Kutatap wajahnya.
"Mbak namanya siapa?" tanyaku melalui batin.
"Ratri," balasnya.
"Mbak Ratri ngapain nari sendirian di sana?"
"Ya, mau ikut aja. Abisnya seneng. Rame," balasnya.
"Emang dulunya suka nari?"
"Iya."
Sebuah gambaran muncul, Ratri sedang berjalan menyusuri jalan setapak di sebuah perkampungan. Wajahnya cantik sekali. Sampai-sampai beberapa lelaki tak henti-henti menatapnya.
Ia berjalan menuju sebuah lapangan. Di tengahnya ada panggung besar, lengkap dengan satu set gamelan.
Saat namanya dipanggil, Ratri langsung naek ke panggung. Diiringi sorak penonton yang didominasi kaum adam.
"Wah, Mbah terkenal banget dulu." Aku memujinya.
"Iya, saya penari paling terkenal di kampung," balasnya dengan bangga.
"Bukan cuman terkenal, Mbak juga cantik banget."
Ratri tersenyum, membuat robekan di pipinya terlihat jelas.
"Ih, sampe sekarang juga masih cantik," balasnya seraya mengibaskan rambutnya yang kusut.
"Enggak ah! Jelek gitu," ledekku.
"Cantik!" Seketika senyumannya hilang, berganti dengan matanya yang terbuka lebar. Melotot.
"Kenapa mukanya bisa begitu sih?" tanyaku.
"Ah, gak ah." Ratri tak mau menjawab. Kemudian menuntupi wajahnya dengan rambut.
Tak lama, sebuah gambaran kembali muncul. Ratri masuk ke dalam gubuk. Di dalamnya sudah menunggu seseorang lelaki tua. Sepertinya lelaki itu merupakan seorang dukun.
Sebuah ritual dilakukan. Tak lama, Dukun itu memasangkan jarum di wajah Ratri. Orang-orang biasa menyebutnya susuk.
Tidak hanya satu atau dua. Ratri memasang banyak susuk. Mulai dari wajahnya, perut, dada hingga pinggul. Fungsinya untuk terlihat cantik, serat menarik perhatian pria. Dengan cara itu, pendapatannya sebagai penari bisa lebih besar.
"Oh, pake susuk ternyata," ucapku.
"Ih ... enggak kok," elak Ratri.
"Ngaku aja, Mbak."
"Emang kalau iya kenapa?" tanyanya.
"Ya, gak apa-apa sih, Mbak. Pantesan aja mukanya jadi begitu," balasku sedikit meledek.
"Sebenarnya aku juga gak mau kaya gini. Kamu bisa bantu gak?"
"Bantu apa?"
"Ilangin gatelnya," balasnya sambil menggaruk-garuk pipi.
"Jangan digaruk terus, jadinya pada robek."
"Abisnya gatel. Bantuin dong."
Gambaran lain pun muncul. Kini sebuah gambaran yang menjijikan sekaligus menyedihkan. Ratri sedang terbaring di atas tempat tidurnya. Berteriak-teriak minta tolong sambil menggaruk wajahnya yang penuh borok.
"Gara-gara pendatang baru itu. Aku jadi begini!" ucapnya dengan nada kesal.
"Maksudnya?"
"Ada penari baru yang ngasih minuman. Aku kira dia gak ada niat jahat. Ternyata ... dasar wanita iblis!"
"Jadi gatel-gatel, Ya?" tebakku.
"Iya."
"Seharusnya kamu lepas susuknya. Biar gak gatel lagi."
"Saya lupa."
"Keburu mati, Ya?"
Ratri mengangguk.
Kejadiannya begitu cepat. Baru beberapa hari merasakan sakit, Ratri sudah meninggal. Sehingga ia belum sempat meminta sang dukun untuk melepaskan susuknya. Sungguh, sebuah kematian yang tragis.
"Nah, berarti salah sendiri. Jadi saya gak bisa bantu."
"Terus kenapa banyak tanya!" Ratri terlihat marah.
"Iseng aja, Mbak," balasku.
"Uh!" Ia pun terbang melayang ke arah panggung.
"Mbak!" panggilku.
"Mau bantu aku?" tanyanya, sambil menengok ke arahku.
"Mbak jangan di sana. Saya mau nonton orang nari jadi keganggu," ucapku.
"Ih, GAK!" Ia terbang melesat duduk di samping panggung.
Aku pun memiliki sebuah rencana. Kembali mempertajam penglihatan, lalu memanggil si Tebo.
"Ada apa lagi sih, Mir!" ucap Si Tebok kesal.
"Tuh cewe tolong suruh pergi dari panggung. Ganggu pemandangan," balasku.
"Kenapa tidak kamu sendiri, AMIR!"
"Daripada tidur terus, mending bantuin. Buruan!"
Dalam satu kedipan mata, si Tebo sudah ada di belakang Ratri. Ratri pun kaget bukan kepalang. Lalu pergi ke luar aula.
"Udah?" tanya si Tebo.
"Udah. Makasih, Bo!"
"Jangan ganggu lagi!"
"Iya."
______
"Si Amir daritadi diem aja," ucap Wildan.
"Kaya gak tau aja lu, Dan. Berarti si Amir lagi ngobrol sama tuh makhluk," balas Hendra.
"Bener kan, Mir?" sambungnya saatku membuka mata.
Aku mengangguk.
"Tuhkan!"
"Udah pergi, Mir? Baunya sih gak ada," ucap Hendra.
"Udah."
"Tu cewek bau banget, emang matinya kenapa?" tanyanya.
"Kelelep di septic tank kali," sahut Wildan.
"Wah sompral si Wildan," ucapku.
"Ampun, Mir!"
"Emangnya kenapa, Mir?" tanya Hendra.
"Intinya, bau busuk itu dari mukanya, Hen. Banyak koreng gitulah, campur darah plus nanah. Jijik liatnya," jelasku.
"Kalau jijik ngapain lu panggil, Amirudin!" ucap Wildan.
"Ya ... gw juga penasaran pengen tau kenapa bentuknya begitu."
"Kok bisa begitu mukanya, Mir?" tanya Hendra.
"Lo nanya mulu, Hen. Ntar kalau tuh setan datang lagi gimana!" timpal Wildan.
"Udah pergi kok. Ke luar aula," balasku.
"Ooohh."
"Jadi semasa hidupnya dia tuh pake susuk. Buat mikat cowok-cowok. Nah pas sebelum meninggal, lupa dilepas. Jadi aja bentukannya begitu," jelasku.
"Oalah, separah itu, Ya? Cuman gara-gara lupa lepas susuk," ucap Wildan.
"Iya, Dan. Jangan sekali-sekali lah lu pasang begituan," balasku.
"Buat apaan gw pasang begituan, Amir. Lu jangan ngadi-ngadi dah."
"Ya, siapa tau biar keliatan tamvan di mata Hani."
"Gw dah tamvan begini. Gak perlu pake begituan!"
"Tamvan dari mana sih!"
"Ini anak berdua, ribut mulu. Kagak pernah akur," keluh Hendra.
"Lu juga sama Hen, mancing-mancing mulu!" balas Wildan.
"Lah, malah gw yang kena."
"Lu sih, Mir!" ucap Hendra.
Aku pun tertawa.
SEKIAN
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA AMIR (Sudah Terbit)
HorrorKumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan sentuhan unsur komedi. Berkisah tentang perjalan hidup seorang remaja bernama Amir. Kehidupannya beru...