Chapter 23 ( Kematian Megan )

100 16 0
                                    

#Salam_WritingMarathon
#ChallengeMenulis1Bulan
#Day23
#Jumkat: 1026

Milan POV

Pesan singkat yang datang dari whatsapp memberitahukan akan sebuah kematian datang. Entah itu untuk siapa yang jelas tertuju padaku saat ini. Menghela napas panjang dan menulan ludah berkali-kali, seraya menatap arloji tengah menunjukkan tengah malam.

Dari luar ruangan tampak ayunan tengah bergoyang dengan sendirinya. Terlihat jelas bahwa ada gadis kecil berambut panjang asyik bersenandung riang. Karena sangat penasaran, akhirnya aku bergegas menemui gadis kecil itu dan keluar rumah.

Setelah sampai di depan pohon bunga Tanjung, sosok tersebut hilang. Tapi, hilangnya dia membawa selembar kertas berbentuk segitiga. Aku mengambil kertas itu dan seraya membaca bait-baitnya.

Tulisan itu berwarna merah seperti bercak darah tengah menempel, aroma surat itu sangatlah amis dan sangat misteri. Membaca tiap kalimat yang berisikan bahwa akan ada satu orang dari keempat sahabatku menemui ajalnya.

Pemberitahuan itu seakan mencekam jiwa, handphone bergetar dan notifikasi datang dari jendela layar handphone. Membaca pesan bahwa Megan sedang sekarat di dalam rumah sakit H. Anwar. Karena aku sangat prihatin dan terkejut hebat, surat itu juga berisikan misteri.

Mengantongi surat dan mengendarai motor menuju ke rumah sakit. Butuh beberapa menit untuk sampai menuju lokasi, setibanya di sana. Aku bergegas masuk dan mencari Arumi.

Tepat di depan pintu rumah sakit bertuliskan ruang Anggrek. Ya, di sana sudah ada Arumi dan Cindy sedang menangis tersedu-sedu. Langkah kaki perlahan menemui mereka dan ingin memastikan bahwa Megan baik-baik saja.

"Arumi!" panggilku tertahan karena enggak ingin membuat keributan.

Mereka menoleh ke arahku saat ini. "Hai, Milan? Udah nyampe di sini?" tanyanya seraya menghapus air mata. "Loe, apa kabar?"

"Gue baik-baik aja, oya, mana Mira?" aku nanya sambil menoleh ke arah kanan dan kiri. Tak ada tanda-tanda tentang keberadaan Mira dalam ruangana kamar Anggrek.

Mereka diam seribu bahasa, entah apa yang mereka sembunyikan dariku. Yang pasti, pertanyaan barusan tidak mendapatkan balas kata dari lawan bicara.

"Kalian enggak dengar apa yang gue bilang? Di mana Mira, Cin?" tambahku mulai ngegas. Tampak dari wajah mereka seperti tengah ketakutan untuk mengatakan sesuatu.

"Hmmm ..." mereka menjeda ucapan dan menelan ludah berkali-kali. "Mira, lagi pergi menjumpai paranormal."

"Paranormal?" aku menarik napa panjang. "Untuk apa paranormal?" kutanya lagi dengan nada sedikit membentak.

"Untuk mencegah kematian—Megan! Dia bersikeras untuk mencari penawar dari kematian."

"Kematian itu takdir, enggak ada yang bisa mencegahnya. Siapa pun orang-nya, cuma bisa mendoakan yang terbaik unruk sahabat kalian. Berdoa, bukan cari paranormal."

"Milan! Loe, enggak tahu apa yang terjadi. Loe enggak pernah punya sahabat sejati seperti kita. Berat banget rasanya jika harus kehilangan sahabat dari SMP, Lan!"

Kali ini aku enggak bisa berkata apa-apa selain terdiam. Mengunci ucapan karena memang sampai saat ini belum pernah memiliki yang namanya sahabat sejati seperti mereka katakan.

Mungkin mereka benar, kesembuhan sahabat adalah segala-galanya di dunia ini. Enggak ada yang berhak mengambil nyawa sahabat mereka dengan cara yang tak wajar, apalagi itu sebagai tumbal.

"Milan!" panggil Cindy seolah membuyarkan lamunanku.

"Ya, Cin! Ada apa, ya?" aku nanya penasaran.

Dia hanya mengernyit alisnya dan memandang wajahku tampa henti. Lalu, dia mendekat ke arah tubuh kiriku.

Beberapa menit berdiri dia langsung kembali berputar badan mengarah tembok. "Cin, apa yang Loe, lihat?" kutanya bertubi-tubi.

"Dia datang," katanya dengan mengedarkan sedikit wajah takut. "Arwah itu ada di samping Loe, sekarang!" tambahnya membuat bulu kuduku meremang.

Beberapa menit setelahnya, pendeteksi jantung terdengar melambat dan suara sangat pelan. Aku berlari menoleh ke arah Megan yang sedang terbujur kaku di atas kasur. Bersama infus mulai pelan meteskan cairan dan darah. Cindy dan Arumi berada di samping kananku.

Beberapa menit setelahnya suara teriakan terdengar dari luar ruang rumah sakit.

"Tolong ..." teriak Megan.

"Tolong ..." teriaknya lagi.

Karena kebingungan, aku langsung berlari untuk menemui seorang dokter. Kala itu Pak dokter sedang berjalan bersama perawat lengkap dengan alat pemompa jantung.

Aku menemuinya. "Pak, pasien bernama—Megan teriak-teriak di ruangan."

"Ayo, kita ke sana!" ajak dokter dan berlari.

Sesampainya di ruangan. Dia menyetrum dara Megan yang kala itu sudah tak bernyawa. Dia membuka alat infus dan menutup wajah Megan dengan selimut berwarna putih.

"Cindy dan Arumi seakan tidak percaya dengan kejadian itu. Mereka menangis histeris dan mendobrak pintu ruang rumah sakit."

Dokter keluar dan menjumpai kami bertiga. "Dek, sahabat kalian sudah meninggal dunia." Dokter menelan ludah dan menarik napas panjang berulang-ulang. "Mohon untuk mengiklaskan dan berdoa agar arwah beliau diterima oleh Allah."

"Dok, enggak ada yang bisa dokter lakukan demi kesembuhan sahabat kami?" tanya Arumi dengan tangisan histeris.

Dokter menggelengkan kepala. "Maaf, saya bukan Tuhan. Kematian adalah takdir dari Allah. Siapa pun enggak ada yang bisa mencegahnya."

Memekik keadaan seakan tak percaya, dokter meinggalkan kami dan bergegas pergi.

Aku, Arumi, dan Cindy memasuki ruang Anggrek yang menutup tubuh sahabat dengan kasur putih.

Arumi membuka kasur tersebut dan melihat wajah pucat Megan. Dia tengah tersenyum dan air mata mengalir dari kedua bola matanya.

"Megan!" teriak Arumi. "Bangun, Gan! Gue enggak bisa hidup tanpa Loe, kita udah janji untuk bersama sampa tua nanti, kan?" ratap Arumi.

Cindy mengelus pundak sahabatnya. "Mi-Mi, sabar. Enggak boleh diratapi begitu. Biarkan Megan pergi dengan tenang. Kita berdoa untuknya, semoga dia ditempatkan disisi yang sebaik-baiknya di sana!"

Arumi memeluk sahabatnya yang menjadi saksi kematian Megan malam ini. Megan adalah anak yatim piatu tak memiliki orang tua.

Arumi dan Megan tinggal dalam satu kos sejak SMP. Sehingga mereka sangat akrab. Aku tahu betapa terpukulnya menjadi seorang Arumi, dia adalah gadis culun dengan bullyan yang hampir setiap hari di dapat.

Siapa lagi yang bisa menolengnya selain Megan dan Mira. Gadis tomboy dengan nyali melebihi anak laki-laki. Tapi apa boleh buat, semua telah terjadi. Dan kematian adalah ketetapan Allah.

Beberapa menit di rumah sakit, aku mendapat telphone dari Ibuku. Dia menyuruh untuk segera pulang ke rumah.

"Guys! Gue permisi pulang dulu, ya?" aku pamit dengan sahabat di sekolah.

"Ya, Lan. Terima kasih sudah mau menemani kita di sini!" balas mereka serempak.

"Yang sabar, ya. Semua pasti ada hikmahnya, doakan yeng terbaik untuk kepergian Megan. Gue yakin kalau dia akan masuk surga, karena dia adalah anak baik. Enggak pernah nyakiti sahabatnya," celetukku sebelum meninggalkan mereka.

"Assalam' mualaikum."

"Waalaikum' sallam."

Dengan bergegas membawa motor, aku menuju rumah dengan sangat cepat. Karena orang tuaku seperti mengatakan hal yang sangat penting. Sehingga menyuruhku untuk pulang cepat.

KAFIRTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang