Chapter 12 ( Ritual Memanggil Setan )

160 22 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day12
#Jumkat: 1025

Pulang sekolah ditemani dengan para sahabat, kembali melintasi hutan yang dipenuhi dengan pohon bunga kamboja. Ya, sengaja mengambil jalan ini seraya cari aman saja. Tak mau bila akhirnya ratapan disepanjang jalan menuju rumah kembali dihantui dengan seorang siswa melintas secara tiba-tiba. Menginjak gas sedikit lambat, karena permintaan sahabat yang enggak mau buru-buru ketika menuju rumah dengan kelok yang rawan.

Dari balik kaca mobil, kupandang kiri dan kanan. Hutan penuh bunga sepertinya bersahabat denganku. Ditambah Megan yang bermain gitar di bangku belakang sambil bersenandung riang. Kami hempas semua prihal hal-hal aneh, fokus menyetir dan membaca surah-surah pendek di dalam hati. Sesampainya di pintu gerbang rumahku, di sana sudah ada Si Bibi yang sedang menyiram tanaman.

Halaman rumahku dipenuhi dengan bunga matahari berwarna kuning dan jingga. Para sahabat turun dari mobil dan berlari menemui Si Bibi.

"Assalam 'mualaikum."

"Waalaikum 'sallam," sambut Si Bibi heran karena sahabat enggak biasanya mau mampir ke rumah.

"Eh, ada sahabat Non Mira, ya?" katanya.

"Iya, Bi. Oya, terima kasih ya, Bi, udah buatin kita kue yang enak banget," celetuk Megan.

"Dan kita ke sini. Sengaja mau minta ajari buat kue," tambah Arumi.

"Ah, bisa aja. Bibi enggak pinter buat kue, cuma resep sederhana." Sahut Bibi merendah.

"Yuk, masuk." Aku mengajak para sahabat untuk masuk ke dalam rumah bersama Si Bibi.

Baru sekali bertemu, para sahabat sepertinya akrab bersama Si Bibi. Memang dia adalah wanita yang mudah bergaul dan bisa membuat nyaman siapa saja. Seraya masuk dapur aku mempersilahkan para sahabat untuk duduk.

Aku dan Bibi melangkah menuju dapur untuk membuat minuman.

"Non, ini bawa minumannya," suruh Si Bibi.

"Oh, iya, Bi."

"Non, bibi lanjut kerja dulu."

"Iya, Bi. Tapi setelah selesai langsung gabung ya."

Dia hanya menganggukkan kepala saja.

Lama menunggu, akhirnya aku sampai di meja ruang tamu. Para sahabat masih sibuk dengan bermain gitar, tapi tidak dengan Cindy. Wanita pemilik indra keenam itu menyentuh lukisan seorang wanita berukuran sangat lebar, terpampang di dekat meja televisi.

Gelagat anehnya membuatku penasaran, langkah kaki mengikutinya mengitari seisi rumahku. Dia terus-terusan menatap lukisan tersebut, mengelus cat yang ada di bagian rambut serta bagian kelopak mata.

Kupukul pundaknya perlahan "hei."

"Astaga! ih, Mira ... bikin orang kaget aja tau enggak," omelnya terkejut.

"Sorry ... oya, Loe dari tadi memperhatikan lukisan itu mulu. Ada apa, ya?" kataku seraya bertanya heran.

Gue, penasaran dengan lukisan ini. Sepertinya berusia sepuluh tahun atau lebih "jawabnya."

Aku menggelengkan kepala, karena memang enggak pernah tahu lukisan itu sejak kapan ada di tembok. Karena dia tak mau beranjak, akhirnya aku bertahan di depan lukisan. Dari mata kirinya seperti mengeluarkan tangisan, tapi bukan air mata. Melainkan darah dan bentuk mulutnya berubah menjadi sedikit manyun.

"Astaga!"

"Kenapa, Mir," tanya Cindy spontan.

"Enggak, gue sepertinya kurang tidur deh."

Aku tak menceritakan yang sesungguhnya, karena nanti para sahabat akan takut untuk datang kembali. Kubuang perasaan takut dan penampakan tadi, menghela napas panjang dan berjalan menuju Megan dan Arumi.

Mungkin dengan bersantai bersama mereka, pikiran ini bisa sedikit lebih tenang. Atau setidaknya tidak terlalu terpikirkan hal aneh tadi. Mengikuti petikan gitar, aku menyanyikan lagu-lagu lawas band Viera. Di mana, lagu-lagunya masih terngiang sangat enak, padahal sudah lama dirilis.

Kami menghabiskan sore di dalam rumah, bersama para sahabat dan Bibi yang sibuk di dapur.

"Guys, kalian tidur di rumah gue'kan?" cetusku penuh harap.

"Hmmm ... gimana ya, Mir," sahut mereka penuh ragu-ragu.

Tanpa membalas kata-kata mereka, aku merunduk menuju lantai.

"Gue, nginap di sini kok, Mir. Tenang aja, lagian besok libur'kan!" ujar Cindy mengelus pundakku.

"Gue, juga deh." tambah Megan dan Arumi.

"Nah, gitu dong. Itu tandanya kalian setia kawan," cetus Cindy tertawa sumringah.

"Lebih baik, kalian kabari dulu orang tua. Agar enggak mencari ke mana-mana," suruhku.

Mereka mengambil handphone dan memberitahu akan lokasi mereka saat ini. Meski kamarku kecil, tapi cukuplah kalau untuk tidur empat orang, apalagi mereka memiliki tubuh yang kecil dan langsing. Sama seperti tubuhku.

Suara mobil terdengar dari luar ruangan, Bokap dan Nyokapku pulang lebih awal malam ini.

"Guys, Bokap gue udah pulang. Yuk, kita masuk kamar," ajakku membubarkan permainan gitar mereka.

Tanpa membalas kata, mereka mengikutiku dan berlari secepatnya memasuki kamar tidurku. Ya, malam ini sengaja aku kumpulkan para sahabat untuk membongkar kedok orang tuaku yang selama ini bermain dengan para iblis.

Guys, malam ini kita akan coba panggil arwah di dalam kamar gue. Dan kita akan bentuk permainan pentagram itu "kataku seraya melirik ke arah kanan dan kiri."

Loe, yakin, Mir. Kalau terjadi apa-apa sama Loe, gimana? "tanya Cindy."

Mereka semua seperti kurang setuju akan gagasanku kali ini. Tapi, mau enggak mau aku harus segera melakukan hal tersebut. Sembari mengakhiri segala permainan kedua orang tuaku yang telah melewati batas wajar.

Apapun resikonya, gue siap tanggung "kataku spontan."

"Oke, gue juga akan membantu Loe, Mir," ujar Cindy menatap tajam ke arahku saat ini.

Aku, berjalan menuju cermin segitiga. Mengambil lilin berwarna merah yang sengaja aku persiapkan beberapa hari lalu, sisa dari acara ulang tahun anak Bibi yang telah meninggal. Meletakkan lilin tersebut di atas kasur yang berjumlah kurang lebih dua puluh.

Ini, lilin untuk apa, Mir. "Tanya Arumi." Entar kalau kebakaran gimana?

"Hus," sosorku memotong pembicaraan "ini, unruk kita bentuk pentagram. Walau ukurannya kecil apa salahnya kita coba."

Menunggu tengah malam tiba. Kami sengaja meneguk kopi panas agar tidak mengantuk, sambil memakan kacang asin. Lonceng berbunyi tiga kali secara bersamaan dan tiba-tiba berhenti.

Itu, suara apa guys? "tanya Arumi ketakutan."

"Itu, lonceng kematian," kataku.

"Apa," teriak mereka spontan.

Arumi mendesah ketakutan "guys, gue kok, jadi merinding begini." Sepertinya dia juga merasakan sosok yang hadir secara tiba-tiba.

"Apa kalian siap?" tanyaku.

Oke. Gue, siap "cetus Cindy."

Sementara Megan dan Arumi mengikuti kami dari belakang. Kunyalakan lilin dengan bentuk yang menyerupai bintang. Cahaya terang, sengaja kumatikan lampu kamar agar terlihat bahwa lilin tersebut berbentuk pentagram.

Kami duduk di antara sudut bintang tersebut dan tangan saling memegang erat. Memejamkan mata, dan membaca sedikit kata-kata.

Beberapa menit sebelumnya terasa biasa saja. Selang tiga menit berlalu, angin datang secara perlahan dari balik horden kamar. Yang aku rasakan kali ini adalah tidak mengingat apa-apa, seperti tengah berada di sebuah ruang gelap yang sangat aneh.

Tidak sendirian. Para sahabat juga ada di sampingku saat ini.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang