Malam itu, aku sedang duduk di sofa, menonton pertandingan tenis di televisi. Ditemani secangkir coklat panas dan biskuit, yang kuletakan di atas meja.
Rumah memang sedang sepi. Hanya ada aku, layaknya penghuni terakhir. Ibu sedang pergi ke Malaysia, sedangkan kakak sedang liburan ke Bogor.
Rintik suara hujan mulai terdengar di atas genting. Udara dingin pun berhembus dari lubang di langit-langit.
Entah kenapa, tiba-tiba kepalaku pusing sekali. Bulu kudukku pun meremang. Firasatku sudah mulai tak enak. Hawa terasa lebih dingin dari biasanya. Namun aku berusaha tidak memperdulikan perasaan ini.
Kuulurkan tangan, meraih cangkir berisi coklat panas di atas meja. Kutiup pelan-pelan, lalu menyeruputnya. Biasanya, coklat bisa membuat tubuhku lebih rileks, tetapi kali ini tidak.
Sejak tadi, bulu kudukku tak berhenti meremang. Dimulai dari leher hingga menjalar ke kaki. Rasa sakit di kepala membuat pandanganku sedikit kabur.
Tak jelas. Sepertinya aku melihat telapak tangan muncul dari balik tembok, di belakang televisi. Aku usap mataku, mencoba untuk fokus. Benar ... itu telapak tangan.
Perlahan, telapak tangan itu bergerak maju. Hingga terlihat sepasang tangan utuh, menembus televisi. Aku tetap tenang, walaupun tangan itu sudah menghalangi layar televisi.
Tiba-tiba ... kepala seorang wanita muncul dari balik tembok. Wajahnya terlihat pucat dengan lingkaran hitam mengelilingi kedua bola matanya.
Dia celingak-celinguk, sesekali tersenyum ke arahku. Namun aku pura-pura tidak melihatnya.
Sekarang, seluruh tubuhnya sudah muncul dari balik tembok. Tanpa rasa bersalah, dia melayang, menembus televisi dan berdiri mematung.
Aku terpaksa menonton gaun putih nan lusuhnya itu bergerak-gerak. Tanpa sengaja, lirikan mataku berbenturan dengan lirikan matanya. Dia pun kembali tersenyum, lalu menghampiriku yang masih duduk di sofa.
Hanya beberapa centimeter saja, jarak antara wajahnya dengan wajahku. Aku sama sekali tak takut, mungkin karena sudah terbiasa.
Kutatap wajahnya dengan tatapan kosong. Terlihat dengan jelas, urat-urat di pipinya yang sudah berwarna hitam.Dia kembali tersenyum, dengan gigi yang kecoklatan. Lagi-lagi, aku tak menanggapinya. Mungkin sudah lelah, kemudian dia duduk di sampingku
Aku bergidik, seperti ada sentuhan halus mengusap wajah. Dari ekor mata kulihat dia sedang mengibas-ngibaskan rambut, hingga mengenai wajahku.
Awalnya aku tak memperdulikannya. Tetapi tingkahnya semakin menjadi-jadi. Dia menyenderkan kepalanya ke pundakku. Sesekali meniup daun telingaku.
Dengan cepat, aku menoleh ke arahnya. Wajah kami pun kembali berhadapan.
"Mbak, gak usah nyender deh! Pegel tau." Ucapanku mengagetkannya, terlihat dari bola matanya yang tiba-tiba membesar.
"Kamu bisa lihat saya?"
"Iya."
"Sejak kapan?"
"Dari kamu muncul di balik tembok."
"Aduh saya jadi malu."
"Gak usah malu, Mbak. Mending sekarang pergi deh, ganggu orang nonton aja."
"Padahal saya cuman numpang lewat aja."
"Lewat sih lewat, terus ngapain duduk di mari."
"Aura kamu tuh beda, hangat."
"Kompor kali hangat. Dah sana pergi! Hus!"
"Iya , jangan marah nanti cakepnya hilang."
"Ih, apaan sih. Saya panggil Si Hitam nih," ancamku.
Wanita itu beranjak dari sofa, lalu berdiri, melayang di sampingku. Perlahan gaun tipisnya itu menyentuh wajahku.
"Buruan woi ... gak usah sok dilambat-lambatin, geli tau," ucapku menengadah ke wajahnya.
Dia pun tertawa. Lalu terbang melesat dengan cepat. Menembus tembok samping yang berbatasan dengan rumah kosong.
SEKIAN
KAMU SEDANG MEMBACA
CERITA AMIR (Sudah Terbit)
HorrorKumpulan cerpen dan mini cerbung, bedasarkan kisah nyata yang dimodifikasi ulang. Dikemas menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dipahami. Dengan sentuhan unsur komedi. Berkisah tentang perjalan hidup seorang remaja bernama Amir. Kehidupannya beru...