Chapter 19 ( Apakah Ini Akhir Hidupku )

126 19 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day19
#Jumkat: 1256

Mencoba untuk menahan-nahan ini agar dapat berpikir netral, bahwa aku tidak melakukan apapun, tetapi ini sudah melewati batas wajar.

Mengambil handphone dan melemparkan handphone keluar mobil seraya menjerit sangat keras, kedua tangan menjambak rambut sendiri seperti orang gila dan semakin menjadi-jadi.

"Sampai kapan kau akan seperti itu?" pekik Ayah yang sedang menyetir berbicara sinis padaku.

"Apa!" bentakku kemudian melihatnya dengan tatapan tajam.

"Sayang, kenapa kamu berbicara seperti itu," sahut Ibuku memelas.

Kapan lagi aku akan berbicara kepadanya? Dia selalu begitu, mengurung dirinya di dalam kamar dan menghancurkan hidupnya sendiri dengan niat bunuh diri.

"Sial! Ayah sangatlah memuakkan. Terima kasih telah menafkahiku dan mengabdikan dirimu pada keluarga yang kacau ini, meski kau selalu mengabaikanku yang terus mengeluh," omelku berbicara pada sang Ayah dengan nada tinggi.

"Apakah kau benar-benar gila," cetus Ayah kembali berteriak padaku.

"Sudah diam!" pekik Ibu menangis dan berteriak.

"Ibu juga sama, kenapa kau mempersulit hidupku dan keluarga ini, padahal kau yang paling tahu bagaimana yang akan terjadi kedepannya. Kau pikir aku tidak mengetahui semua ini?" lawanku menangis sembari memegang kepala.

'Ah, sial! akhirnya aku dapat mengungkapkan ini.'

"Ibu pikir kamu akan senang bila ibu bisa menemanimu, ternyata dugaan itu salah," tambah Ibu lagi.

"Aku tidak senang, dan aku tidak bisa, bagaimana bisa menahan penderitan yang kau tumbalkan orang-orang tak bersalah," balasku lirih.

Kedua bola mata menangisi peristiwa tanpa henti, sementara Ayah mengebut di sepanjang perjalanan karena kesal dengan sikapku. Orang-orang memiliki cara berbeda untuk menahan emosi tapi, ketahuilah jika kau tidak menangis kau akan membuat luka itu membekas dalam hatimu. Jadi, menangislah.

Setibanya di rumah, Ayah keluar lebih dulu dan menutup pintu mobil sangat keras. Sontak membuat Ibu menjadi tidak nyaman 'kadang tuhan memberikan cobaan yang sulit untuk diatasi, tetapi ketika kita tidak bisa mengatasinya bukan berarti kita layak untuk dikritik atau ditakuti, kau juga tidak boleh egois dan menyelamatkan dirimu sendiri.'

"Ayo, Nak, kita masuk," Ibu menggandeng pundakku namun aku menolak.

"Aku bisa sendiri," omelku kesal.

Melangkah bergegas masuk ke dalam kamar, menutup semua jendela dan mengunci pintu. Kemudian berbaring dan menyelimuti tubuh kaku. Aku kembali ketakutan lebih parahnya, Ibu yang sedang cekcok saling menyalahkan dengan Ayah terdengar sangat keras di telinga.

'Kenapa mereka tidak melakukannya lebih jauh agar aku tidak mendengar? Apakah mereka sengaja agar aku mendengarkan apa yang mereka katakan? Itu terus berputar dalam isi kepala.'

Ayah membanting pintu sangat keras, aku mengintip dari balik jendela. Dia pergi begitu saja dengan mobil probadu miliknya, sementara Ibu, duduk di kursi dengan tangis yang tersedu-sedu.

Aku keluar kamar dan menghampiri Sang malaikat tak bersayap, mengusap pundaknya dan memberinya tisu.

"Bisakah aku tenang untuk saat ini," ujarku memulai percakapan. Menarik napas panjang berulang-ulang.

Duduk di samping Ibu dan menatapnya membuatku lebih tenang dan nyaman. Meski aku membencinya namun, dia masih Ibuku. Bersandar dan berbaring di kaki Ibu dan menatapnya tidak henti, banyak sekali pertanyaan yang ingin terucapkan, tetapi ini bukanlah saat yang tepat.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang