Lambaian Tangan Kuntilanak di Depan Warung Makan

3.8K 519 8
                                    

Hari ini, untuk menghibur Wildan yang baru pulang dari rumah sakit. Aku dan Hendra mengajaknya jalan-jalan ke salah satu tempat wisata di jalur Pantura. Kali ini, Hendra yang menyetir, sedangkan aku duduk di sampingnya.

Sudah satu setengah jam perjalanan. Mobil melaju melewati jalan yang sedikit bergelombang. Di kanan kiri banyak juga mobil berukuran besar yang berjalan melambat. Begitulah serunya ketika melewati jalur Pantura.

"Lu capek gak?" tanyaku setelah melalui jalan yang mirip seperti jalur 'offroad' itu.

"Emang lu mau gantiin?" Hendra balik bertanya.

"Kagak sih, cuman basa-basi doang."

"Ish."

"Emang lu, mau digantiin, Hen?" tanya Wildan yang lagi tiduran di kursi tengah.

"Jangan ah, lu kan masih sakit."

"Ya, gw juga kagak mau sih."

"Ish. Samanya lu berdua."

Mobil terus melaju. Kira-kira satu jam lagi mungkin sudah sampai ke tempat tujuan kita.

"Rame ya tiap lewat jalan ini," ucap Hendra.

"Fokus, Hen. Banyak mobil gede."

"Iya, gw cuekin kok. Cuman berisik aja gitu banyak yang teriak dan nangis."

"Apa yang teriak?" tanya Wildan.

"Tuh 'orang-orang' di tengah jalan."

Wildan melihat ke luar mobil.

"Gak ada orang ah," ucapnya heran.

"Gak usah pura-pura polos dah ah. Lu tau maksud gw, Kan?"

"Oh, 'orang' dari alam lain."

"Iye."

"Aman, gw kagak liat."

"Lu mau liat emang, Dan?" tanyaku.

"Kagak, ntar lu bikin gw kesurupan lagi."

Aku dan Hendra pun tertawa.

*

Sudah agak dekat dengan tempat wisata. Mulai banyak penjual oleh-oleh dan warung makan berjejer di pinggir jalan.

"Itu apa sih, Mir?" tanya Hendra.

"Apaan?"

"Itu coba lu liat ke kanan jalan. Samar-samar kok kaya ada yang berdiri. Tapi tipis banget kagak jelas."

"Orang?" tanya Wildan.

"Bukanlah, masa orang tipis plus transparan."

"Oh itu ... coba lu pinggirin dulu mobilnya. Ini lu perlu tau dan ngerti, Hen."

Hendra meminggirkan mobil, di sebuah lahan parkir, tepat di seberang tiga warung makan yang berderet rapih. Menu yang dijual pun sama.

"Buka kaca sampingnya!" perintahku pada Hendra. Kaca mobil di samping kanannya mulai turun perlahan.

"Duh gak bisa apa sehari gak bahas beginian," keluh Wildan.

"Lu juga musti tau, Dan. Soalnya banyak yang pake beginian."

"Fokus, Hen." Hendra memicingkan mata melihat deretan warung makan itu.

"Kuntilanak? Siang-siang ngapain?"

"Tangannya coba perhatiin!"

Hendra kembali menoleh ke sana.

"Ngelambai-lambai gitu."

"Nah coba itung berapa banyak."

"Gak ada kerjaan amat, siang-siang ngitung Kuntilanak. Nasib punya temen eror," keluh Wildan lagi.

"Banyak, Mir. Ada yang berdiri di depan warungnya. Ada yang duduk di atas atap. Emang itu ngapain sih, ngelambaiin tangan semua. Kaya dapet mahkota Miss Universe aja."

"Mau tanya langsung apa gimana?" tawarku.

"Ogah, lemes gw ntar. Dah tau gw yang nyetir."

"Hahaha, ya gw juga males kok, Hen."

"Jadi intinya apa sih? Daritadi gw nungguin kagak dijelasin," ucap Wildan.

"Lu tau 'Maneki Neko'?"

"Apaan tuh?"

"Itu HP dipake Wildan, jangan cuman jadi pajangan. Cari gih di google!"

Wildan menatap layar ponsel dan mulai mencari info tentang 'Maneki Neko'.

"Oh patung kucing yang ngelambai-lambai gitu. Katanya bisa membawa keberuntungan. Untuk menarik pembeli."

"Nah fungsinya mirip, cuman ini versi kearifan lokal. Jadi bentuknya Kuntilanak."

"Maksud lu kaya penglaris gitu?" tanya Hendra.

"Yap, mereka ngasih sugesti ke orang-orang yang lewat supaya mampir dan makan di sana. Kalau yang bisa liat sih pasti ogah. Siapa juga yang mau makan barengan rombongan Kuntilanak kaya gitu."

"Ya lu enak Amir. Lah gw?" ucap Wildan.

"Terus caranya biar gak terpengaruh sugestinya gimana?" tanya Hendra.

"Pertama pikirannya jangan kosong. Sepanjang jalan kalau bisa terus dzikir. Selain menghalangi dari lambaian tangan Jin Penglaris. Bisa juga mencegah dari incaran Jin Pesugihan."

"Oh begitu."

Tut!

Bunyi klakson mobil di belakang kami.

"Ada mobil mau parkir tuh," ucap Wildan.

"Yuk lanjut." Aku meminta Hendra melanjutkan perjalanan.

"Gara-gara liat begituan, jadi laper nih gw," ucap Hendra.

"Ya entar cari aja pas udah sampe di tujuan," balasku.

"Kalau pake begituan semua gimana?" tanya Wildan.

"Lu beli roti aja di supermarket, Dan," ucap Hendra.

"Dih."

SEKIAN

CERITA AMIR (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang