Chapter 15 ( Ritual Memanggil Setan )

151 20 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day15
#Jumkat: 1005

Tepat tengah malam. Kami bergegas keluar dari rumah segera menuju lokasi yang akan dituju seperti rencana awal. Dengan membawa perlengkapan berupa cermin segitiga, serta mangkuk sesajen dan paling penting yaitu, foto Milan.

Menggunakan satu mobil. Milan menyetir dan aku ada di sampingnya saat ini, sesekali dia menoleh ke arahku. Gelisah yang berlebihan tampak jelas dari wajahnya.

Siapa yang enggak takut coba, kalau nyawa telah berada di ujung tanduk. Apalagi kepergian itu belum saatnya. Mati terpaksa, karena ulah kedua orang tuaku.

Aku sedikit mendesah "Lan! Loe, baik-baik aja' kan?" seraya ingin memastikan, kusentuh dahinya yang mulai panas dingin.

"Enggak, kok, gue enggak apa-apa. Kalian pegangan yang kencang gue mau ngegas nih."

Selang beberapa menit, akhirnya kami sampai di sebuah lokasi. Pohon bunga andong bergoyang seiringan dengan terpaan angin malam, di sana tak ada siapa-siapa. Bahkan orang tuaku pun enggak ada, kesempatan yang bagus untuk menjalankan ritual pemanggilan hantu tersebut.

Membuka pintu mobil dan berjalan dengan perlahan. Ya, aku berada dibarisan paling depan. Sementara yang lainnya tak berani di sampingku. Membawa senter berukuran kecil yang sengaja aku persiapkan dari rumah, akhirnya Cindy berjalan sedikit lebih laju.

Sepertinya dia merasakan aura itu lebih ganas ketimbang aku, sehingga jiwanya bergerak sendiri untuk segera menemui penghuni pondok kecil yang sangat kumuh.

Pintu pondok tak terkunci, sehingga kami dapat memasuki ruangan dengan leluasa. Seraya mengucapkan salam dalam hati, kami membaca basmalah. Menoleh kiri dan kanan, aku mengambil lilin di dalam tas ranselku.

Satu persatu lilin kami susun berbentuk pentagram dan kami menyalakan lilin tersebut secara bersamaan. Awalnya suasana biasa saja, sebelum akhirnya lilin terakhir di setiap sudut telah menyala semua. Bulu kudu meremang bersamaan dengan suara-suara aneh datang memasuki telinga kiri dan kanan.
Lalu, aku bertanya:

"Kalian siap, guys?"

Mereka tak menjawab. Hanya menganggukkan kepala saja.

Sesuai jumlah kami duduk di setiap sudut pentagram berbentuk bintang. Kedua bola mata tertutup seraya membaca mantra.

( Dewa, Dewi kegelapan. Kami mengundang kalian untuk hadir di sini bersama kami, kita akan lakukan ritual dan bermain bersama.)

Beberapa menit, tak terjadi apa-apa.

Namun, angin datang dari balik koridor kamar. Ya, dugaan benar. Setelah kami buka kedua bola mata, ternyata Nenek-Nenek berjalan menemui tubuh Milan.

Sesuai dengan rencana awal, bahwa apapun yang terjadi, dilarang untuk teriak. Takutnya malah membuyarkan konsentrasi dan ritula gagal. Jujur, aku enggak tahan melihat sosok itu mendekati tubuh Milan yang tampak sangat pucat.

Aku pun melemparkan sebuah air suci, yang sebgaja aku baca beberapa surah.

Teriakan terdengar hebat, serta semua lilin berhenti secara bersamaan. Para sahabat berlari menemuiku dan Cindy. Sementara Milan, dia pingsan tak berdaya. Kami pun bergegaa menemui tubuhnya dan membawa ke dalam mobil. Kami mengunci semua pintu mobil dan bergerak sedikit dari lokasi awal.

Tak lama mematikan mesin mobil, ternyata sebuah mobil juga hadir di belakang kami. Namun, mereka enggak melihat keberadaan kami saat ini.

Setelah membuka jendela, rupanya mereka adalah kedua irang tuaku yang berjalan menangis menuju pondok kecil yang sangat kumuh itu. Saking penasarannya, aku keluar dari dalam mobil.

"Mir, Loe, mau apa?" tanya Cindy.

Gue, mau menemui Bokap gue "aku memekik."

"Jangan."

"Loh, kenapa, Cin?" aku nanya serius.

"Ini bukan waktu yang tepat, coba Loe perhatikan sikap kedua orang tua, Loe tadi. Takutnya, ketika Loe, maksa masuk. Yang ada mereka akan berbuat yang enggak-enggak sama Loe," ujarnya.

"Benar itu, Mir," tambah Megan.

Sepertinya yang teman-temanku katakan benar. Dengan mengikuti perkataan sahabat, akhirnya kami melaju ke arah pulang. Setidaknya lonceng kematian itu enggak lagi terdengar aneh. Tak seperti biasanya, malah lonceng tersebut sudah tak berfungsi dengan gantungan yang hampir lepas dari ikatan.

Kami sampai di depan pintu gerbang rumah, sementara Milan. Sudah kami antar ke rumahnya yang tak jauh dari rumahku.

Sementara sahabat yang lainnya, mereka masih nginap di rumah sampai masalah ini benar-benar clear tanpa ada sisa. Itu adalah janji mereka beberapa hari yang lalu, menuntaskan semua misteri yang telah meresahkan.

Duduk di atas kasur dan saling tatap, tak satu orang pun dari mereka memulai pembicaraan.

Akhirnya, aku memulai ucapan pertama "kalian mau minum apa, guys?" aku nanya pada mereka.

Kopi, Mir! "celetuk Megan."

"Yakin?" kujawab.

Entar enggak bisa tidur tahu rasa, besok kita sekolah kesiangan deh "sambut Arumi."

"Yup! Karena Megan susah banget bangunnya, bikin kita males kalau dia udah memejamkan mata," tambah Cindy meledek.

Ih, kalian resek banget deh! Enggak gitu juga kali "balas Megan memasang wajah mayun."

"Kalau susu mau enggak," aku menawarkan susu rasa cokelat terbaru dari luar negeri.

"Udah biasa," cetus Arumi gengsi.

Yakin? Susunya dari Korea Loh "sambutku."

Yang benar, Mir "jawab Cindy penasaran." Oke, tadi Arumi enggak mau. Kita bertiga aja yang minum.

Cindy memasang wajah penuh kemenangan.

Kamk berlari dari dalam kamar dan menuju dapur, seraya membuat susu dengan cita rasa khas negara Korea. Sementara Arumi paling giat dalam menunggu air mendidih, karena dia sudah menolak. Kini, dia yang sangat semangat.

"Wah-wah, gadis-gadis, bibi lagi sibuk banget, ya?"

Tiba-tiba, Si Bibi nyelonong gitu aja dari balik pintu.

"Eh," kutoleh wajahnya "belum tidur, Bi?"

"Enggak bisa tidur."

"Kenapa?"

"Karena dengar suara kelontang dari dapur, bibi pikir ada kucing nyolong ikan."

"Wah, Si bibi pinter komedi nih," cetus Cindy mengedarkan tawa kecil.

Cindy menggandeng tangan Bibi dan membuat susu satu gelas lagi.

Setelah selesai, kami menuju ruang tamu. Sambil menghidupkan musik band Viera. Bersama Bibi kami habiskan malam bersama-sama. Moment indah yang sagat langkah untuk dapat dilakukan. Untuk mengumpulkan para sahabat perlu waktu dan permasalahan besar. Karena mereka sibuk dengan dunia mereka sendiri.

Suasana semakin larut, kami beranjak menuju kamar tidur untuk segera beristirahat. Karena besok pagi akan melaksanakan upaca bendera, dengan menyusun posisi tidur kami merasa bahwa malam ini sedikit lapang. Tak seperti biasanya. Mungkin karena malam ini terasa sangat nyaman dan teror hilang secara tiba-tiba.

Sejuk kembali menembus tulang dan membuat kedua bola mata terlelap lebih cepat. Beberapa menit tertidur, aku kembali kaget dengan suara gamelan yang datang begitu keras. Ya, pusat suara seperti dari arah kamar kedua orang tuaku.

Seraya menutup telinga dengan eartphone, barulah terasa sangat nyaman dan tak mendengar suara apapun dari luar ruang kamar.

Pagi telah tiba.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang