Anak Tumbal Pesugihan #2

3.4K 507 6
                                    

"Eh temen-temen, nanti kalau udah sampe sungai, jangan ada yang ngomong sompral, Ya!" pesanku.

"Kenapa, Mir?" tanya Wildan.

"Nah, yang suka sompral langsung bales," timpal Hendra.

"Gw kan, nanya, Hen!"

"Pokoknya jangan aja, takutnya ada yang marah," balasku.

"Oke sip."

Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit, kami tiba di pinggir sungai. Aliran sungainya terlihat tenang. Banyak sosok Wanita Berkebaya dan Kuntilanak yang sedang mandi di sana. Jujur itu sangat menggangguku.

"Di sini ada apa aja, Mir?" tanya Hendra.

"Tuh di sungai, banyak yang lagi mandi," balasku.

"Wuih, beneran? Emang setan mandi juga?" tanya Wildan.

"Ya mandi juga, Dan. Emangnya lu!" sahut Hendra.

"Ah lu, Hen. Kan gw nanya ke Amir, bukan lu."

"Iya, mereka mandi buat bersihin badan juga. Ya, walaupun kadang gak ngaruh juga sih, badannya tetep bau," jelasku.

"Wah si Amir sompral!" ucap Wildan.

"Dia walaupun sompral, tetep gak ngaruh, Dan," ucap Hendra.

Kami berjalan lebih dekat ke sungai. Merasakan angin dan percikan air yang terasa dingin.

"Dan, coba angkat tangannya satu!" perintahku. Wildan pun menurutinya.

"Goyang-goyangin ke arah sana." Aku menunjuk sebuah batu besar di sebrang sungai.

"Apaan sih, Mir!"

"Nah dia senyum tuh, Dan."

"Siapa yang senyum?"

"Kuntilanak yang lagi mandi. Wuih ... senyumannya manis banget."

"Ah sial! Kenapa gw nurut aja!" Wildan langsung menurunkan tangannya.

Hendra tertawa.

"Lagian mana ada senyum Kuntilanak manis sih Mir," sambungnya.

"Seriusan, di pipinya aja ada susu kental manisnya," balasku.

"Stress ni orang!"

"Emang beneran ada susu kental manisnya?" tanya Hendra.

"Si Hendra ikutan lemot," balasku.

"Eh, gw beneran kagak ngerti."

"Coba lu bayangin susu kental manis kaya gimana."

"Udah!" jawab Hendra dan Wildan kompak.

"Nah kadang luka yang gak diobatin suka ngeluarin begituan."

"Ih, si Amir jorok!" protes Hendra.

"Maksudnya apaan sih?" Wildan masih kebingungan.

"Nanah, Dan," balas Hendra.

"Sip!" balasku.

"Beneran si Amir dah sengklek otaknya."

Kami pun lanjut mengobrol. Namun, daritadi aku tak melihat teman-teman Hendra di sekitar sungai.

"Temen lu mana, Hen?" tanyaku saat melihat hanya ada aku, Hendra dan Wildan saja di pinggir sungai.

"Tuh!" Hendra menyorotkan lampu ke arah ketiga temannya. Mereka sedang duduk di bawah sebuah pohon.

Apakah itu pohon besar yang si Kingkong maksud?

CERITA AMIR (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang