08. Best Friends

354 59 29
                                    

Silvanna mengurung diri di kamar apartemennya semenjak pulang dari kediaman Hunter. Granger sudah membuatnya jatuh, kecewa dan merasa hatinya pecah berserakan pagi itu. Bisa-bisanya cowok itu mengambil keputusan yang tak dibicarakan dulu dengan Silvanna. Seandainya malam itu mereka tidak berbuat nekat, Silvanna pasti tidak keberatan jikalau pernikahannya ditunda karena kontrak kerja itu. Namun, semuanya sudah terlanjur. Mereka sudah melakukan perbuatan terlarang itu. Dan kini, Silvanna khawatir akan terjadi sesuatu padanya.

"Kemarin aku tanda tangan kontrak kerja. Di sana tertulis, aku tidak boleh menikah selama tiga tahun."

Di balik bantalnya, Silvanna terus menangis kala mengingat kalimat menyakitkan itu dari Granger. Ia belum berani menceritakan masalah ini pada siapa pun, termasuk para sahabatnya.

"Lo jahat, Gran!" kesalnya sambil meninju-ninju bantal yang ditidurinya. "Kenapa lo bilang setelah semuanya terjadi?!" Ia berbalik sambil sesekali meninju perutnya.

Di sisi lain, ia juga menyesali dirinya yang tidak bisa mencegah kejadian tersebut. Andai saja akal sehatnya masih utuh, serta ia tak dimabukkan oleh tatapan itu, semuanya pasti tidak terjadi. Mungkin, kegiatan yang akan Silvanna lalui hanya menangis, menangis, dan menangis.

***

Keesokan harinya, Silvanna berangkat ke kampus mengenakan kacamata hitam untuk menutupi mata sembabnya akibat seharian menangis. Handphone-nya juga tak kunjung ia nyalakan sampai detik ini, tak peduli siapa pun yang ingin menghubunginya. Yang jelas, ia tidak mengobrol dengan siapa pun seharian kemarin. Ia belum berani menceritakan masalahnya pada sahabat-sahabatnya, meskipun ia tahu, ia butuh dihibur sekarang.

Pengunduran pernikahan itu sangat mengguncang batin Silvanna, apalagi ia sudah menyerahkan semuanya pada Granger.

"Cuaca bagus kayak gini, lo malah pake kacamata item. Kenapa, sih?" tanya Karina yang tahu-tahu menyusul langkahnya menuju kelas.

Silvanna tersenyum miring sambil menoleh ke arah sahabatnya, "Gue lagi sakit mata," elaknya.

Karina menatapnya ngeri. "Abis maraton nonton drama, ya?" duga Karina basa-basi. "Nggak heran sih, buat yang mau melepas masa lajang kayak lo. Biar banyak referensi tentang kehidupan pasca nikah."

Entah kenapa, dada Silvanna terasa sesak saat Karina membicarakan soal pernikahan. Ia mendadak ingin kembali diam seakan tak ada bahasa yang ia mengerti di dunia ini. Mood-nya turun drastis. Mendadak, ia ingin membolos saja.

"Rin, kayaknya gue sakit perut. Gue ke toilet dulu, ya!" pamit Silvanna tiba-tiba dengan langkah cepat.

"Tapi, Silv, kelas mau mulai sepu—" seruan Karina diabaikan begitu saja oleh Silvanna. Tak ada pilihan lain, Karina masuk menuju kelas seorang diri. Ia tak mau kena semprit dosen mata kuliahnya pagi itu yang terkenal menyeramkan.

❤❤❤

Di waktu bolosnya, Silvanna memilih duduk di sebuah bangku taman di area apartemen. Ia yakin, tak akan ada satu pun teman sekelasnya yang akan melintas di sekitar sini. Silvanna kembali ingin diam, menangis seharian seperti yang ia lakukan kemarin. Ia masih bingung, bagaimana caranya ia bercerita, membagi kesedihannya dengan orang-orang terdekatnya. Ia terlalu takut. Terlalu malu, jikalau teman-temannya tidak menerimanya lagi, atau bahkan menghujatnya.

Tangisnya kembali bucat. Kedua telapak tangannya menutup seluruh wajahnya setelah kacamata yang ia kenakan dilepas. Tubuhnya masih bergoncang akibat tangisannya. Silvanna merasa, ia sudah tak berharga lagi.

Saat rasa ingin menyalahkan diri sendirinya memuncak, kedua bahunya menghangat, seperti ada yang menggenggam. Bahkan, telapak tangan itu mengusap bahu hingga punggungnya. Mata bengkak Silvanna menoleh, mengecek siapa yang sudah duduk di sampingnya tanpa izin.

SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang