Chapter 25 ( Kelebihan Siswa )

176 15 0
                                    

#SalamWritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day25
#Jumkat: 1730

Sebuah pesan singkat datang dari Arumi, dia mengatakan padaku agar segera datang ke rumah sakit dengan segera. Setelah berdandan rapi dan membawa segala ramuan penawar kematian di dalam tas ransel.

Langkah lebar membawaku dengan segera. Senyum sumringah menghiasi lekuk bibir, berharap banyak nantinya Megan akan sembuh dan bisa bersama kami dalam menjalani hidup ini sampai tua. Ya, itu adalah motto persahabatan sejak SMP. Dengan menggunakan mobil berwarna putih, aku melintasi jalan raya yang tak lagi sama dengan yang biasanya.

Malam ini tampak mendung dengan bulan sabit seakan menangis menatap wajahku, dari balik kaca jendela mobil, kedua bola mata menatap arah samping kanan dan kiri untuk membuang segala firasat buruk tentang perasaan yanh mulai bercampur aduk menjadi satu.

Ya, perasaan senang, sedih, gembiran dan yang lainnya mengitari isi kepala. Sesekali aku menatapa arah botol berisikan cairan penawar kematin, serta sebuah benda berbentuk bintang bernama—pentagram. Serta merah delima yang konon ampun mengobati segalan penyakit dan mengusir arwah jahat yang ingin hinggap ke tubuh seseorang.

Malam yang merupakan sebuah kejadian seumur hidup dipenuhi dengan segala problematika kehidupan dan takdir. Sesampainya di halaman rumah sakit, kaki berjalan sedikit lambat. Karena napas sudah ngos-ngosan dan tak bisa lagi untuk berlari, tiba-tiba sosok wanita di atas kursi roda tengah duduk di sebelah koridor kamar ruang anggrek.

Sepertinya dia Megan, dengan wajah sumringah. Aku kira dia masih komah, tetapi penglihatan kali ini benar bahwa dia baik-baik saja. Perasaan tak terikra membuat kecemasan sedikit meredah, aku pun mendekatinya dan menatap bawah sumringah itu.

Dia tampak lebih segar dari biasanya. Ya, dengan hijab yang dia kenakan sangat rapi berwarna biru laut.

Aku menelan ludah berkali-kali. "Hai, Megan! Loe, udah sembuh?" kutanya dengan sedikit tawa kecil. "Gue bahagia banget akhirnya Loe, bisa sembuh secepat itu."

"Iya, Mir. Gue juga enggak nyangka bisa sembuh. Oya, gue mau ngomong sesuatu, nih—"

"Ngomong apa, Gan? ayo, bicaralah. Gue udah enggak sabar mendengarkannya!"

Dia menarik napas panjang berulang-ulang. "Jadi gini, gue sebelumnya mau minta maaf sama Loe, karena kemarin udah buat sakit hati Loe. Membentak Loe, dan membuat Loe, nangis di depan kantor kepala sekolah. Gue enggak ada niat untuk nyakiti Loe, suer!"

Dia jeda ucapannya sejenak. "Nih!" megan menyodorkan gelang berwarna hijau laut padaku.

"Loh, kok, Loe kasih ke gue. Bukankah ini adalah gelang milik Loe, dan milik persahabatan kita."

Dia memaksa untukku memegangnya. "Udah, Mir. Loe pegang aja, gue mau titip gelang persahabatan kita ini. Karena dari kita berempat yang paling rajin itu Loe, gue enggak bisa ngurusnya. Entar takut jorok kalau sama gue terus!"

"Gan ... enggak apa-apa, gelang ini jorok. Lagian kita bisa beli baru lagi untuk mengganti yang baru," sosorku memotong ucapan kali ini.

Dia terus memekik agar aku menjaga gelang persahabatan. Akhirnya, aku mengambil gelang tersebut dan memegang dengan sangat erat.

Dia tertawa sumringah seraya mengedarkan senyum manis. Tak seperti biasanya. "Oya, Mir. Gue mau ngucapin terima kasih sekali lagi buat Loe," katanya lagi.

"Wah, banjir terima kasih, nih, malam!" cetusku dengan menyentuh pipinya yang sedikit pucat.

"Iya, gue terima kasih banget kalau Loe, udah berusaha menyelamatkan nyawa gue dengan membawa ramuan penawar kematian. Serta mencari benda bernama—pentagram dan juga merah delima. Karena pengorbanan Loe, itu adalah sebuah bukti nyata bahwa persahabatn kita patut untuk dikatakan dunia akhirat. Karena sebentar lagi gue pulang ke akhirat dengan tenang!"

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang