Kondisi kampus sudah agak sepi, sedangkan aku masih duduk di koridor kelas sambil memangku laptop. Mengerjakan tugas kuliah dengan menumpang wifi kampus itu godaannya sangat besar. Internet yang super cepat, sering membuatku kurang fokus dalam mengerjakan tugas. Malah sibuk menonton youtube atau 'download' film.
Kutatap sudut kanan layar laptop, waktu menunjukan pukul setengah 9 malam. Pantas saja, para penghuni pohon sekitar kampus sudah mulai memasuki ruangan kuliah yang kosong. Seperti biasa, mereka kebagian jadwal kuliah malam sampai subuh.
Daripada terganggu dengan hilir mudik makhluk yang bentuknya beragam, aku memilih untuk pulang saja. Cepat-cepat membereskan kertas dan alat tulis yang berserakan dan laptop. Lalu, berjalan ke arah parkiran motor.
"Stt ... stt ...." Seperti ada suara seseorang memanggilku.
Aku pun melirik ke dalam kelas yang agak gelap. Di sana sudah duduk sesosok wanita berpakaian layaknya mahasiswi. Namun dengan leher terkulai lemas.
"Apa sih, Dina," ucapku melalui batin. Tentu aku sudah sangat mengenalnya. Dia merupakan mahasiswi yang tewas bunuh diri di kamar mandi, dekat dengan kelas itu.
"Enggak mau temenin, Dina?" tanyanya.
"Enggak! Gw mau pulang."
"Ih, jutek banget."
"Udah mending sana kuliah, biar cepet lulus. Gak pegel apa tuh leher miring terus."
"Tuhkan ngeledek terus, bukannya bantuin," ucap Dina sambil melayang mengikutiku.
"Salahnya sendiri itu sih. Sana pergi! Jangan ikut." Dina pun kembali ke dalam kelas. Dia sudah tahu, jika tidak menurut pasti nanti aku kerjai.
Setibanya di parkiran motor, sesosok makhluk lain sedang duduk di jok motorku. Kali ini namanya Mang Ija, mantan satpam kampus yang tewas kecelakaan.
"Misi, Mang," ucapku, sukses mengagetkannya. Padahal ini bukan kali pertamaku melihatnya, tapi dia masih saja kaget.
"Eh, Dek Amir, bikin jantungan aja," balasnya sambil melayang ke atas pos jaga.
"Ya kali, setan jantungan," gumamku pelan seraya menghidupkan motor. Lalu, pergi meninggalkan kampus.
Begitulah sedikit gambaran suasana kampusku di malam hari. Banyaknya pohon besar dan ada jalan raya yang sering terjadi kecelakaan, membuat kampusku terkesan angker.
*
Di tengah perjalanan, baru ingat kalau wifi kosan sedang gangguan. Jadi, aku membelokan sepeda motor ke arah deretan ruko dekat dengan kampus.
Tujuannya ke sebuah kedai kopi yang cukup terkenal. Tempat biasanya aku dan teman-teman kampus nongkrong. Selain karena kopinya enak, wifinya pun kencang dan buka hingga tengah malam.
Setibanya di kedai kopi itu, aku langsung duduk di kursi pojok, yang ada stop kontaknya.
"Sendirian aja, Mir?" tanya Mas Jono, salah satu pramusaji di kedai kopi ini.
"Iya, Mas," balasku sambil menaruh laptop di atas meja.
"Lagi nugas, Ya?"
"Iya, laporan numpuk," balasku.
"Pesen minuman yang biasa?" tanyanya.
"Iya, Mas. Sama kentang goreng."
"Ok sip." Mas Jono pergi meninggalkan mejaku. Sambil menunggu pesanan datang, aku lanjut mengerjakan tugas.
Kurang dari 10 menit, pesananku sudah datang.
"Makasih, Mas," ucapku pada Mas Jono yang sedang menaruh 'Coffee Latte' dan kentang goreng di atas meja.
"Iya," balasnya, lalu kembali berdiri di samping kasir.
Saat sedang asik mengerjakan tugas, sekilas kulihat tiga orang wanita berjalan memasuki kedai. Duduk di kursi samping kananku, terpaut dua meja.
*
Awalnya aku tidak terganggu dengan kehadiran mereka. Namun semakin lama, ada perasaan untuk terus melirik ke arah mereka. Entah apa yang memaksaku melirik ke sana, tapi aku terus berusaha menepisnya dan tetap menatap layar laptop.
Tiba-tiba, dari ekor mata terlihat ada sosok hitam, berbadan kurus dan lumayan tinggi. Sosok itu berdiri di belakang salah satu wanita. Namun setiap kali aku menengok ke sana, dia sudah menghilang. Itu terjadi berkali-kali, hingga aku merasa malu saat tak sengaja beradu pandangan dengan salah satu wanita itu.
Sampai di suatu ketika, aku berhasil memergoki sosok itu sedang membungkukan badannya. Lalu mendekatkan kepalanya ke meja.
Kulitnya hitam legam dengan mata besar, hampir sebesar pisin yang menjadi alas minumanku. Mulutnya lebar, dengan lidah yang menjulur panjang.
Sudah jelas itu pasti Jin Penjilat alias Jin yang hobi menjilati makanan dan minuman. Soalnya daritadi lidahnya menari-nari di atas roti panggang yang ada di meja ketiga wanita itu. Sesekali lidahnya bergerak masuk ke dalam gelas kopi. Sungguh pemandangan yang menjijikan.
Sebenarnya aku bisa saja mengusirnya, tapi itu terlalu enak buat mereka. Perlu ada sedikit pelajaran, agar mereka tidak didekati oleh makhluk seperti itu.
Kuambil secarik kertas, lalu menuliskan sesuatu di atasnya.
"Mas, sini deh." Aku memanggil mas Jono. Dia pun segera menghampiriku.
"Ada apa, Mir?" tanyanya sambil berdiri di hadapanku.
"Bisa minta tolong gak?"
"Bisa."
"Ini, tolong kasihin ke cewek-cewek itu," pintaku.
"Cie-cie, cantik emang sih, Mir. Naksir yang mana?"
"Enggak, Mas. Bukan begitu. Tolong kasihin aja, tapi jangan dibaca."
"Aw, rahasia nih ye."
"Ya udah, sini! Biar Amir gak sendirian terus," ledek Mas Jono sambil tersenyum, lalu berjalan ke arah meja ketiga wanita itu.
Aku langsung berpura-pura melihat layar laptop, ketika ketiga wanita itu kompak menatap ke arahku. Beberapa saat kemudian, mereka mulai merapihkan barang bawaannya. Lalu berjalan menuju kasir. Salah satu dari mereka terus melirikku dengan tatapan sinis. Yang lain malah terlihat ketakutan.
Mas Jono pun heran melihat kejadian itu. Setelah ketiga wanita itu pergi, dia kembali menghampiriku.
"Lu nulis apa, Mir? Ampe kabur semua gitu?" tanyanya.
"Itu kertasnya masih ada di sana, Coba ambil aja Mas kalau penasaran," balasku sambil tersenyum. Bergegas Mas Jono mengambil kertas itu, lalu kembali ke mejaku.
"Nah coba baca!" pintaku.
"Mbak, kalau sebelum makan itu baca doa dulu ya! Itu ada yang ikut makan bareng." Mas Jono membaca tulisan itu.
"Ini beneran, Mir?" tanya Mas Jono.
Aku mengangguk pelan.
"Seriusan?" tanyanya lagi sambil melirik meja bekas wanita itu.
"Iye," balasku.
"Ah, jangan bikin takut lah."
"Tenang, Mas. Dia udah pergi kok. Tadi cuman numpang makan dan minum doang. Gara-gara tuh cewek-cewek lupa baca doa."
"Asli udah gak ada, Mir?"
"Gak ada. Mending buru-buru bersihin daripada nanti ada yang datang lagi," balasku menakut-nakutinya.
"Tuhkan, nakut-nakutin."
Aku pun tertawa.
Mas Jono mengambil napas panjang, lalu berjalan ke arah meja tempat ketiga wanita tadi. Kemudian mulai membersihkan piring, gelas dan sisa makanan.
SEKIAN
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA AMIR (Sudah Terbit)
HorrorKumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan sentuhan unsur komedi. Berkisah tentang perjalan hidup seorang remaja bernama Amir. Kehidupannya beru...