Chapter 24 ( Kecewa )

102 15 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day 24
#Jumkat: 2059

Mira POV

Sore itu, di perkampungan yang tak menyediakan jaringan sama sekali. Aku masih mencari sebuah keadilan seputar peristiwa yang memgharuskan menelan korban, enggak main-main. Setelah kematian orang tua yang aku enggak pernah tau itu, sekarang adalah Megan menjadi tumbal selanjutnya. Bagaimana aku bisa berpikir tenang untuk saat ini, setelah belenggu itu musnah bersamaan dengan sebuah kenyataan pahit.

Kembali membawa sebotol ramuan yang kata Nenek penjaga pondok itu berfungsi untuk mengusir arwah yang penasaran dan hendak menjemput manusia tak berdosa. Cara yang aku pikir sangat berguna untuk melarutkan sebuah takdir kematian mulai dekat bersama—Megan, sahabatku.

Berlari menuju rumah sakit dengan harapan bahwa semua ini akan baik-baik saja, harapan para teman juga membuat perasaan ini menggebu hebat. Apalagi nyawa selanjutnya merupakan teman sejatiku ketika duduk di bangku SMP. Moment hebat telah kami ciptakan bersama mengarungi masalah-masalah dalam hidup ini, dan sekarang aku enggak tahu akan kabarnya bagaimana.

Menggunakan ojek online, aku selalu menyenggol pundak supir yang sedang terfokus membawa diriku untuk segera sampai di lokasi tujuan.

Aku menyenggol pundak supir ojek. "Pak, bisa enggak kita lebih kencang lagi?" aku nanya dengan nada suara sedikit marah.

"Sabar, Non. Ini sudah paling kencang, lagian kenapa, sih, buru-buru amat."

"Saya lagi menuju teman saya yang sebentar lagi meninggal bersma arwah yang ada di tubuhnya, Pak!" celetukku keceplosan padanya.

Seketika dia terdiam seribu bahasa. Enggak ada lagi yang bisa aku sembunyikan dari seputar kehidupan ini. Selain berkata apa adanya, barang kali dia bisa bantu. Ternyata enggak sama sekali, di sepanjang jalan dia hanya terdiam saja. Mungkin geli dengan ucapanku barusan, atau sekedar pura-pura tidak mendengar.

"Non!" panggilnya dengan nada suara keras.

"Iya, Pak! Ada apa, ya?" kutanya dia seraya menatap ke arah kanan dan kiri. Hari menunjukkan malam hari, sehingga tak ada satu orang pun yang melintas di area perkampungan yang konon berhantu, suasana seram itu mengitari seisi kepala.

"Non, bisa melihat makhluk halus, ya?" tanyanya kemudian dia jeda. "Saya juga dulu pernah bisa melihat hal yang sama dengan yang Non, rasakan saat ini. Tapi, saya menemui ustaz dan meminta dia untuk menutup mata batin kita, alhasil yang terjadi apa? Malah mata batin itu terbuka sangat lebar."

"Terus, Pak? Gimana yang Bapak rasakam saat ini, apakah sangat mengganggu. Justru bisa menjadi sahabat makhluk gaib itu?" kutanya lagi. Lalu, aku menghela napas panjang. "Tapi saya beda, Pak!"

Dia berujar. "Bedanya apa, Non?" tanyanya. "Karena Non, bisa melihat kematian orang lain?" Tambahnya lagi.

"Ya, Pak!" aku menarik napas panjang dan membuang dari mulut.

"Saya juga merasakan hal yang sama dengan yang Non, rasakan. Coba ingat-ingat lagi apa yang bisa membuat kutukan itu berakhir. Biasanya petunjuk itu ada dari ulah seseorang, atau pun bisa jadi karena ketabat dekat kita yang sudah meninggal ingin menjemput seseorang itu sendiri."

Kembali memutar ingatan seputar ucapan Pak ojek, akhirnya aku kembali menyenggol pundaknya. "Pak, enggak jadi ke rumah sakit!" pekikku seraya membuyarkan percakapan hari ini.

"Jadi, Non. Kita ke mana sekarang?" tanyanya dengan nada suara sedang bingung.

Aku berujar. "Ke rumah saya saja, Pak!"

"Oke, Non!" katanya. "Pegangan yang erat biar saya sedikit laju untuk cepat sampai."

Aku pun memegang bajunya erat dan kami putar arah menuju rumahku, jarak yang kami tempuh kurang lebih sekitar 30KM lagi. Dengan perasaan yang bercampur jadi satu membuat isi kepala ini seakan mendidih dan hendak pecah, aku selalu berzikir dan berdoa agar Megan dapat selamat seperti sedia kala.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang