05

4.6K 638 67
                                    

Aku menatap amplop cokelat yang sudah tiga hari ini tergeletak di atas meja kerjaku. Tanpa membukanya, aku bahkan sudah tahu kertas apa yang ada di dalamnya.

Selvi Maharani, MH & Partners

Aku yakin, hanya dengan melihat tulisan yang tercetak jelas di amplop itu, kalian juga sudah bisa mengetahuinya bukan? Aku kembali mendesah lelah sambil tetap menatap nanar amplop cokelat itu. Hingga sebuah ketukan di pintu, menarikku keluar dari segala kerumitan yang sedang bersarang di kepalaku

"Come in." Aku menegakkan tubuhku tepat saat Geo muncul dari balik pintu yang perlahan terbuka itu.

"Gue kira anak-anak ngeprank gue pas bilang lo ada di sini. Secara udah lama banget lo nggak kesini-sini. Ternyata beneran."

Aku hanya menganggukkan kepalaku singkat. Geo langsung duduk di salah satu kursi yang ada di seberangku. Dia menatapku untuk sesaat. Membuatku sampai menaikkan kedua alisku tinggi.

"How's your baby? Gue denger dari Alara, Rania juga udah pulang."

Aku menghela nafasku berat.

"She's getting better. Thank God. And yap, Rania was home since two days ago. Tapi dia pulang ke rumah orang tuanya, bukan ke rumah kami."

Aku bisa melihat Geo yang menatapku iba. Lalu kedua matanya melirik ke arah amplop cokelat itu.

"What? Just spill it out, Ge."

"Okay. Sekarang gue akan ngobrol sebagai Geo sohib lo ya, Kha. So, what is this? Is it the kind of that letter?"

Aku mengangguk lemah.

"Did you sign it?"

Kali ini, aku menggeleng pelan. "Segelnya bahkan masih utuh. Sama sekali belum gue sentuh. Posisinya juga masih sama, ndak gue geser sedikitpun. Tadi kata Key, sudah tiga hari sejak dia taruh surat itu di sini."

Geo menggaruk alis sebelah kirinya sambil menghela nafasnya.

"What will you do, Kha?" Geo lalu menatapku lekat.

"Yesterday, I was pretty sure to let her go. Tapi begitu kami kembali bertemu, rasanya keyakinan itu sirna entah ke mana. Rasa ingin memperjuangkan mereka kembali muncul, Ge."

"And then?"

"This kind of that letter coming. Bikin gue lagi-lagi harus memikirkan ulang semuanya. I don't know what to do. Whether I should go on to win them back or should I stop, in here and now?"

"Coba lo runutkan lagi pelan-pelan. Sambil tanya sama diri lo sendiri. Apa yang lo mau? Apa yang ingin lo lakukan untuk mereka? Apa mereka prioritas lo saat ini?"

"Yes, of course. As you see, gue bahkan sudah lupa kapan terakhir kali gue ke sini dan bener-bener ngurusin kerjaan. Gue sudah mulai memperbaiki kesalahan gue yang lalu, Ge."

Geo memajukkan badannya.

"Do you know, Kha? Dalam ketidak tahuan lo itu, ada sebuah ketakutan di baliknya. Lo takut dengan semua konsekuensi dari semua opsi yang ada di depan lo. Lo takut kembali kehilangan, lo takut kembali terluka karena melepaskan Rania. Tapi, lo juga takut bikin Rania kembali terluka dengan menahannya terus bersama lo."

Nafasku seketika tercekat. Aku mendangakkan kepalaku dan menatap langit-langit ruanganku.

"Setiap orang punya pilihan sulitnya masing-masing. Ini juga sulit untuk Rania, Kha. Tapi dia sudah berani untuk mengambil keputusan. Meskipun berat, dia sudah bersiap diri untuk menghadapi segala konsekuensinya. And you should do that too."

"Can I?"

Geo mengedikkan kedua bahunya. Baru dia membuka mulutnya, telepon di mejaku berdering. Tanganku terulur untuk mejawabnya dan kutekan mode pengeras suara.

"Yes."

"Bos, ada tamu nih yang mau ketemu lo. Mau langsung disuruh masuk ke sana aja atau gimana?" Alih-alih suara Key yang menjadi resepsionis di sini, yang kudengar malah suara Fajar.

"Siapa, Nge?" sambar Geo.

"Irena, cuy. Gimana?" Kali ini suara Fajar yang akrab kami panggil Jange berubah menjadi seperti sebuah bisikan.

Geo langsung menatapku. Aku refleks mengedikkan bahuku ke arahnya.

"Suruh tunggu dulu, Nge. Gue lagi meeting sama Askha, belum kelar. Nanti kalo udah kelar, gue yang panggil dia."

"Jange, suruh dia tunggu di situ aja. Ndak usah ke ruang meeting." tambahku.

"Siap, Bos."

Setelah panggilan terputus, Geo langsung menatapku dengan alis yang berkerut.

"Gue ndak tau. Dia baru muncul lagi ini."

Aku langsung membela diriku. Karena memang aku ndak tau kalau dia bakal ke sini.

"After all this time? Why now?"

"Ndak tahu, Geo. Kami sama sekali ndak ada komunikasi apa-apa lagi. Terakhir ya pas kami ketemuan di cafe itu."

Geo menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan tatapannya yang tetap menatapku lekat.

"Lo itu sudah punya istri yang luar biasa, Kha. Ini udah bukan lagi tentang kayak apa penampilan lo atau pekerjaan lo. Bukan juga tentang seberapa suksesnya lo. Tapi ini tentang memiliki orang-orang dalam hidup lo yang lo cintai dan juga mencintai lo. That's all that matters. Singkirin ketakutan lo itu. Saat itulah lo akan tau apa yang harus lo lakukan dengan surat itu."

Aku melirik amplop cokelat itu lagi.

"Let me give you one kind of the trick." katanya sambil kembali memajukan tubuhnya mendekati meja yang menjadi pembatas kami.

Aku menegakkan tubuhku dan menatapnya, "Go on."

"Trik untuk segala jenis luka adalah dengan menggali dan menemukan sumber luka yang sebenarnya. Begitu lo menemukan sumber luka itu, berusaha keraslah untuk menyembuhkan luka itu. Bukan dengan kehadiran orang lain, tapi dengan diri lo sendiri. Sembuhkan luka itu sendiri. Cuma lo yang bisa menyembuhkan diri lo sendiri. Karena pada akhirnya, cuma lo yang bisa menolong diri lo sendiri. Bukan orang lain."

Aku memikirkan segala ucapannya barusan sambil tetap melihat ke arahnya.

"Kalau lo masih nggak sadar juga, nih yaa gue bantuin lagi. Sumber luka lo itu adalah orang yang lagi nunggu lo di luar ruangan ini." Geo lalu bangkit dari duduknya. "Gue cabut yaa. Saatnya lo nyembuhin luka lo, Bro. Good luck!"

Geo lalu melangkah keluar ruanganku. Aku langsung memutar kursiku untuk membelakangi pintu. Aku lalu mengusap wajahku dengan kedua tanganku. Baiklah. Ini saatnya untuk menyembuhkan diriku sendiri. Karena benar apa yang Geo katakan tadi. Pada akhirnya, hanya akulah yang bisa menolong diriku sendiri.




----

Di sini, aku bakal bikin part yang aku pakai POVnya Niana juga ya. Nanti aku kasih judul Niana atau apa gitu buat nandain kalau itu lagi pakai POVnya Rania. Lalu, cerita ini nggak akan sepanjang WYC yaa. Jadiii, nanti kalian jangan bingung yaa kalau alurnya JLMLY ini mungkin terasa agak kecepetan hehehe :)))

Just Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang