03

6.8K 998 178
                                    

"I'm really sorry, Niana." Kataku lagi dengan suara bergetar.

Rania tersenyum dengan sangat tipis ke arahku.

"Kata maaf itu sangat gampang buat aku ucapkan, Mas. Tapi untuk benar-benar memaafkan, nggak semudah saat kita mengucapkan kata maaf itu sendiri. Sebelum kamu meminta maaf pun, entah udah berapa kali aku mengatakan pada diriku sendiri bahwa aku udah maafin kamu. Tapi nyatanya, sampai detik ini rasanya aku masih belum bisa memaafkan kamu."

Dadaku lagi-lagi terasa nyeri. Kulepaskan tanganku yang sedari tadi masih memegang tangannya, lalu kuusap wajahku kasar.

"What should I do, Na? Gimana caranya supaya kamu bisa memaafkanku? Please, just tell me and I'll do my best."

Rania lagi-lagi tersenyum dengan air mata yang masih menggenangi kedua matanya. Kemudian ia menggeleng.

"And I still don't know, Mas."

Aku mengusap wajahku lagi dan menghela nafasku kasar. Dadaku rasanya masih terhimpit oleh batu yang sangat besar.

Untuk beberapa saat, hanya ada suara televisi yang terdengar. Aku menatap Niana yang matanya terfokus pada tayangan di televisi. Sesekali ia menggerakkan badannya sambil meringis menahan sakit.

Aku merasakan pergolakan batin yang luar biasa. Tentang sebuah keluarga kecil yang seharusnya bisa kujaga dengan baik. Tentang ucapan Papa yang sudah terang-terangan memintaku untuk melepaskan Niana. Dan terutama tentang rasa yang sejatinya sudah tumbuh untuknya. Sebuah rasa yang hadir tanpa kusadari.

Apakah aku harus benar-benar melepaskannya atau apakah aku harus menahannya untuk tetap bersamaku? Dan jika aku harus melepaskannya, sanggupkah aku?

"Na?"

Rania mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Apa aku benar-benar sudah ndak punya kesempatan lagi?"

Niana menatapku datar lalu menghela nafasnya.

"I did it before, Mas Askha. I really did."

Gantian aku yang menghela nafasku berat.

"Jadi, keputusanmu itu sudah final?"

Kedua alis Rania terangkat tinggi.

"Papa sudah memintamu kembali, Na."

Kedua mata Rania langsung membulat seketika.

"Papa?"

Aku mengangguk pelan sambil tetap menatapnya lekat.

"Papa udah bicara banyak tentang keputusanmu itu. Papa memintamu kembali dariku. Beliau memintamu kembali dengan cara yang sungguh luar biasa, Na. Membuatku sangat malu karena dengan bodohnya malah menyakiti anak perempuannya yang dia sayangi dengan begitu hebatnya."

Kulihat kedua mata Rania kembali mulai digenangi air mata.

"Aku tau ini mungkin bukan waktu yang tepat untuk menanyakan dan membahas hal ini. Tapi aku harus menyiapkan diriku dengan apapun keputusan yang sudah kamu buat. Aku harus menyiapkan diriku untuk bisa menerima dan untuk menentukan bagaimana aku harus bersikap selanjutnya."

Aku menarik nafas dalam dan menghembuskannya perlahan sebelum melanjutkan kata-kataku.

"Apakah keputusanmu untuk berpisah sudah bulat, Na? Are you really sure about this one?"

Air mata Rania akhirnya menetes juga. Tangannya yang bergetar itu langsung menghapusnya cepat. Lalu kepalanya mengangguk pelan.

"I think this is the best way for us, Mas Askha."

Just Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang