Chapter 22 ( Penawar Kematian )

97 16 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day25
#Jumkat: 1026

Sampailah di sebuah pondok kecil dengan alamat yang sama. Mengetuk pintu seraya menoleh kiri dan kanan. Sementara kedua orang tuaku telah lama pergi dari rumah dan dan kunjung kembali lagi. Entah pergi ke mana, sampai saat ini aku enggak tahu.

Pintu terbuka sangat lebar, tetapi tak ada satu orang pun terlihat di dalam ruangan tersebut. Memberanikan jiwa untuk berjalan masuk ke dalam.

"Assalam' mualaikum."

'Tak ada orang di sini, tapi pintu terbuka sangat lebar.'

'Permisi! Permisi! Ada orang di sini?" tanyaku seraya berjalan kecil mengendap-endap.

Perasaan bercambur aduk menjadi satu, bingung dan sangat heran. Suasana sunyi membuat jiwa merasa tercekam dengan keadaan rumah seperti tidak terurus lama.

Sebuah tangan datang dari belakang tubuhku secara tiba-tiba.

"Astaghfirullah!" teriakku sepontan karena sangat kaget dengan kedatangannnya yang secara tiba-tiba.

"Kamu, nyari siapa, Nak?" katanya. "Mari duduk di sini."

Dia menawarkan agar aku ikut duduk di atas kursi rotan berjumlah empat. Dengan meja yang kusam dan berdebu tebal. Dia memandangiku secara terus-menerus.

"Maaf, Bu. Kedatangan saya ke sini—"

"Pasti kamu ingin tanya cara menyelamatkan orang yang akan mengalami kematian, bukan?" sambarnya dengan tiba-tiba.

Sontak mulut keluh dan tak mampu untuk berucap lagi, dia seakan bisa menebak apa yang ada dalam hatiku saat ini. Dengan perasaan yang bingung akhirnya aku hanya mengangguk.

"Nak, kematian itu takdir. Enggak ada yang bisa untuk mencegahnya. Lagian kita hanya bisa melihat bukan menahan seperti apa mencegahnya," dia menjeda ucapannya kemudian. "Semenjak sepuluh tahun lalu, saya mengalami hal yang sama denganmu yaitu bisa melihat arwar yang akan menjemput orang lain akan mati. Tapi itu membuat saya semakin bingung, akhirnya saya memutuskan untuk membutakan kedua bola mata saya!"

"Apa? Jadi, sekarang Ibu buta?" kutanya. "Kok, Ibu bisa senekat itu, sih?"

"Saya tidak tahan melihat orang-orang sekitar saya harus mati dengan tampak jelas di mata saya. Membuat jiwa ini terasa sangat kacau dan depresi berat tanpa henti. Mungkin dengan tidak melihat dunia ini, saya bisa lebih baik. Ya, semua menjadi lebih baik ketika saya putuskan untuk membutakan penglihatan saya."

Aku terdiam seraya menelan ludah berulang-ulang. Cara yang paling ampuh memang membutakan mata penglihatan. Benar kata Si pemilik indra keenak itu. Dengan menarik napas panjang berulang-ulang aku meneteskan air mata dan dapat melihat masa lalu seorang Ibu yang ada di hadapanku saat ini.

Hampir sama dengan kehidupanku. Dianggap gila oleh semua orang dan menjadi bahan ejekan setiap harinya. Hanya bedanya, dia mendapatkan indra keenak sejak dia lahir. Tapi, aku bisa melihat hantu sejak dinyatakan mati suri.

"Saya, dinyatakan mati suri, Bu!"

"Lalu, kamu hidup lagi?" tanyanya.

"Setelah saya mati dua hari dalam ruang mayat, entah kenapa jantung saya berdetak lagi."

"Sejak saat itu, kamu dapat melihat arwah?" katanya lagi.

"Ya, dan hal tersebut membuat saya kehilangan akal untuk bisa berpikir normal, Bu. Yang ada di sekeliling saya hanya hantu, arwah, dan kematian orang lain akan membawa nyawa. Dan ... dan sekarang nyawa sahabat dekat saya, Bu. Saya enggak tega kalau harus kehilangan sahabat saya!"

Aku menangis histeris dan tak bisa berkata apa-apa.

"Nak, dapat melihat makhluk halus itu anugerah. Enggak semua orang bisa merasakan apa yang kita rasakan. Enggak ada yang bisa orang lain lihat apa yang kita lihat. Tapi, Ibu juga lebih dulu diposisi kamu. Sehingga Ibu memutuskan membutakan mata ketika kedua anak Ibu yang harus meninggal bersama arwah suami saya."

"Pasti ini ulah orang tua saya, sang pengabdi setan. Memuka orang mati dan mencari tumbal ke sana ke mari. Hingga akhirnya keberadaan mereka juga enggak terlihat lagi sampai saat ini."

Aku terus menangisi hal tersebut hingga suatu ketika dia beranjak dari tempat duduknya.

Dia berujar. "Ayo, kamu ikut dengan saya."

Aku pun mengikutinya yang berjalan menuju ke arah belakang rumah. Sesampainya di sana, banyak kuburan yang menjadi tempat pesugihan. Karena kuburan itu sangat kuno dan beruluran panjang dan lebar. Membulatkan mata dan melirik arah kuburan yang bersanding dua. Seperti kuburan baru penuh dengan bunga.

Aku menunjuk kuburan itu. "Bu!" panggilku dengan nada takut.

"Ya, Nak. Ada apa?" katanya.

"Itu kuburan baru?"

"Iya, mereka baru satu meninggal. Konon, mereka adalah orang yang mengabdikan diri mereka pada pesugihan jin dan hantu untuk cepat kaya."

Cerita itu hampir sama dengan cerita orang tuaku. Apalagi mereka memeng telah menghilang satu minggu yang lalu. Karena sangat penasaran, aku berjalan menmui kubutan tersebut. Di batu nisan sangat samar, nama mereka enggak bisa di baca. Setelah teliti dilihat, ternyata itu adalah kuburan kedua orang tuaku.

"Allah huakbar ..." teriakku seraya menjerit-jerit di samping kuburan.

"Kenapa, Nak?" tanya Si Ibu.

"Ini kuburan orang tua saya, Bu!"

Tiba-tiba, Seorang Ibu itu mendekati tubuhku dan sedikit berkata. "Nak, setiap yang mengabdikan diri pada pesugihan. Mereka akan kembali pada orang yang mereka puja. Bukan pada yang Maha kuasa."

Aku memeluk seorang Ibu tua rentah di sebelahku. Dia juga menangis dengan peristiwa yang aku alami saat ini. Tanpa henti air mata terus mengalir begitu saja.

Dia menggandeng tangan ini dan pergi meninggalkan kuburan dengan bentuk pentagram. Ya, itu adalah cara mereka untuk memanggil arwah dan meminta kekayaan.

Karena pesan Si Ibu enggak boleh lama-lama berada di kuburan itu, aku beranjak dan masuk ke dalam rumah dengan isak tangis yang masih menyertai. Tak pernah terbayangkan kalau ini semua harus aku alami. Apalagi kehilangan orang tua secara tiba-tiba dan membuat kehidupan seakan bertolak belakang dengan hal tersebut.

Mau enggak mau, aku harus mengikhlaskan orang tuaku menjadi pengikut setan dan pergi selama-lamanya.

Sesampainya di dalam rumah, Si Ibu mengambilkan sebuah gelang berukuran kecil berwarna keemasan.

"Ini adalah tangkal agar orang lain tidak mati bersama arwah yang mendekati tubuh mereka. Tapi, saya enggak bisa janjikan kalau tangkal ini masih berfungsi atau enggak, Nak!"

"Ini tangkal untuk mencegah kematian, Bu?" kutanya dia yang menyodorkan gelang kecil berwarna keemasan.

"Ya, bawalah ini. Pakaikan ke pergelangan sahabat kamu. Agar arwah yang mendekatinya bisa pergi dan enggak akan mendekati siapa pun yang kamu sayangi di dunia ini."

Aku mengambil gelang tersebut. Kedua bola mata nanar setelah memandang gelang itu, dari masa lalu gelang tersebut tampak jelas bahwa itu adalah gelang pemilik seorang anak kecil yang memiliki indra keenam dan mencoba melapaskan belenggu penglihatannya dari kerumunan arwah yang menyelimutinya.

Sebelum akhirnya dia mati bersama dengan arwah yang menempel pada dirinya sendiri.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang