu kamarnya sebelum mendapati Silvanna tengah mengamuk. Sama seperti keadaannya semalam.
"Silva!" sahut Odette bersiap untuk menangis. Ia menghambur untuk memeluk sahabatnya itu.
Begitu juga Dyrroth yang tidak bisa menahan hati melihat keadaan kakak perempuannya. Biasanya, kakaknya itu terlihat galak, kuat, dan selalu ceria. Kini tampak rapuh, bak butiran kapur yang melayang sembarang.
Saking fokus pada keadaan kakaknya, ia bahkan lupa untuk membuka jaket motornya. Ya, sejak dikabari Fanny pagi tadi, Dyrroth langsung menuju Celestial menggunakan motornya meskipun jarak tempuh kedua kota itu bisa dicapai enam hingga tujuh jam perjalanan. Dyrroth tidak peduli demi sang kakak.
Melihat kedatangan adik semata wayangnya, Silvanna langsung meminta pelukan. Tangisnya semakin menjadi ketika wajahnya tenggelam di dada Dyrroth. Isaknya tak bisa lagi dikontrol.
Dyrroth belum bisa melakukan apapun selain memeluk erat kakaknya dan mencoba merasakan apa yang dirasakan Silvanna saat itu. Tatapan matanya seperti menerawang sesuatu. Tak lupa, kulit putihnya kini bersemu merah karena marah. Bahkan urat-urat keningnya hampir terlihat meski samar karena tertutup poni rambut ikalnya yang berantakan.
Dyrroth belum pernah melihat kakaknya menangis separah ini. Dulu ia pernah berjanji untuk menghabisi siapapun yang membuat Silvanna menangis. Dan sekarang, Granger yang menjadi targetnya untuk ini.
"Dy, gue mau pulang aja!!" kata Silvanna kemudian meskipun masih diiringi tangis dan isakan yang tak kunjung reda.
Dyrroth melepas pelukannya, memegang kendali pada kedua pipi Silvanna yang sembab dan memerah. Air matanya juga hampir tumpah ketika melihat wajah Silvanna yang mandi air mata. Kakaknya tidak boleh rapuh dan terinjak seperti ini.
"Gue nggak bakal biarin lo begini, Kak!" ucapnya kembali memeluk Silvanna. Mengusap punggung dan rambutnya secara bergantian untuk menenangkannya. Dyrroth harus menahan punggungnya yang diremas begitu erat oleh Silvanna. Biarkanlah, kakaknya itu pasti tengah menyalurkan kesedihan dan amarahnya dalam waktu yang bersamaan.
Melihat tampang galak dan serius dari Dyrroth membuat Odette ketakutan. Ia khawatir akan ada peperangan besar setelah ini. Ia melirik Fanny yang berdiri di ambang pintu. Mungkin, Fanny juga memikirkan hal yang sama.
💔💔💔
"Setau kita, perempuan itu anak mantan bosnya Granger di perusahaan sebelumnya," kata Odette ketika ia mengobrol dengan Dyrroth, dan Fanny di ruang tamu kediamannya.
Sekarang, waktu yang tepat untuk Dyrroth tahu semuanya mumpung Silvanna sedang diperiksa Estes dan Miya. Banyak hal yang Dyrroth baru tahu dari Odette dan Fanny.
"Granger nggak bisa dibiarin! Gue harus segera cari dan habisin dia!" Tinjuan Dyrroth ke telapak tangannya menggambarkan betapa emosinya pemuda dua puluh tahun itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Soulmate
FanfictionCerita ini merupakan kelanjutan dari novel 'Roommate'. Disarankan untuk membaca Roommate terlebih dahulu agar tidak bingung dalam mengikuti alur ceritanya 😊💘 Silvanna sudah mantap menambatkan hatinya pada sosok mantan roommate menyebalkannya, Gra...