Chapter 21 ( Bertukar Nyawa )

113 16 2
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day21
#Jumkat: 1011

Memasuki ruangan kepala sekolah dengan menatap arloji yang tengah terpajang di atas tembok. Detik demi detik, menit terus bergulir.

"Assalammu' alaikum," sapaku pada Ibu kepala sekolah.

"Waalaikum' sallam," sahutnya dengan wajah pucat.

Tanpa balas kata, aku hanya memperbaiki rambut yang sempat lepek karena ditarik-tarik oleh sahabat untuk memboyong ke kantor. Mereka memang enggak bersikap jahat, hanya sekedar ingin mengklarifikasi seputar isu yang sedang booming saat ini.

"Hmmm ... maaf, Bu. Ada apa, ya, saya disuruh ke kantor?" tanyaku penasaran untuk memulai percakapan siang ini.

Kepala sekolah menarik napas panjang berulang-ulang. "Gini, Nak. Menurud informasi yang sampai ke ibu, bahwa sekolah kita sedang diteror hantu, membuat sebagian siswa dan siswi ketakutan prihal tersebut," dia menjedah ucapan sejenak lalu. "Ibu mohon sama kamu, agar enggak memberitahu siapa pun prangnya jika kamu bisa melihat hantu. Ibu percaya kamu bisa melihat makhluk itu, karena kamu sudah pernah mengalami mati suri. Tapi ibu enggak mau kehilangan siswa dan siswi kalau kasus ini terdengar ke mana-mana."

Aku hanya meneteskan air mata. Mengelir dari lekuk pipi dan membasahi leher. "Iya, Bu. Mira mengerti, sebenarnya Mira hanya ingin mengatakan bahwa orang itu akan mati bersama arwah yang akan menjemputnya. Enggak ada niat yang lain."

Kepala sekolah diam dan memeluk tubuhku, dia juga merasakan betapa pedihnya memiliki penglihatan yang enggak datang secara tiba-tiba.

Bu Kepsek mengelus dahiku sejenak. "Nak, ibu mengerti yang kamu rasakan. Memang susah untuk kita melihat takdir kematian akan terjadi, apalagi itu adalah orang yang kita sayangi. Ibu paham betul itu, diamnya kita dia meninggal. Dan kita berbicara pun, mereka tetap meninggal. Enggak ada yang bisa mencegah kematian, termasuk kamu!" gumam Bu Kepsek berat.

"Baik, Bu. Mulai saat ini, Mira enggak akan beritahu siapa pun yang akan meninggal bersama arwah yang ada di sekeliling mereka. Mira akan bungkam dan menutup mata untuk hal tersebut."

Bu Kepsek hanya menganggukkan kepala. Beberapa menit setelahnya, dia mempersilahkanku untuk kembali ke dalam kelas. Dengan mata merah, serta lebam mengitari katup mata. Keluar dari pintunya dan para sahabat masih ada di sana. Mereka menatap tajam ke arahku seraya bersalah sudah memaksa untuk menjumpai kepala sekolah.

Menekan wajah dan menghapus air mata, aku berlari meninggalkan mereka semua di depan ruang kepsek.

Megan POV

"Tuh, Gan. Gue bilang juga apa, kalau Mira pasti kenapa-kenapa jika kita paksa bertemu Bu kepsek!" pekik Arumi sangat sedih.

Megan menarik napas panjang. "Kok, gue yang disalahin. Kan, itu perintah Bu Kepsek!" bantahku dengan memasang kuda-kuda.

"Enggak lucu! Gue mau samperin Mira," Arumi berlari kencang mengejar Mira.

"Et, dah ... napa, sih! Tuh, anak zaman sekarang masih percaya kalau orang bisa melihat orang lain mati!" aku kembali memekik heboh dan enggak percaya akan penglihatan Mira.

"Tapi, Gan! Berapa kali Mira melihat hantu, dan orang yang dianggap dia adalah arwah terdekat nyatanya mati!" cetus Cindy berulang-ulang.

"Gue, enggak percaya!" jawabku sambil melipat tangan di atas dada.

Sontak Cindy juga berlari mengejar Mira. Karena di depan ruangan kepsek sangat seram, akhirnya aku juga pergi meninggalkan ruangan tersebut.

Cindy POV

Mendekati secara perlahan di mana kedua sahabat sedang duduk, di bawah pohon bunga Tanjung berukuran besar. Duduk di samping mereka yang sedang terisak tangis.

Mira meneteskan air mata tanpa henti. "Kenapa, sih, harus gue yang kena ini semua. Gue ingin balik seperti dulu, enggak tahu kapan orang lain akan mati!"

"Mir-Mir, enggak usah dengerin kata-kata Megan! Dia dari dulu memang enggak percaya sama hal seperti itu," ujar Arumi mengelus pundak sahabat sejati.

Aku berdiri di hadapan Mira. "Mir, gue percaya kalau Loe, bisa melihat orang lain mati. Soalnya kejadian itu enggak sekali dua kali. Bahkan sering," sosorku memotong pembicaraan.

"Hmmm ... benar kata Cindy, kalau gue sependapat sama dia!" tambah Arumi seraya menenangkan sahabat.

Tak lama, suara teriakan terdengar dari arah lantai dua gedung sekolah. Ya, sangat keras hingga membuat telinga sangat terganggu. Siswa dan siswi berlarian menuju lantai dua.

Aku menarik dari siswi yang sedang ikut berlari. "Auch, Cindy. Apaan, sih?" tanyanya.

"Kalian mau ke mana?" tanyaku sangat penasaran.

"Katanya Megan terpeleset di kamar mandi. Dan dia kehabisan darah banyak!"

"Apa?" teriak kami bertiga serempak.

Tanpa balas kata, akhirnya kami ikut berlari menuju sahabat yang katanya sudah terbujur dalam toilet kamar mandi sekolah. Tanpa menghiraukan apapun dan fokus menatap arah depan.

Sesampainya di depan toilet.

Megan sudah terbujur kaku dengan kepala yang sudah pecah mengeluarkan darah. Semua siswa dan siswi yang memadati gedung lantai dua teriak sama, histeris dan terkejut.

Mobil ambulance datang tepat waktu dan membawa tubuh Megan ke rumah sakit terdekat. Kami bertiga melaju ke rumah sakit seraya melihat keadaan sahabat sedari SMP.

Dari balik pintu berbahan kaca sangat tampak keadaan Megan yang masih komah. Detak jantungnya melemah setiap detik. Alat pendeteksi detak jantung mulai melambat dengan sendirinya.

Mira POV

"Ini pasti salah gue, seandainya botol minuman itu enggak pecah. Pasti gue bisa menggaggalkan kematian Megan! Gue bodoh-bodoh!" tangisku di depan tembok kamar rawat inap Megan.

"Mir-Mir. Ini bukan salah Loe, kematian itu takdir. Enggak ada yang bisa menahan kapan malaikat akan mencabut nyawa seseorang!" pekik Arumi dan Cindy.

"Tapi gue nyesal dengan mata ini. Gue akan buang kedua bola mata gue untuk menutup penglihatan gue!"

"Mira!" bentak Cindy. "Dengerin gue, Loe, enggak salah. Mungkin takdir Megan memang seperti itu, dia enggak pernah dengerin perkataan kita sejak awal."

Aku memeluk tubuh Cindy dengan erat. "Kita doakan sama-sama untuk Megan! Biar dia enggak kenapa-napa," rengekku.

Tangisan pecah di pundak kedua sahabat. Dengan tekad yang kuat, aku menghapus air mata seraya melepaskan pelukan mereka.

"Mir!" panggil Cindy histeris.

"Loe, mau ke mana, Mir?" tanya Arumi.

"Gue mau cari orang yang bisa melihat takdir kematian. Gue mau tanya bagaimana cara dia untuk mengatasi orang tersebut."

"Gue ikut!" kata Cindy.

"Enggak! Kalian di sini aja nunggu Megan sampai sadar, biar gue yang cari orang itu sendiran."

"Mir, hati-hati."

Berlari dan terus berlari, aku memanggil tukang ojek untuk mengantarkan ke rumah orang yang memiliki penglihatan sama sepertiku saat ini. Jalan yang terkelok, melintasi bebatuan terjal tak menghalangi tekad yang semakin membara. Bahkan memasuki perkampungan itu membuat jaringan handphone hilang.

Demi kesembuhan sahabat sejati, aku rela menukar nyawaku untuknya.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang