09

3.5K 547 33
                                    

Proses mediasi kami sama sekali ndak berhasil karena Niana tetap ingin bercerai. Niana sama sekali ndak menuntut apapun, kecuali hak asuh Marshall dan Isha.

"Karena klien saya baru saja memiliki bayi dan masih sangat membutuhkan perhatian ekstra, maka klien saya meminta agar proses perceraian ini tidak berbelit-belit. Sehingga hakim bisa segera ketuk palu untuk mengesahkan perceraian ini. Dengan kata lain, Ibu Karania tetap ingin bercerai dari Pak Askhara." jelas Bu Selvi, pengacara Niana kepada hakim mediator, saat kami sedang di ruang mediasi.

Oleh karena itulah, hakim mediator kami menyetujui jika perkara ini akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Proses mediasi kami, resmi dinyatakan gagal.

"Jadi, minggu depan langsung pembacaan gugatan ya, Pak?" tanyaku pada Pak Prayogo, pengacara andalan keluargaku.

"Benar, Pak Askha. Agenda selanjutnya adalah pembacaan gugatan. Tapi kita harus menunggu surat panggilan lagi untuk kepastian waktunya. Bisa saja itu minggu depan atau bisa juga dua minggu lagi."

Aku menganggukkan kepalaku sambil mengetuk-ngetukkan jariku di lengan kursi kerjaku. Setelah dari pengadilan tadi, kami memang memutuskan untuk singgah di kantorku untuk membicarakan proses selanjutnya yang harus aku dan Niana hadapi.

"Pak Askha benar-benar tidak mau menuntut apapun, Pak?"

Aku menatap Pak Prayogo sambil menggelengkan kepalaku pelan. Seandainya saja bisa, aku ingin menuntut Niana untuk tetap mau bersamaku. Memperbaiki pernikahan ini bersama-sama.

"Yang penting, saya ndak dipersulit untuk bertemu anak-anak. Itu saja cukup, Pak Prayogo. Lagipula, Niana juga ndak menuntut apa-apa selain hak asuh Marshall dan Isha."

Gantian, kini Pak Prayogo yang mengangguk paham.

"Kalau gitu, saya pamit dulu. Nanti kalau sudah ada datang surat pemanggilan sidang, akan segera saya infokan ke Pak Askha. Untuk urusan berkas-berkas dan lainnya, Pak Askha tenang saja. Tim kami sudah menyiapkan semuanya."

"Oh ya, biasanya proses ini berapa lama Pak?" tanyaku.

"Sampai hakim ketuk palu?" tanya Pak Prayogo memastikan.

"Benar, Pak."

"Tergantung, Pak Askha. Ada yang cepat, tapi ada juga yang lama. Kalau semua lancar, empat sampai enam bulan itu sudah selesai. Tapi ada juga yang sampai delapan bulan bahkan tahunan. Melihat kasus Pak Askha, sepertinya akan cepat Pak. Apa Pak Askha ingin mengulur waktu?"

Aku bersandar di kursi kerjaku sambil kebali mengetuk-ngetukkan jariku di lengan kursi.

"Ndak perlu, Pak. Ikuti saja sebagaimana mestinya. Lagipula, Niana benar. Ada Isha yang masih sangat membutuhkan perhatian kami. Jadi, ayo kita buat semuanya mudah." putusku meski dengan sangat berat hati.

"Baik, Pak Askha. Kalau gitu, saya pamit undur diri. Akan saya kabari segera jika sudah ada panggilan berikutnya." ucap Pak Prayogo sambil berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku lantas menjabat tangannya, "Terima kasih, Pak Prayogo."

"Sama-sama, Pak Askha. Mari, Pak."

Begitu pintu ruanganku tertutup, aku kembali menyandarkan tubuhku di singgasanaku. Kuhembuskan nafas dengan berat. Kutatap jajaran foto Marshall yang kupajang di dinding ruangan ini. Ada juga tiga foto Isha yang baru saja aku letakkan di sana.

Entah bagaimana jadinya nanti. Aku sama sekali ndak bisa membayangkan, rumah yang seharusnya ramai oleh canda tawa dan juga tangisan mereka, akan berubah jadi rumah yang sunyi senyap. Terlebih, ndak akan lagi kutemukan sosok Niana yang sebelumnya selalu menemaniku melewati hari-hari. Dadaku lantas berdenyut nyeri.

Just Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang