Chapter 10 ( Tabrakan Maut )

173 22 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day10
#Jumkat: 1008

Bibi POV

'Haduh ... udah jam segini kok, Non Mira enggak pulang ya? dia di mana, entar Nyonya pulang bakal kena amuk aku.'

Suara mobil terdengar dari samping rumah, sudah pasti Nyonya dan Tuan pulang. Tepat jam dua belas malam, seperti sudah rutinitas kembali dari kerja jam segini. Pintu terbuka seraya sengaja enggak aku kunci, sibuk mencuci piring di dapur adalah solusi agar mereka enggak curiga kalau Non Mira enggak pulang ke rumah.

"Bi ...," panggil Nyonya "Bibi."

"Iya," sahutku perlahan.

Meninggalkan piring kotor dan berlari menjumpai Nyonya.

"Iya, Nyah ...," jawabku "ada apa?"

"Mira mana, Bi?" tanyanya.

Seperti biasa ketika dia pulang, yaitu bertanya di mana keberadaan putri semata wayangnya itu.

"Oh, Non Mira lagi kerja kelompok, Nya!"

"Kerja kelompok kok, enggak pulang jam segini," omelnya membuatku terdiam.

Sudah kuduga, bahwa aku akan mendapatkan omelan dari Nyonya. Seraya meninggalkan ruang tamu aku kembali menuju dapur dan melanjutkan pekerjaan yang telah tertunda. Mencuci santai di depan cermin segitiga, menoleh ke arah ujung cermin tengah ada sosok berdiri di belakangku.

Menoleh ke belakang!

'Kok, tidak ada, ya?' Batinku.

Melupakan prihal sosok itu dan kembali mencuci piring, tanggung tinggal beberapa buah tengah selesai. Lonceng depan rumah berbunyi sangat keras, dan aku kembali terdiam. Suara yang enggak pernah terdengar, sekarang berbunyi keras hingga membuatku terburu-buru meninggalkan dapur.

Berjalan santai melintasi ruang kamar Nyonya dan Tuan. Kudengar suara seperti anak-anak yang berbisik bermain, sontak badan terdiam. Meletakkan telinga di pintu kamar, mendengarkan percakapan Nyonya dengan seorang anak kecil.

'Loh, bukannya di rumah ini enggak ada anak-anak, ya? lalu, yang di dalam kamar itu siapa?'

Saking takutnya, aku melanjutkan berjalan kaki meninggalkan rumah tamu. Masuk ke dalam kamar dan menoleh foto yang terpampang di atas meja badakku. Sosok anak berusia empat belas tahun tengah ada di atas meja seraya menemaniku dalam kepiluan sepuluh tahun lalu, ya, dia adalah Qorin.

Anak yang paling aku cintai, mati bunuh diri di dalam rumah ini. Sekarang telah berubah menjadi sebuah rumah, kehadirannya kerap terlihat, tapi tak memiliki wujud. Batinku berkata kalau itu dia, mengintai dan menemani diriku kemana saja.

Tak terasa, air mata menetes begitu saja dari lekuk pipi. Kuambil foto berukuran 5 X 5 di sebuah bingkai kayu berwarna kuning. Sekilas foto anakku mirip dengan Non Mira, hanya saja Qorin berambut panjang dan dikepang dua.

Setiap kali menatap Non Mira, seolah bioskop terputar kembali ke masa lalu. Mebawa jiwa yang lara seraya menyesal sudah meninggalkannya dulu di rumah sendirian, prilaku bejad suami tiri menodai Qorin berulangkali.

Meletakkan foto dan aku menutup mata, suasana hening membuat diri ini cepat terlelap. Lima menit setelah tertidur, ruangan gelap gulita tanpa cahaya yang mampu membuat pandangan ini tampak jelas.

Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah koridor yang sangat menyeramkan. Di depan mata tengah ada sosok anak gadis duduk sambil memegang sebuah boneka lucu, berjalan mengendap-endap dan berdiri menjumpainya.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang