21

956 156 9
                                    

"Kalo Om Capik jadi Papa Isha, Apap bukan Papa Isha lagi ya?"

Kata-kata Isha beberapa jam lalu masih terus berputar di kepalaku.

"Eh ada Mas Askha. Kupikir lupa tutup pintu, baru aku mau tutup pintunya."

Aku menoleh ke arah Andien yang berdiri sambil memegang gagang pintu.

"Belum tidur kamu?" tanyaku.

Andien berjalan ke arahku. Saat ini aku sedang duduk di salah satu kursi di balkon lantai dua.

"Tadi sudah. Terus kebangun. Ini habis ngecek anak-anak."

Andien lalu duduk di kursi kosong yang ada di sampingku.

"Kok Mas Askha belum tidur?"

"Belum bisa tidur."

"Kepikiran omongan Isha tadi ya?"

Aku melirik singkat ke arahnya, "Kok kamu tau? Memang dengar?"

Andien lalu mengeluarkan senyum teduhnya. Di antara kami bertiga, memang hanya Andien yang mewarisi senyum meneduhkan milik Bunda. Aluna seperti Ayah, terlalu ceria dan ramah. Sedangkan aku seperti almarhum Kakekku, lebih terkesan dingin.

"Isha masih belum paham, Mas. Masih polos dan sederhana pemikirannya. Cuma tahu ada Apap dan Amam. Jadi saat ada orang lain yang datang, ya dia mikirnya kayak tadi deh. Lucu juga jadinya kalau dipikir-pikir." Andien lalu tertawa pelan.

Lucu? Apanya yang lucu? Ndak ada lucunya sama sekali.

"Dingin untuk orang lain, hangat untuk keluarga dong, Mas Askha. Jangan semuanya disama ratakan. Walaupun perempuan ada aja yang suka kalau pasangannya cuek dan dingin kayak kamu gitu, tapi di satu sisi lainnya mereka, mereka juga pasti berharap pasangannya itu bisa hangat ke mereka lho."

"Ya akan Mas coba."

"Harus! Sainganmu sehangat sinar mentari pagi lho, Mas. Mbak Niana pasti gampang melelehnya. Masa kamu mau sedingin es gitu terus? Mana bisa lah Mbak Niana meleleh, makin beku iya."

Aku refleks berdecak dengan keras.

"Kamu tuh ya bukan semangatin Masnya. Malah manas-manasin."

Andien tertawa lagi.

"Lho itu kasih semangat lho, Mas. Ngingetin kamu kalau sainganmu itu berat. Jangan sampai lengah atau salah langkah. Jangan terlalu santai juga, bisa-bisa kesalip beneran."

Aku meliriknya tajam.

"Sorry sorry, Mas. Nggak maksud bikin Mas Askha drop enggak. Sekadar mengingatkan. Karena aku mengharapkan yang terbaik buat Masku dan keponakan-keponakanku." ucap Andien sambil kembali mengeluarkan senyum teduhnya.

"Thank you so much, Ndien."

"My pleasure, Mas Askha."

"Coba Aluna kayak kamu gini ya. Makin adem aja pasti rumah ini."

Kali ini Andien tertawa cukup kencang. Aku sudah pernah bilang kan kalau Andien dan Aluna ini walau kembar, tapi karakternya sangat berbeda?

"Justru biar rumah ini semakin berwarna dong, Mas Askha. Anak-anak Ayah Bunda ada tiga tapi karakternya beda-beda semua. Yang cuek ada, yang kalem ada, yang aktif kebangetan pun ada."

"Ndien."

"Ya?"

"Kalau Mas Askha sering chat Niana. Kira-kira dia gimana ya? Mas ndak enak. Ndak mau ganggu Niana juga."

"Khawatir Mbak Niana malah ngerasa keganggu ya dengan chat-chat dari Mas Askha?"

"Hmm."

"Mmmm gimana yaa.. Agak bingung juga sih, Mas. Mungkin yang lebih aman, Mas Askha chatnya jangan yang tiap detik, tiap menit chat gitu. Nggak nentu, tapi yang ngena gitu perhatiannya."

Just Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang