29 ☁️

5.7K 346 19
                                    

Nungguin ya ?!









  Mengambil keuntungan dari permasalahan yang terjadi. Itu yang sedang coba Rena lakukan saat ini. Meski tak menampik solusi yang Rena tawarkan ada benarnya juga. Namun untuk sekarang Andra tak bisa menyetujuinya begitu saja.

  Andai Rena menawarkan solusi ini lebih awal, maka tanpa pikir panjang Andra akan langsung mengiyakan. Sayangnya sekarang kondisinya sudah tidak sama. Dira sudah menerima kehamilannya dan terlihat sangat menyayangi calon anaknya. Jadi sudah pasti gadis itu menolak jika anaknya kelak ingin diadobsi mereka.

  "Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja Ren. Dia masih tanggung jawabku." Andra menolak

  "Aku tidak menyuruhmu lari dari tanggung jawab Andra. Bukankah memberi uang untuk keperluannya masih termasuk tanggung jawab ?!."

  "....Atau begini saja. Kamu ambil saja anak itu secara paksa setelah dia lahir. Kamu ayahnya jadi kamu juga punya hak atas anak itu."

   Astaga!, Apalagi ini. Sekalipun Andra punya hak tetap dia tidak akan melakukan hal itu.

  Andra menggeleng dengan tegas. "Aku tidak akan melakukannya. Dira yang mengandung janin itu jadi dia lebih berhak dari pada aku."

  "Kalau begitu sudah. Biarkan gadis itu merawatnya sendiri. Kamu tidak perlu melakukan apa apa lagi selain memberinya uang. Ingat jangan temui dia lagi!."

  "Ren-"

  "Aku tidak mau tau, turuti permintaanku atau aku akan memberi tahu hal ini pada orang tua kita dan Vani!." Ancam Rena.

  Andra menghela nafas kasar. Mulutnya sangat gatal ingin menyapaikan penolakan tetapi mungkin untuk saat ini lebih baik dia menahan lidahnya dulu agar situasi tidak semakin kacau. Apalagi kalau sampai Rena membeberkan masalah ini kepada orang tua mereka. Bukan ia takut kebusukannya akan diketahui, tapi karena Andra ingin melindungi Dira.

  Jika orang tua mereka mendengar masalah ini bukan tidak mungkin entah mertuanya ataupun ibunya akan mencari tahu tentang Dira. Belum lagi Vani yang tentu saja pasti akan murka dan kecewa padanya dan Dira.

***

  Dira hanya melirik gawainya yang terus berbunyi di meja tanpa sedikitpun berniat mengangkatnya. Hatinya masih keras meski si penelpon sudah menghubunginya puluhan kali. Dira membutuhkan space untuk menenangkan diri setelah pertemuan tadi. Kedatangan Rena serta semua kalimatnya masih berputar-putar di kepala.

   Bangkai yang ditutupi lama-lama pasti akan tercium juga baunya. Dira percaya pepatah itu karena kini dia mengalaminya. Rahasia tabu yang selama ini ia dan Andra coba tutupi akhirnya diketahui oleh Rena. Sebenarnya Dira tidak marah pada Andra. Ia hanya merasa kecewa karena Andra tidak memberitahunya kalau istrinya tenyata telah mengetahui hubungan mereka. Jika saja Andra memberitahunya, maka bukan Rena yang akan mendatanginya dan melabraknya seperti tadi tapi dia yang akan lebih dulu mendatangi wanita itu dan bersimpuh meminta maaf.

  Setelah ini Dira hanya perlu menunggu bom meletus karena ia yakin tidak akan lama lagi, Vani pasti juga akan segera mengetahui keburukannya. Memeluk kedua lututnya, Dira kembali menangis. Demi Tuhan, dia tidak bisa membayangkan seberapa murkanya Vani nanti. Gadis itu pasti akan sangat amat membencinya.

  Dira tidak ingin kehilangan sosok sahabat sebaik Vani, tapi untuk menyerahkan darah dagingnya kepada Andra dan Rena seperti permintaan wanita itu tadi, Dira juga tidak mampu.

  Bayi yang ada didalam perutnya ini, adalah satu-satunya keluarga yang Dira miliki meskipun pernah ia tolak kehadirannya dulu. Kalau mereka mengambilnya artinya ia akan kembali hidup dalam kubangan kesepian dan Dira tidak mau hidup seperti itu lagi.

  "Neng..."

  Ketukan pintu mengintrupsi lamunan Dira bersamaan dengan suara Bi Tati yang memanggilnya dari luar.

  Dira menatap pintu kamarnya sejenak lalu buru-buru mengelap air matanya sebelum turun dari ranjang membukakan pintu.

  "Kenapa bi ?."

  "Neng Dira baik-baik aja ?."

"Oh..em aku baik-baik saja kok bi."

  Jelas bi Tati tidak percaya sebab wajah gadis itu terlihat seperti baru saja menangis. Namun wanita paruh baya itu enggan untuk bertanya lebih jauh karena takut dianggap tidak sopan.

  "Neng, apa neng Dira belum makan? Karena bibi lihat makanan dimeja masih utuh."

  Dira menggeleng. "Aku belum lapar bi."

  "Tapi neng sekarang hampir pukul tiga, nanti Bapak-"

  "Bi maaf aku mengantuk, boleh aku tidur dulu." Dira merapalkan maaf dalam hati pada bi Tati karena secara kurang ajar memotong kalimatnya, tapi dia memang tidak bohong saat mengatakan ia mengantuk. Mungkin efek menangis barusan matanya jadi terasa berat.

  Setelah bi Tati berlalu, Dira kembali menutup pintu kamarnya dan membaringkan tubuh diatas ranjang. Mengambil posisi menyamping, Dira memandang pigura kecil atas nakas yang berisi foto dirinya dan Andra saat ijab Kabul dulu. Pigura itu, Andra yang meletakkannya disana. Pria itu bilang supaya kamar mereka lebih hidup dan tidak tampak kosong.

  Dira terus manatapi foto itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Lalu seiring dengan berjalannya jarum jam pandangan Dira semakin lama semakin mengecil terus mengecil dan akhirnya hilang bersama kesadarannya.

***

  Usapan di kening membangunkan Dira dari tidur siangnya. Dira membuka matanya lalu menatap sekeliling.

  "Sudah bangun ?."

   Dira mengangguk lemah. "Jam berapa ini ?."

  "Sudah hampir magrib."

  Pantas saja kamarnya tampak gelap, hanya sisa-sisa cahaya matahari yang masuk dari jendela balkon yang menerangi mereka. "Aku tertidur lama ternyata. Kenapa tidak dihidupkan lampunya ?."

  Andra menggeleng. "Kamu tampak sangat cantik seperti putri tidur ditengah remang cahaya, karena itu mas gak hidupkan lampu."

  Dira berusaha bangkit. Dengan sigap Andra membantunya bersandar di kepala ranjang.

  "Sejak kapan mas Andra disini ?."

  "Sejak kamu tidak mau makan." Itu benar. Andra datang karena bi Tati memberi tahunya kalau Dira mengurung diri di kamar dan tidak memakan makan siangnya. "Kenapa tidak makan hm ?."

  "Gak papa, tadi gak lapar."

  Andra berdecak. "Aku tahu kamu marah dan kecewa sama Mas. Tapi jangan gini dong, jangan lampiaskan kekecewaan kamu ke anak kita. Kamu gak kasian sama dia? Dengan kamu gak makan itu sama aja kamu membiarkan anak kita kekurangan nutrisi."

  Dira membuang wajah untuk menutupi puncanya yang mulai berkabut. Ia merasa bersalah. Apa yang Andra katakan benar. Dira menyadari keegoisannya.

  "Kenapa tidak memberitahuku kalau tante Rena sudah tau. Sengaja menyembunyikanya ?." Dira mengganti topik.

  "Enggak begitu." Andra menyangkal. "Mas tidak memberitahumu karena takut kamu kepikiran dan akhirnya berimbas pada kandungan kamu."

  "Tapi tetap aja seharusnya Mas Andra memberitahuku!."

  "Iya Mas salah, Mas minta maaf ya." Andra mengalah.

  "Aku sangat malu dan merasa bersalah sama tante Rena Mas." Suara Dira mulai bergetar. Andra menarik Dira kedekapannya membuat tangis perempuan itu seketika pecah. "Aku juga takut."

  "Aku takut saat Vani mengetahui kesalahan kita-" Dira tak sanggup melanjutkan kata-katanya.

  Andra mengusap punggung Dira. "Maaf, maafkan Mas karena membuatmu berada dalam situasi seperti ini." Sesal Andra.




Second Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang