Chapter 11 ( Ulang Tahun )

158 22 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day11
#Jumkat: 1010

"Assalam' mualaikum," sapaku perlahan "Bi, Mira pulang."

Kok, rumah sepi banget sih, udah kayak kuburan aja deh. Kemana orang-orang, ya. Batinku.

Berjalan menelusuri seisi rumah, berada dalam sebuah koridor dapur. Suara seperti orang mencuci piring terdengar sangat keras dari dalam kamar mandi, seraya memastikan. Kubuka pintu secara perlahan, menoleh ke arah kanan dan kiri.

Eh, enggak ada siapa-siapa. Jadi, yang tadi nyuci piring siapa, ya?

Karena penasaran terus menghujaniku, langkah kaki kembali menuju ruang tamu. Hasilnya sama saja, nihil dan tak seorang pun ada di rumah. Membanting tas di atas kasur, menghapus sisa bedak di wajah. Sebuah kursi tengah bergerak sendiri di ujung tembok kamar. Ya, kelihatannya seperti ada orang yang sedang mencari gara-gara prihal teror lagi.

Membuang napas melalui mulut, memutar badan dan membawa botol parfume. Sebagai jaga-jaga kalau ada orang jahat yang sengaja menyelinap di dalam kamarku, karena seharian aku tinggal pergi.

Horden bergoyang, sontak lampu mati seketika.

"Astaga!" gumamku "pake acara mati lagi lampu ini."

Mengambil handphone dan menyalakan senter mengarah horden dengan pita merah yang sudah berserak di pinggir kursi. Jantung terasa sangat dag-dig-dug. Menelan ludah tanpa melirik ke arah kanan dan kiri.

Kubuka horden tersebut dan sosok muncul dari sana.

"Dor ...,"

"Allah huakbar ...," teriakku sangat keras dan menggumam di dalam ruang kamar.

Tangisan itu keluar dari pipi karena takut yang berlebihan.

"Non, ini Bibi, Sayang."

Si Bibi menyentuh pundakku dan mengangkat tubuh ini yang sempat jongkok ketakutan. Membuka kedua bola mata dan dia merasa sangat bersalah dan begitu melas memandangku.

"Maaf, Non. Bibi cuma mau ngasi kejutan aja," celetuknya melas.

"Hmmm ..." kujawab sedikit. Aku langsung memeluknya erat, jantung terasa seperti hendak copot dengan sangat kaget.

"Udah-udah, bibi enggak sengaja. Yuk, kita tiup lilinya."

"Lilin? siapa yang ulang tahun, Bi?" kutanya dia yang memasang wajah sumringah.

"Malam ini adalah hari ulang tahun anak bibi yang meninggal dunia, jadi bibi sengaja beri kejutan ke kamu untuk menghilangkan rasa kangen bibi."

Sontak aku terdiam. Seraya menghapus air matanya yang mengalir begitu saja dari lekuk pipi. Sangat tak kusangka kalau dia sangat menyayangi anak kandungnya itu, tapi rasa sayangnya padaku hampir sama dengan anaknya.

Hal tersebutlah yang membuatku sangat merasa istimewa untuknya. Tidak dengan orang tua kandungku, mereka sinuk dengan urusan dan dunia mereka. Tanpa tahu mauku apa.

Meniup lilin yang berbaris rapi disepanjang kue bolu. Berderet dan warna-warni, moment indah tebgah tercipta malam ini. Dia memotong kue tersebut dengan air mata yang masih mengalir deras, seraya menyuapiku dan dari lekuk bibirnya tengah berdoa penuh harapan.

Setelah bolu aku makan, beranjak dari atas kursi dan aku jongkok di hadapan Si bibi. Memeluk kakinya dan meneteskan air mata.

"Terima kasih, Bi. Udah mau jadi Ibuku melebihi kandung. Enggak ada di dunia ini yang lebih special dari awal hadirmu di hidupku."

"Non, bangkit. Enggak boleh ngomong gitu, gimana pun juga, Non punya Ibu kandung yang Non, sayangi."

"Enggak, Bi. Mereka lebih cinta sama rupiah, cinta sama seorang anak kecil membawa boneka dan seorang nenek di pondok kecil."

"Nenek? maksud, Non. Nenek yang mana?" tanyanya sangat heran.

Haduh ... mampus gue, keceplosan di depan Bibi. Ya, ampun kok, bisa jadi gini sih. Batinku.

"Enggak, Bi. Maksud Mira tadi, lebih sayang sama kerjaan mereka," pekikku memberikan alasan.

"Oya, kita habisin yuk, kuenya. Sayang kalau di sisain."

"Bi ... boleh enggak setengah Mira bungkus untuk sahabat Mira sekolah." Pintaku penuh harap.

"Oh, boleh. Jangan yang ini, kebetulan bibi beli dua. Yang satunya ada di dalam kulkas. Masa yang udah kita potong dikasih sama sahabatnya."

"He he ...,"

Malam berlalu begitu saja, senang rasanya malam ini mendapat kejutan yang sangat special sepanjang aku hidup di dunia. Pasti esok, para sahabat senang dengan kue yang sengaja aku beri. Di mana, kue itu adalah hasil jeri payah Si bibi dalam membuatnya.

Pagi telah tiba, aku bergegas turun dari kasur seraya berjalan dan mandi. Sower sudah meluncurkan air membasahi seluruh tubuh. Berdandan sambil bersenandung riang. Terik matahari menembus kaca tembok kamarku, bunga-bunga bermekaran seperti berada dalam sebuah musim semi. Meninggalkan kamar dan menuju meja makan, Si Bibi udah membakar kue dan membuat susu hangat.

Rutinitas setiap pagi.

"Eh, Non Mira udah siap. Cantik sekali pagi ini." Rayunya sedikit.

"Ah, Mama biasa aja."

Sontak dia terdiam!

"Loh, kenapa, Bi?" tanyaku.

"Tadi, Non bilang Mama ke bibi?"

"Iya, emang enggak boleh ya, Ma?" aku nanya bertubi-tubi.

"Ah, enggak Non, enggak apa-apa," balasnya.

Selesai makan roti aku bersalaman padanya dan pamit pergi.

"Mira pigi, Bi."

"Iya ... hati-hati."

Membawa sebuah kotak berisikan kue bolu rasa anggur, sebagai kue kesukaan sahabat di sekolah. Sepanjang jalan handphone berbunyi tak mau berhenti, nomer misterius datang secara tiba-tiba. Tak memiliki nama dan tertulis sangat pribadi, sehingga aku tak tahu itu siapa.

Sesampainya di pintu gerbang SMA Gemilang. Kedua pasang mata kembali dihebohkan dengan kerumunan para siswa dan siswi memadati mading sekolah. Karena penasaran aku berlari sedikit dan memasuki area mading. Tulisan misterius kembali hadir bersama dengan sebuah bercak merah seperti darah telah mengering.

"Mira," panggil seseorang dengan nada suara seperti cewek.

Meninggalkan masing dan berjalan di samping ruang UKS. Rupanya para sahabatku sudah duduk di sana.

"Mir, Loe, udah lihat tulisan di mading itu?" tanya mereka serempak.

"Udah, emang kenapa, ya?"

"Loe, baca sampai habis enggak!" dengus Arumi.

Aku, menggelengkan kepala.

"Ya, sudahlah enggak usah di bahas," omel Cindy.

"Oya, BTW-Loe, bawa apa, Mir?" tanya Megan penasaran seraya menyentuh sedikit kotak kue bolu.

"Oh, iya. Ini kue bolu rasa anggur buatan Bibi gue. Ada yang minat."

"Masya Allah ..., rajin amat Bibi Loe, Mir."

"Iya, sengaja gue sisain satu kotak buat kalian, ini." Kubuka kotak kue yang sudah terpotong rapi.

Mereka mengambil satu persatu dan memakan sangat lahap.

"Sumpah, enak banget buatan Bibi, Loe, Mir."

"Ah, yang benar?"

"Sungguh."

"Oya, hari ini yang mau ke rumah gue siapa?" aku menawarkan pada teman-teman.

"Gue," tunjuk Cindy.

"Gue, ikut juga!" tambah Arumi dan Megan.

"Oke, oya, habisin dulu kuenya bentar lagi bel soalnya."

"Sip ...,"

Tak lama, belpun berbunyi sangat keras. Kami bergegas berjalan meninggalkan teras tempat duduk di sebelah ruang UKS. Menaiki anak tangga seraya bercanda riang disepanjang jalan menuju ruang kelas.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang