Anak Tumbal Pesugihan #4

3.5K 524 27
                                    

"Mau apa kamu?" tegurku melalui batin.

"Kembalikan mereka! Atau aku buat kalian celaka," ancamnya.

Puput terlihat ketakutan, ia sampai bersembunyi di balik tubuhku.

"Saya tidak akan menyerahkan anak ini!"

"Saya tidak peduli dengan anak itu. Saya hanya ingin kamu kembalikan anak-anak yang lain!"

"Anak-anak yang lain? Apa maksudmu?"

"Temanmu sudah membawa mereka pergi."

"Teman saya?"

"Iya, monyet berbulu merah itu!"

"Kingkong! Bukan monyet!" protes Si Kingkong yang tiba-tiba muncul.

"Sama saja," balas Si Genderuwo Merah.

"Cepat kembalikan anak-anak yang sudah kamu ambil!" imbuhnya.

"Tidak!" balas Si Kingkong.

"Jadi maksud kamu menunggu yang lain tuh ini? Kamu membebaskan anak-anak yang lain juga?" tanyaku.

"Iya," balasnya singkat.

"Astaga Kong Guan! Kenapa harus cari masalah sih."

"Saya kasian dengan mereka. Daripada dimakan oleh makhluk jelek ini. Lebih baik saya bebaskan."

Tujuannya memang mulia, tapi akibatnya bisa fatal. Apalagi si Genderuwo Merah itu kini tak datang sendirian. Ia membawa banyak anak buahnya.

"Terserah kamu saja, Kong. Tapi aku gak mau tau, kamu harus bereskan sendiri", ucapku pasrah.

"Melawan mereka?"

"Yap."

"Terlalu mudah."

Si Kingkong memperbesar ukuran tubuhnya. Lebih besar dari sebelumnya. Banyak anak buah Genderuwo Merah itu yang kabur, ketakutan.

"Kamu tidak sebanding dengan saya," ledek si Kingkong pada si Genderuwo Merah.

Benar-benar tidak sebanding, dari ukuran tubuhnya saja sudah jelas terlihat. Si Genderuwo Merah itu seperti anak kecil yang sedang melawan orang dewasa.

"Jika kamu ambil semua, lalu kami makan apa?" ucap Si Genderuwo Merah memelas. Sepertinya ia sudah sadar diri.

"Jangan bohong denganku. Kamu masih punya banyak tahanan orang dewasa," balas Si Kingkong.

Orang dewasa itu merujuk pada pelaku pesugihan. Termasuk jika ayahnya Puput meninggal nanti.

"Jadi apa kamu masih mau bertarung? Jangan sampai nanti saya lepaskan juga yang lainnya," ancam Si Kingkong.

"Baiklah, kamu boleh ambil anak-anak itu, tqpi jangan pernah kembali lagi ke sini." Genderuwo Merah itu pun menyerah. Kemudian menarik mundur semua anak buahnya.

Aku menatap si Kingkong yang terlihat santai saja, tanpa sedikit pun merasa bersalah.

"Ada apa, Mir?" tanyanya.

"Kenapa kamu gak bawa anak ini juga," balasku seraya melirik ke arah Puput.

"Oh iya, saya hampir lupa."

"Ayo sini, Dek!" ajak Si Kingkong. Puput pun menghampirinya. Hanya dalam hitungan detik, keduanya menghilang.

_______

"Si Amir, bukannya bantuin malah tidur," ucap Wildan.

"Kagak, Dan."

Kulihat Hendra dan Wilson masih sibuk mengecek mesin mobil.

"Hen!" teriakku.

"Apa?" sahutnya.

"Coba dinyalain lagi mobilnya."

Wilson mencoba menyalakan mobil. Berhasil.

"Eh dah bisa," ucap Wilson.

"Ini gak ada hubungannya sama penunggu sini, Kan, Mir?" tanya Hendra.

"Kagak, mungkin cuman karena dingin aja," balasku.

"Gw kira gara-gara anak kecil yang masuk ke badan Andi."

"Dia sih udah pergi."

"Ngomong-ngomong, anak itu kenapa sih, Mir?" tanya Andi.

"Kenapa gimana?"

"Gw liat dia kaya babak belur gitu. Apa digebukin ortunya?"

"Gak, dia tenggelem di sungai terus kebawa arus. Jadi badannya kebentur batu," jelasku.

"Oh begitu."

"Makhluk begituan tuh aneh, Ya? Padahal kita gak ngapa-ngapain, tapi mereka malah marah."

"Ya begitulah."

Aku tak mungkin menceritakan kalau semua ini karena ulah si Kingkong, yang isengnya luar biasa. Sampai-sampai melepaskan anak-anak tumbal pesugihan.

_______

Mobil mulai melaju. Kutatap jam di ponsel, sudah hampir pukul satu malam. Rasa kantuk mulai menyerang.

Namun, ada rasa penasaran dalam diri tentang ke mana si Kingkong membawa anak-anak itu pergi. Sayangnya, daritadi ia tidak muncul.

Tiba di kosan, aku langsung berjalan menuju kamar. Begitu pula Wildan. Tubuh ini rasanya pegal sekali. Begitulah efeknya kalau terlalu sering mempertajam penglihatan batin.

Kriet!

Kubuka pintu kamar.

"Udah pulang, Mir?" sapa Si Kingkong yang sedang duduk di atas lemari.

"Jangan begitu lagi, Ya, Kong!" balasku seraya menjatuhkan diri ke tempat tidur.

"Saya cuman kasian sama mereka."

"Iya, tapi itu sangat berbahaya."

"Saya tidak kenapa-napa."

"Ya, kamu. Tapi kalau teman-temanku kenapa-napa gimana?"

"Mereka juga aman."

"Hampir tidak aman."

"Saya kan selalu datang tepat waktu."

"Ya, ya, ya. Dah, aku mau tidur dulu!" ucapku sambil menarik selimut.

"Yakin kamu mau tidur? Bukannya ada yang ingin kamu tanyakan?"

"Apalagi sih, Kong!" balasku kesal.

"Yakin kamu tidak mau menanyakan sesuatu?"

"Tanya apa?"

"Tempat anak-anak itu sekarang."

"Ooo ... kok kamu tau?"

"Saya kan bisa membaca pikiranmu."

"Jadi ke mana anak-anak itu kamu bawa?" tanyaku.

"Rahasia."

"Terus, kenapa kamu minta aku bertanya."

"Hanya iseng saja."

"Dasar! Dah sana pergi."

"Suatu hari kamu juga tau mereka ada di mana."

"Dah, dah. Jangan ngomong terus, aku mau tidur! Hus!"

Wuff!

Si Kingkong pun menghilang. Sukses membuatku tidur dalam rasa penasaran.

SEKIAN

CERITA AMIR (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang