6 🍒

11.2K 454 3
                                    


Jangan lupa vote🌹

"Dira."

Dira menoleh mendengar seseorang memanggil namanya, tapi kemudian melengos begitu setelah mengetahui siapa yang memanggilnya.

"Dira tunggu!." Suara hentakan sepatu terdengar semakin dekat. "Dir gue minta maaf soal di club, please jangan marah sama gue." Pintanya mensejajarkan langkah dengan Dira.

"Hmm." Dira hanya berdehem. Saat sampai depan lorong kelasnya, Dira berbelok memasuki kelas dengan Bagas yang masih setia mengekorinya.

"Tuh kan lo masih marah."

"Ya memangnya siapa yang gak kesal ditinggal sendiri ditempat asing!." Dira berusaha mengontrol emosinya agar tidak meledak-ledak di depan Bagas.

"Iya Dir gue salah, maafin gue. Gue gak sengaja."

"Memangnya kamu kemana malam itu ?."

Dira meletakkan tas dimeja lalu duduk dibangkunya.

"Gu-gue ke toilet. Tiba-tiba perut gue melilit. Pas gue abis dari toilet lo malah udah gak ada. Kata Ardi lo nyusulin gue ke tempat bartender tapi gue cari-cari gak ketemu. Telfon gue juga gak lo angkat, Gue pikir lo marah karena gue lama trus balik duluan makanya gue langsung ke rumah lo. Tapi sampai didepan rumah lo, lo gak bukain pintu. Gue hampir frustasi cari lo Dir."

Gimana aku mau bukain pintu kalo aku sendiri gak ada dirumah Bagas.

"Ya udahlah." Putusnya tidak ingin memperpajang masalah. Lagi pula Bagas juga tidak sengaja melakukannya. Memang nasibnya saja yang sial malam itu.

"Jangan kasih kendor Dir. Marahin ni laki satu. Lo tau ternyata dia itu ninggalin lo kar-mmfthh." Entah datang sejak kapan Vani tiba-tiba saja ikut menimbrung di samping Bagas. Sontak Bagas segera menutup mulut vani sebelum gadis itu mengatakan alasan sebenarnya pada Dira.

Dengan kasar Vani menyingkirkan tangan Bagas dari mulutnya. "Apa-apaan lo!."

"Gue udah jelasin sama Dira, Dira juga udah maafin gue. ya kan Dir." Bagas menoleh kearah Dira meminta pembelaan. "Jadi lo gak usah ngomong apa-apa lagi pake mulut bocor lo itu."

Vani melotot.

"Udah ah gue mau masuk kelas. Bye Dir, bye nyet."

Melihat punggung Bagas berjalan keluar, Vani mengalihkan atensinya pada Dira. "Dir kenapa lo langsung maafin dia sih, dia itu-" Kalimatnya terpotong oleh ponselnya yang berbunyi. 

Bagas
Vani sahabat gue yang paling cantik please jangan kasih tau Dira alasan sebenarnya gue ninggalin dia. Gue gak mau dia ilfeel sama gue.

Vani mendengus keras-keras membaca pesan itu. Giliran butuh bantuan saja baru bilang cantik, Tadi nyat-nyet nyat-nyet. Tidak tahu diri memang.

"Dia kenapa Van?."

Vani menoleh kembali kearah Dira yang masih menanti kelanjutan kalimatnya. "Y-ya karena dia itu udah ninggalin lo seenaknya."

Bagas, kalau bukan karena lo sahabat gue dari kecil. Ogah banget gue nolongin lo.

"Sudahlah gak papa. Bagas juga gak sengaja kok ninggalin aku."

Gak sengaja apanya. Dengus Vani dalam hati.

***

Andra mengamati bangunan berlantai dua dari balik kursi kemudi dengan fokus. Netranya menanti seorang gadis keluar dari pintu ruangan tersebut.

Kemarin setelah mendengar cerita dari putrinya, Andra menjadi tidak tenang. Rasa gelisah terus menghantui membuatnya memutuskan mendatangi tempat kerja Dira malam ini. Ia merasa perlu meminta maaf sekali lagi pada gadis yang telah ia torehkan luka tanpa sengaja.

Mengetuk-mengetukkan jari ke stir mobil. Tak lama gadis yang dinanti Andra keluar, Akan tetapi gadis itu tidak sendiri melainkan bersama seorang wanita yang terlihat lebih tua dari Dira. Andra mengurungkan niatnya yang hendak turun. Ia menunggu cukup lama sampai wanita yang bersama Dira itu pergi lebih dulu usai dijemput seorang pria pengendara motor.

Setelah memastikan Dira sendirian di halte, Andra turun dari mobilnya kemudian menghampiri Dira.

Dira yang sedang duduk menunduk mengamati sepatunya sambil menunggu kedatangan busway tiba-tiba dikejutkan oleh kemunculan sepasang sepatu mengkilat. Secara reflek Dira mendongak melihat siapa si pemilik sepatu. Kedua kelopak matanya melebar saat tatapan matanya bertabrakan dengan mata seseorang yang tengah berdiri menjulang tinggi dihadapannya

"O-om Andra." Cicit Dira

Andra tersenyum tipis. "Dira bisa bicara sebentar ?."

Dira berdehem."Kalau om ingin membicarakan hal itu, maaf saya tidak bisa." Dira berdiri

Andra mencekal pergelangan tangan Dira sebelum gadis itu pergi. "Hanya sebentar Ra, saya mohon. Setelah itu saya janji tidak akan mengganggu kamu lagi."

Dira menghela nafas kasar, melepas cekalan tangan Andra di pergelangan tangannya lalu kembali duduk dibangku besi halte. "Baiklah. Apa yang ingin om bicarakan ?."

Andra ikut duduk disamping Dira. "Saya ingin meminta maaf atas kesalahan yang sudah saya lakukan malam itu."

"Saya sudah memaafkan. Bukan salah om sepenuhnya."

Andra mengangguk. "Terima kasih sudah memaafkan saya. Tapi untuk menebus kesalahan yang sudah saya lakukan biarkan saya melakukan hal kecil untuk kamu."

Kedua alis Dira bertaut bingung. "Maksudnya?."

"Tolong izinkan saya membiayai pendidikan kamu hingga selesai sebagai bentuk penebusan dosa saya terhadap kamu."

"Tidak perlu sampai seperti itu om. Saya sudah memaafkan anda." Dira menolak.

Andra sudah memprediksi penolakan Dira. Akan tetapi dia tidak ingin menyerah begitu saja.

"Dira, tolong terima permintaan saya agar rasa bersalah ini bisa berkurang." Andra masih mencoba membujuk

Dira menggelengkan kepala tetap  dengan pendiriannya "Saya tidak bisa menerimanya. Dan sekali lagi saya tekankan, malam itu bukan hanya kesalahan anda. Saya juga bersalah. Jadi Om Andra tidak perlu merasa bersalah seperti ini. Lupakan saja kejadian itu."

"Tap-"

"Mmm....Jika sudah tidak ada yang ingin dibicarakan lagi om Andra bisa pulang." Dira mengakhiri pedebatan mereka. Ia terlihat enggan berlama-lama.

"Baiklah, Tapi sebelum saya pulang biarkan saya mengantar kamu lebih dulu."

"Tidak perlu-"

"Tolong jangan menolak bantuan saya kali ini. Sekarang sudah malam, saya tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian disini." Potong Andra

Dira menghela nafas lagi sebelum akhirnya mengangguk membiarkan ayah dari sahabatnya mengantarnya pulang.

***

"Terima kasih sudah mengantar saya, dan terima kasih juga sudah membelikan saya makanan. Seharusnya anda tidak perlu repot-repot." Ucap Dira sungkan sambil mengangkat plastik putih ditangannya.

Tadi sewaktu di jalan Dira meminta Andra menurunkannya di warung makan dekat jalan masuk gang rumahnya karena ingin membeli makanan. Tapi diluar dugaan, laki-laki itu ikut turun dan malah membayarkan makanan pesanannya. Dira sudah menolak, tapi Andra bersikeras ingin membayarnya. Karena tidak ingin berdebat dan menjadi tontonan pembeli lain dengan terpaksa Dira akhirnya menerimanya.

"Tidak apa. Itu tidak sebanding dengan kebesaran hati kamu yang berkenan memaafkan saya. kalau begitu saya pamit dulu." Andra mengulas senyum tipis.

Dira mangangguk manatap kepergian Andra. Dira berharap setelah ini, dia bisa menjalani kehidupannya seperti sedia kala. Yang hilang biarlah hilang.

***

Second Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang