Chapter 9 ( Pengabdi Setan )

195 26 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day9
#Jumkat: 1136

Memasuki area halaman rumah, ya, masih di depan gerbang yang sudah terbuka sangat lebar. Di sana sudah ada sebuah lonceng datang secara tiba-tiba, menghela napas bahwa telah terjadi yang tidak beres di rumah.

Sementara mobil kedua orang tuaku, tak lagi ada, mungkin mereka menjalani rutinitasnya yang sampai saat ini aku enggak tahu apa itu. Rasa penasaran menghujani jiwa, mengajak untuk pergi menemui Ayah dan Ibu di daerah terpencil ketika beberapa tahun lalu aku saksikan sebuah bola api menyala, bersama tanduk berwana merah dan gigi runcing menyerupai sosok jin.

Menginjak gas mobil, dan mundur, keluar dari pintu gerbang sesaat. Menuju lokasi tersebut butuh waktu lumayan lama, karena harus memasuki hutan yang telah dipenuhi dengan bunga andong, bunga tersebut identik ketika kita masuk dalam area makam umum.

Beberapa menit diperjalanan, aku menoleh dari balik kaca mobil, di sana sudah ada kendaraan orang tuaku sedang terpakir dengan plat yang sama. Sudah pasti mereka ada dan kubuka pintu, berjalan mengedap-endap. Masih memakai seragam sekolah, mendekat pada sebuah pondok berukuran kecil. Dari balik papan rusak, sedikit terlihat ruangan tersebut, seram dan sangat mistis.

Memandang secara seksama, namun tak ada satu orang pun. Memutar badan dan berjalan pelan menuju belakang ruangan, kembali menempelkan tubuh di sebuah tembok pondok terbuat dari papan rusak. Ya, perkiraan benar kali ini. Sebuah lilin menyala di sebuah ruangan berbentuk bintang, seperti permainan pentagram. Pentagram adalah sebuah permainan kuno yang dilakukan untuk memuja setan dan iblis, rasa tak habis pikir seakan membuatku mengelengkan kepala.

Membuang tatapan dan kupandang arah sudut ruang, di sana sudah ada Ibu membawa kain berwarna putih sementara Ayah membawa keris dan lilin berwarna merah.

Beberapa menit berdiri, rasanya penasaran itu terus tumbuh. Bersama dengan berjalannya mereka, sebuah sosok muncul dari balik koridor kamar, berwujud seperti orang tua, membawa lilin. Dandanannya seram bagai hantu dalam film Nenek gayung. Ya, enggak salah lagi, itu adalah seseorang yang mereka puja untuk cepat kaya.

Yang menjadi pertanyaan besar tumbuh dalam otakku adalah, bentuk bintang permainan pentigram. Menurud yang aku tahu adalah, permainan kuno itu hanya dilakukan bagi para orang-orang kafir dan tak beragama. Aliran sesat, bahkan orang yang enggak percaya akan adanya Tuhan.

Menelan ludah dan menatap dengan jeli, sebuah kegiatan spiritual mereka lakukan. Mandi di tengah ruangan dan menyisir rambut sang Nenek tua. Mereka merawat Nenek itu layaknya keluarga, tampak sebuah kasih sayang sangat tulus terpancar dari wajah Ayah, juga Ibu.

Selesai mandi, sontak sosok lain bentuk muncul lagi dari dalam kamar, kali ini anak kecil. Membawa boneka seperti barbie tapi berbusana adat Jawa, mata boneka tersebut menyala dan seolah tersenyum padaku. Sepertinya dia tahu akan keberadaanku kali ini, Si anak itu terdiam. Seraya menatapku, mematikan semua lilin yang ada di dalam ruangan.

Saking takutnya, aku memutuskan untuk berlari menuju mobil. Menginjak gas dengan sangat kencang, seraya menghilangkan sebuah jejak yang sepertinya mereka berlari keluar untuk memastikan.

Malam ini, aku enggak pulang ke rumah. Kembali menuju rumah sahabat, Cindy adalah orang yang aku tuju. Mengambil handphone di dalam kantong baju, seraya mencari nomer sahabat sejatiku.

Guys, kumpul di rumah Cindy, sekarang. Ada hal yang akan gue bahas, penting!

Mengetik pesan singkat, dan kushare di whatsapp grup. Berharap bahwa mereka mau mendengarkanku saat ini. Tanpa menunggu lama, aku sampai di pintu gerbang. Di saja tengah ada dua mobil. Yang satu aku kenal dengan plat bertuliskan seperti milik Milan, kebetulan sekali bahwa dia juga sepertinya bergabung untuk membahas misteri ini.

Turun dari mobil, dan aku masuk dengan berlari. Rupanyan para sahabat tengah menungguku di ruang tamu.

"Mir, Loe, udah nyampe?" tanya Cindy tertahan.

"Iya, Guys. Sorry, kalau gue nyuruhnya mendadak."

"Awalnya, gue takut, Mir. Tapi, penasaran juga kalau enggak ikutan," pekik Megan dan Arumi serempak.

Duduk di antara para sahabat, aku menoleh menuju wajah bingung mereka. Ya, Milan sepertinya sudah menanti akan pembahasan yang sudah aku janjikan tadi.

"Jadi gini, tadi, gue nyamperin Bokap dan Nyokap gue di sebuah pondok berukuran sangat kecil, dan gelagat mereka aneh banget tau enggak."

"Aneh, gimana, Mir?" tanya Megan maksa.

"Bokap gue seperti memandikan wujud Nenek-Nenek, tapi yang gue anehkan adalah gue enggak kenal denganya. Itu satu dan yang kedua adalah sosok anak kecil juga muncul dari koridor ruang kamar, membawa boneka yang sangat seram, matanya menyala serta dapat tersenyum."

"Maksud Loe, boneka itu hidup gitu?" sosor Cindy.

"Terus-terus."

"Dan ketika gue lihat secara seksama, rupanya bentuk dari lilin yang terpasang rapi, membentuk permainan pentigram."

"Pentigram?" tanya Milan "pentagram itu apa, ya?"

Gue, juga baru dengar soal pentagram, Lan! "pekik para sahabat."

"Pentigram adalah, permainan kuno yang digunakan untuk memanggil arwah dan hantu. Katanya, permainan itu pertama kali dilakukan oleh orang yang tidak percaya akan keberadaan Tuhan."

"Apa?" teriak mereka "maksud Loe, pemuja setan gitu?"

"Iya, gue enggak nyangka. Kalau orang tua gue, adalah kafir dan pemuja iblis."

Tanpa kusengaja, air mata keluar begitu saja dari lekuk pipiku. Isak tangis juga ambil andil bersama kenyataan pahit seputar keluargaku, tak mengakui akan adanya Tuhan sang Maha kuasa.

"Mir, sabar ... jangan sedih lagi, ini bukan salah, Loe."

"Tapi, guys. Gue, enggak nyangka aja kalau perbuatan Nyokap gue kelewat batas seperti ini, berapa nyawa lagi yang mau mereka ambil untuk tumbal. Setelah ini siapa? Kalau enggak gue."

Mir-Mir, enggak boleh ngomong gitu. Loe, enggak akan mati bersama para iblis pemuja orang tua Loe, karena kita percaya, kalau Loe, orang baik dan enggak akan pergi secara tidak wajar "sahut mereka."

"Intinya gini, biar gue aja yang mati. Gue, enggak mau sahabat kita juga jadi imbas dari perbuatan itu. Gue, enggak tega melihat mereka yang gak bersalah jadi sasaran."

"Entar, kita cari solusinya. Atau, kita cari ustad yang bisa memusnahkan kutukan itu. Intinya, kita enggak ada yang boleh membocorkan masalah ini pada siapa saja termasuk orang tua kita, semua menjadi rahasia seraya menjaga nama baik sahabat kita tercinta, MIRA," jawab Cindy sedikit membuatku tenang.

"Terima kasih, Guys! seandainya kalian ingin membenci gue, enggak apa-apa. Lagian, ini memang ulah Bokap gue!"

Suasana menjadi hening tanpa sepatah kata, isi kepala seakan mendidih dan air mata tak mau berhenti. Sepertinya mereka juga memikirkan hal yang sama denganku saat ini, menghela napas panjang berulangkali. Sontak lampu di dalam ruang tamu mati.

"Astaghfirullah," teriak mereka serempak.

"Sepertinya, ada yang hadir" ujar Cindy "dan mereka mengintai kita saat ini."

Lonceng berbunyi tiga kali, pertanda akan hal buruk mungkin segera terjadi.

Pintu rumah Cindy terbuka dan tertutup sendiri tanpa henti, menambah ketakutan menyergap kami semua.

"Guys, baca surah-surah pendek. Gue akan berzikir," suruh Cindy.

Aku mengikuti ucapannya, beberapa surah terbaca dan keadaan menjadi sedikit membaik. Pintu tak lagi terbuka dan tertutup. Lampu sontak menyala membuat kami sedikit tenang untuk saat ini.

"Cin, untuk malam ini. Gue nginap di rumah Loe, Boleh."

"Boleh, Mir. Loe, tenangin diri Loe, di sini. Enggak apa-apa lagian Bokap gue juga keluar kota. Hitung-hitung jadi teman gue di rumah."

"Terima kasih, ya, Cin."

"Iya, sama-sama."

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang