02

8.5K 1.1K 146
                                    

Entah sudah berapa kali aku melakukan hal ini. Menarik nafas dalam dan membuangnya sambil berdiri di depan ruangan ini. Bahkan kegiatanku ini sudah menyita perhatian beberapa orang yang lewat di sekitarku. Jantungku pun rasanya bekerja ekstra di dalam sana. Sampai aku bisa mendengar suara degup jantungku with very loud and clear.

Entah sudah berapa kali juga aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku yang sudah berkeringat ini. Dan entah sudah berapa kali pula aku menarik kembali tanganku yang sudah memegang handle pintu di depanku ini.

Oke.

Be brave, Askhara. Just like what Adry said before, it's the show time. Siap atau ndak siap, let's do this.

Tanganku kembali memegang handle pintu. Aku kembali menarik nafas panjang dan membuangnya perlahan. Sialan. Kini degup jantungku semakin menderu sampai membuat tanganku bergetar.

Be brave, Askha!

Aku memejamkan mataku erat sambil menggerakan tanganku untuk membuka pintu. Nafasku tercekat sesaat begitu tatapanku bertemu dengan tatapan Rania yang sedang melihat ke arah pintu, tepat di mana aku sudah berdiri.

Dengan pakaian rumah sakit dan infus yang masih terpasang di tangan kirinya, Rania kini dalam posisi terbaring di ranjangnya. Matanya menatapku lekat, membuatku seakan terpaku di tempatku berdiri.

Setelah dia mengalihkan tatapannya ke arah lain, saat itulah aku baru bisa menggerakkan kakiku kembali untuk mendekat ke arahnya.

"Nah, itu Askha sudah datang. Bunda sama Ayah keluar dulu ya, Na. Beli beberapa keperluan buat nemenin kamu di sini."

"Ayah juga butuh kopi."

Aku langsung melirik Ayah yang bisa kulihat dengan jelas jika baru saja beliau menghela nafasnya.

"Kha, temani Niana dulu yaa. Papa sama Mama lagi pulang dulu sebentar, ambil pakaian sama perlengkapan anak kalian yang belum sempet kebawa tadi."

Aku mengangguk sambil menatap Bunda.

Bunda lantas mengambil tasnya dan keluar ruangan bersama Ayah. Seketika ruangan ini mendadak hening. Aku melangkah mendekat ke arah Rania dengan degup jantung yang menderu dan tangan yang kembali berkeringat dan sedikit bergetar.

"Hai."

Rania kembali menatapku.

"Hai.."

Dan ruangan ini kembali hening. Oke. Suasana canggung macam apa ini? Tapi aku juga bingung harus memulai dari mana. Bodohnya.

Aku berdeham dua kali sambil duduk di kursi yang tadi diduduki Bunda, tepat di samping brankar Rania.

Damn it.

Rasanya aku ingin sekali langsung memeluknya saat ini juga. Tapi sekedar ingin menyentuh dan menggenggam tangannya saja aku ndak punya keberanian untuk melakukannya.

"Terima kasih." kataku pada akhirnya sambil menundukkan kepalaku.

Tapi setelah beberapa saat, ndak juga kudengar suara Rania. Aku kembali menghembuskan nafasku pelan sambil mengangkat kepalaku.

"Terima kasih, Karania."

Dan saat kepalaku terangkat sempurna, saat itulah pandangan kami kembali bertemu. Rania memandangku lekat namun datar.

"For what?"

Tatapan Rania semakin menatap mataku lekat.

"For what, Mas Askha?"

Oh come on, Askhara. Kenapa aku malah ndak bisa menemukan jawaban untuk pertanyaan semudah ini?

Rania mendengus sambil terkekeh samar, lalu dia berdecak kemudian.

Just Let Me Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang