09. Nasihat Sang Bunda

300 59 31
                                    

Granger masih mondar-mandir di balkon kamarnya sambil sesekali mengacak rambut hitamnya. Begitu jelas raut penyesalan dan kekhawatiran terpancar di wajah tegasnya.

Sudah satu minggu ia tak saling bicara dengan Silvanna. Karena kejadian malam itu, serta kenyataan yang pahit saat paginya, Silvanna tak pernah mengangkat panggilan atau membalas pesan dari Granger.

Entah ini ke berapa ratus kali Granger mencoba menghubungi Silvanna. Ia seakan tak pernah lelah untuk mencari kabar tentang tunangannya itu. Sudah beberapa kali ia menghampiri apartemen dan kampusnya, namun, gadis itu seakan hilang, menjelma seperti angin yang tak pernah nampak, tetapi gadis itu masih terasa dekat dengannya.

Kini, tubuh kekar itu terduduk di kursi balkon sembari terus melekatkan pandangan pada layar ponsel yang tak kunjung menampilkan jawaban dari Silvanna. Meskipun begitu banyak pesan singkat yang masuk ke ponselnya, namun itu bukan dari orang yang diinginkannya. Pesan-pesan itu terasa tak penting baginya saat ini. Ia pikir, percuma saja menanyakan keberadaan Silvanna pada Fanny atau Odette, mereka pasti tetap bungkam perihal keberadaan Silvanna.

Seorang wanita berusia pertengahan lima puluhan mendadak muncul di pintu balkon. Ia menatap putra kandungnya yang tampak kebingungan, khawatir, dan stres. Wanita itu menghela napas dan duduk di kursi kosong di sampingnya.

Tersadar ada yang hadir di sampingnya, Granger menoleh sesaat. "Bunda kapan dateng?" tanyanya terkesan dingin.

"Baru aja," sahut Natalia.

Perbincangan mereka kembali terjeda. Bukan apa-apa, Granger memang sedang malas berbicara dengan siapa pun saat ini. Di kantornya saja, ia hanya berbicara seperlunya saja, bahkan dengan rekannya yang mencoba menyapanya.

"Bunda udah denger semuanya dari Alucard," Natalia membuka percakapan itu kembali. "Bunda juga perempuan, dan pasti sangat mengerti bagaimana perasaan Silvanna saat ini." Natalia berdiri dan bersandar di pagar balkon seraya menatap kosong ke depan. "Kalian harus benar-benar menyelesaikan masalah ini segera."

"Aku tau, Bun," sahut Granger langsung. "Gimana aku mau selesaiin semuanya sama Silva kalau dia nggak bisa aku hubungi sampai detik ini!"

"Cari dia."

"Kemana lagi, Bun? Aku udah ke apartemennya, ke rumah teman-temannya, ke kampus, dan..."

"Tapi kamu belum ke rumah orang tuanya, kan?" sela Natalia seraya melontarkan pertanyaan yang membuat Granger bungkam. Ia berbalik, menatap anak kandung semata wayangnya yang kini beranjak dewasa. "Pergilah ke rumah orang tuanya. Jelaskan masalah dan keadaan kalian pada mereka. Setidaknya, mereka tidak menganggap kamu hanya mempermainkan Silvanna."

Granger berpikir, ibu kandungnya ini berkata benar dan sangat masuk akal. Saat Silvanna tak bisa ditemukan di mana pun, rumah orang tuanyalah tempat yang paling tepat untuk menemukannya.

"Besok aku pergi ke sana, Bun." Akhirnya Granger memutuskan.

Natalia menghela napas lalu melangkah ringan menghampiri anak kandungnya. Ia menggeret kursi kosong itu dan duduk berhadapan dengan Granger. "Selalu ada sandungan yang menghalangi kita tiap ingin melakukan sesuatu yang baik, terlebih itu sebuah pernikahan," ucapnya penuh perasaan seraya mengusap bahu Granger, berangsur turun dan mengapit tangan pemuda itu dengan kedua tangannya. "Tapi, selama kalian saling cinta, saling percaya, sebanyak apapun sandungan itu, kalian pasti bisa melaluinya."

Granger menatap wanita itu. Tatapannya lembut, selembut saat ia menatap Silvanna. Hanya dari wanita ini dan juga Silvanna, ia mendapatkan cinta dan kasih sayang yang tulus.

"Ini salahku, Bun," ucap Granger. "Aku nggak ngomong dulu sama Silvanna soal kontrak kerja itu. Padahal, dia udah nyiapin semuanya."

Natalia menggeleng seraya menangkup rahang anak kandungnya itu. "Bukan salah kamu. Hanya waktu dan keadaannya yang kurang tepat. Kalian cuma perlu komunikasi. Kamu juga belum menyampaikan alasan kenapa kamu ambil kontrak kerja itu, kan?"

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang